Senin, 20 Februari 2012

Menanggapi Pernyataan Wakil Ketua DPR RI terkait AIDS di Kodam Cenderawasih Papua

”DPR Minta Panglima TNI Koreksi Pembinaan Mental Prajurit.” Ini judul berita di detiknews.com (12/08/2010). Dalam berita disebutkan: “Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso meminta Panglima TNI dan Menhan mengoreksi pembinaan mental dan spritual para prajurit yang bertugas di pedalaman.”

Selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, fakta medis tentang HIV/AIDS hilang. Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, waria dan homoseksual. Padahal, sebagai virus HIV bisa menular melalui hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, jika salah satu atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom seitap kali sanggama. Sebaliknya, jika satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV melalui hubungan seks biar pun dilakukan dengan cara zina, melacur, ‘seks bebas’, ‘jajan’, selingkuh, waria dan homoseksual tanpa kondom.

Disebutkan pula: “…. segera mengoreksi kembali pembinaan mental, tidak hanya fisik, tapi kerohanian ….” Yang perlu dikoreksi adalah materi KIE yang disampaikan kepada para prajut terkait dengan epidemi HIV. Selama materi KIE tetap dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama itu pula prajurit tidak memahami cara-cara yang akurat dalam melindingi diri agar tidak tertular HIV.

Ada pula pernyataan: “Priyo mengakui hal tersebut sangat mencengangkan publik.” Ada fakta yang tidak muncul dalam pemberitaan kasus AIDS pada prajurit TNI di Papua itu.

Tidak ada penjelasan yang rinci tentang cara yang dilakukan Kodam Cenderawasih dalam mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajurit. Kalau Kodam Cenderawasih melakkan satu langah tertentu untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan prajuritnya, maka apakah hal yang sama dilakukan di kodam lain? Kalau jawabannya YA, maka kasus AIDS di Kodam Cenderawasih (bisa) mencegangkan tapi dibandingkan dengan kodam lain. Kalau jawabannya TIDAK, maka ada kemungkinan di kodam lain kasus AIDS jurtru lebih tinggi.

Ditilik dari aspek epidemiologi penemuan kasus HIV/AIDS merupakan satu langkah yang sangat berarti dalam memutus mata rantai penyebaran HIV. Makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Ini yang terjadi di Kodam Cenderawasih, sedangkan di kodam lain yang tidak menjalankan survailans tes HIV maka kasus HIV/AIDS yang ada di prajurit akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.

Penemuan kasus HIV/AIDS di berbagai kalangan di Indonesia tidak mencengangkan karena perilaku seks sebagai orang sangat rentan tertular HIV karena mereka enggan memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko, yaitu: melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks atau pelaku kawin-cerai. Seandainya dilakukan survailans di berbagai kalangan, seperti pegawai, karyawan, polisi, mahasiswa, dll. maka bisa saja hasilnya pun mencegangkan.

Di bagian lain disebutkan: “Prajurit jangan diisolasi, karena bagaimanapun mereka berjuang untuk republik.” Ini benar karena yang lebih berbahaya justru prajurit yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Prajurit ini akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Sedangkan prajurit yang sudah terdeteksi merupakan ujung tombak dalam memutus mata rantai penyebaran HIV mulai dari diri mereka.

Sudah saatnya kita berpaling ke Malaysia yang menerapkan beberapa jenis survailans tes HIV untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Malaysia menjalankan survailans rutin dan sistematis terhadap pasien klinik IMS (infeksi menular seksual, yaitu penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.), pengguna narkoba suntikan, polisi, napi, pasien TBC dan perempuan hamil. Itulah sebabnya kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Malaysia jauh lebih besar daripada kasus HIV/AIDS di Indonesia. Sampai Maret 2010 Depkes mencatat 20.564 kasus AIDS. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah melewati angka 40.000. Malaysia mendekati kasus ril sedangkan di Indonesia hanya merupakan puncak dari fenomena gunung es.

Kasus-kasus yang tersembunyi itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa kita sadari yang pada gilirannya akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di negeri ini. 

0 comments:

Posting Komentar