Senin, 20 Februari 2012

Menanggapi Tanggapan terkait AIDS

Artikel saya berjudul ”Menyikapi Kasus AIDS di Kalangan Prajurit Kodam Cenderawasih Papua” yang diposting 14/8-2010 ditanggapi rekan-rekan kompasioner. Berikut ini tanggapan saya terhadap tanggapan para kompasioner.

Wijaya Kusumah menulis: “ …. penyuluhuan aids jelas mutlak dilakukan untuk para prajurid TNI. Sedian kondom sebelum bertugas.”

Wijaya, penyuluhan terus dilakukan. Persoalannya, adalah apakah materi HIV/AIDS yang disampaikan pada penyuluhan itu faktual? Saolnya, selama ini materi penyuluhan HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menghilangkan fakta medis tentang HIV/AIDS. Yang muncul adalah mitos (anggapan yang salah), sehingga yang disuluh pun menerima materi yang salah. Ya, akibatnya sudah bisa ditebak: banyak yang tertular HIV karena ketidaktahuan cara pencegahan yang akurat.

”Wawasan safety seks memang perlu ….” Ini coretan Dedy Praswono

Dedy, ada persoalan besar di masyarakat yaitu mengaitkan kondom sebagai pendorong zina. Ini ‘kan ngawur bin ngaco. Lelaki ‘hibung belang’ justru enggan memakai kondom. Nun di pelosok yang tidak ada kondom pun tetap saja terjadi perzinaan. Kalau betul kondom mendorong orang berzina, mengapa rokok tidak mendorong semua orang untuk merokok?

Agus Sudaryanto menulis: “ …. kematian bukan di ujung peluru… tapi karena ujung burung, sungguh sangat menyedihkan.”

Agus, ada data yang lebih menyedihkan di negeri ini. Kematian di jalan raya di Indonesia lebih besar daripada kematian di Perang Vietnam. Setiap tahun lebih dari 30.000 kematian di jalan raya. Pertanyaannya: Apakah perilaku pengguna jalan raya tidak terkait dengan norma, moral dan agama? Tapi, mengapa hanya HIV/AIDS saja yang dikait-katikan dengan norma, moral dan agama? Ironis.

Ini suara hati Satrin: “ …. mmmm..kira2 isteri dari para prajurit tersebut mendapat inforrmasi resmi dari TNI tentang diagnosa tersebut tidak ya ? kalau tidak, yah..sangat disayangkan sekali….karena secara tidak disadari, institusi turut berperan dalam peningkatan case ini…”

Christina menyambung: “ITU YG JADI FIKIRANKU DARI TADI….istri para prajurit itu…..pastinya mereka juga beresiko tertular kan??? mereka pasti ngak menyadarinya….belum lagi psikologisnya……pasti persoalan jadi sangat rumit……belum lagi anak anak yg terlahir setelah terpapar virus itu…..”

Satrin dan Christina, persoalan besar dalam epidemi HIV adalah kita tidak bisa mengenali orang yang sudah tertular HIV dengan mata telanjang karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Yang tertular pun tidak menyadari dirinya sudah terinfeksi HIV juga karena tidak ada keluhan terkait dengan gejala AIDS. Ini terjadi pada rentang waktu antara 5-15 tahun. Nah, sebelum prajurit-prajurit itu terdeteksi HIV-positif tentulah mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istrinya, selingkuhannya atau pekerja seks (horizontal). Jika istrinya tertular maka ada risiko penularan kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertikal). Yang tidak beristri akan menularkan HIV kepada pasangan seksnya atau pekerja seks. Begitulah mata rantai penyebaran HIV.

Lagi-lagi goresan Satrin: “Iya mbak…miris memang…pada banyak case, ODHA justru tertular dari pasangan resminya, sementara ia sama sekali tidak mengetahui, jika pasangannya menderita HIV/AIDS…jadi kita tidak bisa mengatakan jika penyakit ini adalah kutukan akibat akhlak yang buruk, karena banyak orang yang hidupnya lurus2nya saja juga terkena…and saya berharap, jangan sampai hal ini terjadi pada isteri dan anak2 prajurit tersebut..”

Satrin, itu memang fenomena. Banyak istri yang pasrah kepada suaminya karena ada ajaran agama yang mengharuskan mereka berbuat seperti itu. Pengalaman menunjukkan di beberapa puskesmas jika ada istri yang mengidap IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) akan timbul persoalan besar karena suami mereka menolak disebut sebagai orang yang menularkan. Bahkan, suami-suami mereka menuding istri mereka yang selingkuh. Ini fakta.

Yang ini ‘khutbah’ Rudy Rdian: “ …. ga ada cara lain. Kembali ke agama. perbaikan ahklak.”

Rudy, kita harus sepakat dulu, apa yang Anda maksud dengan agama? Kalau Anda membatasi agama adalah yang diakui, yaitu Budha, Hindu, Islam, Katolik, Protestan, dan Konghuchu maka pernyataan Anda ngawur. Soalnya, tidak ada kaitan langsung antara agama yang resmi dengan penularan HIV. Ada masyarakat yang tidak memluk agama-agama resmi itu, lalu: Apakah mereka otomatis (berisiko) tertular HIV? Tidak! Lalu, apa kaitan langsung antara agama dan akhlak dengan penularan HIV? Tidak ada!.Orang yang berakhlak pun bisa tertular HIV dari hubungan seks di dalam nikah, transfusi darah, atau jarum suntik.

Nah ini dari Juve: “ …. wejangan wejangan agama.. tidak akan mampu mencegah… karena tingkat keimanan.. masing masing personel.. berbeda.. beda.. the only one way.. distribute safe tools for them…”

Juve, masalahnya adalah sosialisasi pencegahan dengan akurat diharamkan di negeri ini. Kondom ditolak, tapi sunat diterima. Padahal, sunat tidak menjamin seseorang bisa terhindar dari HIV jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.

Wah, ini suara Al Mahri Mehja Khursi: “ … Sudalah kita jangan munafik, beri saja pelajaran sex education yang benar & tepat, termasuk sama istrinya, biar pada melek informasi. Wejangan agama/moral dan sebagainya tetap perlu juga diberikan. keduanya harus jalan paralel.”

Al Mahri, wejangan diberikan ketika orang belum tertular HIV. Ya, kalau sudah tertular itu urusan medis. Tapi, kita sering tidak bisa melihat secara proporsional karena memakai hati bukan akal.

Dalam tulisan saya ada contoh yaitu tentara kita yang ke Kamboja. Saya yakin mereka sudah dibelaki dengan ‘imtaq’ (iman dan taqwa) melalui berbagai kegaitan dan semboyan kesatuan. Ternyata ada 11 yang tertular HIV di Kamboja. Nah, tentara Belanda koq tidak ada yang ‘kepatil’ (tertualr)? Ini pelajaran berharga karena bekal ‘imtaq’ bisa luntur, sedankgan bekal alat pencegah bisa dipakai.

Ini dari Santrin lagi: “ …apa orang yang udah kawin masih perlu mendapat sex education? he.he…”

Satrin, ya, perlulah. Soalnya, banyak kasus suami yang tidak bisa meladeni istrinya sampai orgasme. Tidak sedikit suami yang ‘peltu’ (nempel metu), sementara istrinya pusing karena tidak mencapai orgasme.

Robin dos santos soares buka suara: “ … seks edukasi berlaku bagi siapa saja. apakah sudah menikah atau tidak itu bukan menjadi persoalan. apabila org yg sudah menikah kalau tanpa edukasi seks sama saja. buktinya, yg kena HIV banyak yg udah menikah bukan?”

Ini suara hati Indri Permatasari: “ … wah susahnya disini mo bilang jujur ya, di beri advice safety sex malah dikira kampanye seks bebas,weleh…weleh,akibatnya ya begini banyak yg g tau persisnya gmana,sudah saatnya cegah HIV aids jgn d kaitkan terus dg mslh akhlak dan spiritual,tp berani nggak y,salam sehat.”

Indri, Anda benar. Tapi, maaf, penggunaan kata ’seks bebas’ tidak tepat karena kata tidak jelas artinya. Apa yang Indri maksud dengan ’seks bebas’? Kalau Indri mengarikan ’seks bebas’ sebagai zina, maka tanpa kampanye kondom pun zina terus terjadi kapan saja, di mana saja dan oleh siapa saja.

Ini kegundahan hati Iman Subari: “Kelengkapan data dan informasinya mantaf. Tapi kenapa solusi yang dimianti penulis nampaknya tak lebih dari salesnya pabrik kondom? Ma’af cuma pertanyaan orang awam HIV/AIDS.”

Iman, penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau dua-dua pasangan itu HIV-positif dan penis masuk ke vagina tanpa pelindung. Nah, silakan cari benda lain yang bisa melindungi gesekan penis dengan vagina saat sanggama.

Satrin buka suara: ” …. jangan lupa…penyebaran HIV/ AIDS bukan hanya dikarenakan oleh hubungan sex…”

Satrin, Anda benar. Tapi, terkait dengan AIDS di prajurit TNI di Papua salah satu faktor risiko (cara penularan) adalah melalui hubungan seks, maka itu yang dibahas. Memang, risiko penularan HIV melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan orang yang HIV-positif adalah 1:100. Artinya, dalam 100 kali sanggama hanya ada sekali kemungkinan terjadi penularan. Persoalannya, adalah kita tidak bisa tahu pada hubunga seks yang keberapa terjadi penularan. Bisa saja terjadi pada hubungan seks pertama, kelima, ketiga puluh, dst. Maka, setiap hubungan seks di dalam atau di luar nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks dan pelaku kawin-cerai, berisiko tinggi tertular HIV.

Nah, ini dari Sator Sapan Bungin: “Sebenarnya pihak yg terinfeksi AIDS di Papua bukan cuma Prajurit TNI saja,masih banyak pihak lain yg terkena. Tetapi karena Institusi TNI yg paling berani untuk mengakui kesalahan dan mau pemperbaiki diri makanya tersiar berita seperti ini.Coba saja adakan penelitian ke Institusi lain seperti POLRI,Pemda atau Perusahaan Swasta…Dapat dipastikan banyak juga yang kena tuh…..Selamat mengadakan penelitian…”

Sator, koreksi: bukan terinfeksi AIDS tapi terinfeksi atau tertular HIV karena yang menular adalah virus yaitu HIV. Sedangkan AIDS adalah kondisi seseorang yang sudah tertular HIV setalah 5-15 tahun kemudian. Selama ini ada salah paham yang besar di negeri ini. Banyak yang menutup-nutuipi kasus HIV/AIDS. Ini bisa celaka karena kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV dan merupakan ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. TNI-AD sudah menempuh langkah yang pas. Biar pun menanggung malu tapi mereka sudah memutus mata rantai penyebaran HIV di kalangan mereka khususnya dan di Indonesia umumnya. Sedangkan instansi dan institusi lain tinggal menunggu ledakan AIDS.

yoyo cilacap menuliskan suara hatinya: “kenapa ya edukasi masalah aids cuma cara penularannya aja. barang kali ada yang tau sebenarnya hiv aids itu yang bukan dari penularannya itu disebakan oleh apa? pertanyaanya kenapa bisa muncul penyakit seperti itu?”

Yoyo, HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, cara-cara penularan dan pencegahan diketahui secara medis. Tentu pertanyaan yang sama tidak hanya untuk HIV/AIDS, semua penyakit dipertanyakan: kenapa bisa muncul penyakit seperti itu?”

Ini ‘pidato’Made Dedi Agustinus: “bila perlu setiap apel dan upacara bendera, para komandan prajurit tidak henti-hentinya menyampaikan fakta seputar HIV/AIDS, baik terkait prevalensi HIV di wilayah tugas, anjuran membawa kondom di saku celana (untuk saat-saat tak terduga), atau meminta prajurit menghindari segala kemungkinan kontak cairan tubuh dengan orang2 yg berpotensi terinfeksi HIV/AIDS”

Made, yang menjadi persoalan besar hádala materi penyuluhan HIV/AIDS selalu bibalut dan dibumbui dengan norma, moral, dan agama sehingga faktanya hilang. Yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). Maka, yang menerima pun berlaku salah sehingga tertular HIV.

Ini goresan osa kurniawan ilham: ”Iklim hipokrit dan atmosfer sosial budaya yang menabukan seks sebagai bahan diskusi membuat Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan infeksi HIV-nya termasuk tinggi, bahkan melebihi negara-negara yang kita cap sebagai sumber porno dan maksiat sekalipun. Dalam beberapa diskusi tentang AIDS cenderung materi pembicaraan beralih ke urusan moral, agama dan jarang membumi bagaimana memutus mata rantai penyebarannya.”

OKI, memang itulah yang terjadi. Kita mencaci-maki Barat, padalah donatur terbesar untuk kemanusiaan di bumi ini, termasuk penanggulangan HIV/AIDS di Indoneia, justru datang dari negara yang kita caci-maki itu. Menyebarang di negeri yang berteriak berbudaya, beragama dan ver-Pancasila ini jauh lebih sulit daripada di negara yang kita caci-maki tidak bermoral. Pelaku pelecahan seksual di negara yang kita caci-maki tidak berbudaya jauh lebih berat daripada di negara kita yang disebut sebagai masyarakat agamis. Dst……

DEDE MANALAGI: “Kalau boleh berburuk sangak mungkin AIDS disebarkan oleh perusahaan kondom hikz… Maksudnya mau bilang :Kalau boleh berburuk sangka mungkin AIDS disebarkan oleh perusahaan kondom hikz…”

Dede, silakan berburuk sangka. Apakah itu menyelesaikan masalah? HIV sudah ada di pelupuk mata, apakah kita mengedipkan mata agar tidak kelihatan? Misalnya, di rumah Anda ada ular. Apa yang Anda lakukan? Melihat pernyataan Anda saya bisa berburuk sangka Anda akan duduk termenung sambil termangu-mangu: dari mana ular ini datang, siapa yang membawa ke sini, dst…. Apa yang akan terjadi terhadap Anda? Hiksss…….

Ini pituah dari Johan Setiyawan: “ …. akhalak memang [perllu, namun selain pelajaran moral, maka pelajaran praktisnya juga harus diajarkan, karena namanya godaan tidak melihat waktu dan tempat, mungkin sekarang bisa menahan diri, bagaiaman kalau besok? apakah bisa menahan diri? sementara pengetahuan mengenai safety sex sangat kurang karena memang tidak diajarkan, yangdiajarkan hanya sekedar moral dan agama, maka begiti iman kendor langsung deh masuk perangkap “setan” lansgung kenap penyakit kelamin. nah, kemudian dengan kondisi seperti ini siapa yang harus disalahakn? jadi pemahaman mengenai akhalk juga perlu namun juga diberi pengetahuan mengienai safety sex, jadi bisa berjalan bersama-sama, walau memang masih banyak cara penulran yang lain, misalnya menggunakan jarum suntik secara bergantian, maka mari kita mengkampanyekan agar para pengguna narkoba itu menggunakan jarumnya sendiri-sendiri, jangan gantian, dan janganberbicara moral agar mereka lansgugn disuruh bertobat,a krena itu tidak ada hubungannya, kalau tidak bertiobat gimana? penularan akan terus terjadi melalui jarum suntik, jadi, seruan gar bertobat tetep, tapi ajakan agar tidak berganti menggunakan jarum suntik juga harus tetep, jadi dua hal yang ebrbeda ini harus berjalan bersama-sama, akrena keduanya saling melengkapi. Terimakasih”

Menurut vampieter: “ ….wah ini berat pak, coba bayangkan saja hampir seluruh batalyon yang ada di indonesia pernah bertugas di papua, dan mungkin itu belim terdeteksi. bisa jadi, hal ini tidak hanya terjadi di Pasukan organik papua, tapi juga pasukan dari batalyon-batalyon non organik yang pernah bertugas di papua.”

Vampieter, bukan hanya di kalngan TNI-AD tapi di semua kalangan. Siapa-(siapa), sih, yang berisiko tertular HIV?

Seitap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan berisiko tinggi tertular HIV.

Nah, kalau ada di antara kita yang pernah atau sering melakan hal di atas maka sebaiknya melangkah ke klinik VCT, tes HIV dengan konseling. Mumpung gratis. sumber

0 comments:

Posting Komentar