Senin, 20 Februari 2012

Cukuplah kematian itu sebagai Penasihat


Cukuplah kematian itu sebagai Penasihat
Mati adalah kata yang tidak disukai oleh kebanyakan orang, banyak yang menghindar. Tentunya kematian itu sendiri lebih begitu ditakuti. Tidak hanya oleh manusia, binatang pun takut mati. Seakan-akan tidak ada yang sudi mati.

Wajar kalau manusia takut mati, sebab mati berarti berpisah dari segala yang dimiliki dan senangi, berpisah dari segala yang disayangi dan dicintai. Berpisah dari anak dan istri serta kekasih. Berpisah dari bapak dan ibu, berpisah dari harta dan pangkat, berpisah dari dunia dan segala isinya. Sementara manusia memang mencintai dunia dan seisinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran:14)

Nasib di akhirat yang belum jelas, sebagian bahkan tidak percaya tentangnya, membuat orang ingin selamanya hidup di dunia. Kenikmatan dunia yang tak sebanding dengan satu helai sayap nyamuk mampu membuat manusia mabuk.

HIDUP TAK SELAMANYA

Perumpamaan hidup di dunia, seperti dipaparkan al-Hafizh Ibnu Hajar, bagaikan seorang budak yang diutus tuannya ke kota lain untuk menunaikan suatu tugas, setelah selesai tentunya harus segera kembali bukannya berlama-lama di kota itu. [a] Kalau budak itu berusaha melarikan diri dari tuannya dan bersembunyi di kota tersebut, tentu akan dicari dan dipaksa pulang kembali. Begitu pun kehidupan ini. Setiap yang bernyawa akan mati, manusia yang asal usulnya dijadikan dari tanah kepada tanahlah juga akan dikembalikan. Firman Allah, “Dari bumilah Kami ciptakan kamu, dan ke dalamnya Kami akan mengembalikan kamu dan darinya pula Kami akan mengeluarkan kamu sekali lagi.” (Thaha:55)

Oleh karena itu sayang kalau kita jadi lupa bahwa kematian itu tetap akan menemui setiap orang, tiada yang mampu menghindar darinya. Bukankah Allah telah berfirman, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (‘Ali Imran:180)

Tidak semestinya seorang muslim berasyik masyuk, dan ini bukan hal yang gampang, dengan kehidupan dunia sehingga lalai dan lupa akan akhirat, padahal akhirat itulah yang kekal abadi. Di sinilah perlunya peringatan, dan Allah telah membentangkan berbagai peringatan kepada manusia. Tetapi manusia sering tidak menyadari peringatan-peringatan itu. Atau sengaja tidak mau tahu? Di antara peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu ialah umur yang semakin bertambah, munculnya uban, kurang penglihatan, kurang pendengaran dan sakit. Sering dilupakan orang bahwa dirinya datang ke dunia dalam kondisi lemah, suatu saat akan kembali menjadi lemah tanpa daya. “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari kadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) itu sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Al-Rum:54)

Seperti bayi yang baru lahir tidak bisa apa-apa, tua renta dan kematian pun adalah kondisi yang kental dengan kelemahan. Terutama kelemahan saat menghadapi sakaratul maut (kesukaran mati). Sakaratul maut yang menjadi gerbang keluar dari dunia begitu dahsyat hingga tidak sekadar melemahkan fisik tapi juga akal. Akhir kehidupan yang sangat dahsyat yang menunggu manusia; seharusnya menyadarkan bahwa dirinya bukanlah tubuh semata, melainkan jiwa yang “dibungkus” dalam tubuh. Manusia harus paham akan kematian tubuhnya –yang ia coba untuk miliki seakan-akan mau hidup selamanya di dunia yang sementara ini. Tubuh yang dianggapnya sangat penting ini akan membusuk serta menjadi makanan cacing suatu hari nanti dan berakhir menjadi kerangka. Mungkin saja hal tersebut segera terjadi.

INGATLAH KEMATIANMU

Ada satu kepastian di antara ketidakpastian dalam kehidupan manusia. Sadar atau tidak, manusia sesungguhnya menuju kepadanya. Tidak perduli apakah ia siap atau tidak, tua atau muda, cepat atau lambat. Bagi sebagian manusia, ia hanyalah proses alamiah dalam sebuah kehidupan. Menjadi akhir peristirahatan dari segala kegalauan. Bagi sebagian lain ia adalah awal dari sebuah kehidupan. Itulah kematian.

Tiap hari kematian itu hadir di sekitar kita. Merenggut nyawa tetangga, teman, kolega, kerabat, bahkan anggota keluarga. Tetapi… ternyata mental manusia cenderung untuk tidak mempedulikannya. Kebanyakan orang melihat kematian begitu jauh dari dirinya. Walau ada saja orang yang segar bugar tiba-tiba mati. Ada yang mati di atas ranjangnya, di tempat shalatnya, di jalan raya, atau bahkan di tempat-tempat maksiat. Tetap saja orang berpikiran, belum saatnya mati dan masih ada hari esok untuk hidup di dunia. Padahal kecelakaan yang merenggut si A yang buru-buru ke kantor pun bisa kita alami.

Sungguh bagi orang-orang cerdas kematian adalah panglima nasihat dan guru kehidupan. Sedikit saja lengah dari memikirkan kematian, maka ia telah kehilangan guru terbaik dalam hidupnya. “Cukuplah kematian itu sebagai penasihat.” (Hadits Thabrani dan Baihaqi)

Kalau kita melupakan kematian bagaimana mungkin menjadikannya sebagai penasihat? Seperti buku yang berisi banyak informasi penting, bagaimana kita bisa mendapatkan informasi kalau buku itu diabaikan tanpa dibaca. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berpesan kepada kita agar senantiasa mengingat kematian. “Sungguh sekiranya kalian mau memperbanyak untuk mengingat ‘pemutus kelezatan’, apa yang aku lihat [tertawa dan perkataan sia-sia] [b] telah menyibukkan kalian. Perbanyaklah untuk mengingat ‘pemutus kelezatan’, yakni kematian.” [c]

Hal itu beliau sabdakan saat menyaksikan banyak orang yang tenggelam asyik dalam perkataan sia-sia ditingkahi dengan gelak tawa. Betapa heran Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melihat pemandangan demikian. Bukankah orang muslim itu mesti sadar betul bahwa dirinya akan mati, dan kematian itu sering datang secara tiba-tiba. Al-Imam Syafi’i rahimahullah memberikan sebuah nasihat, “Tidak sepantasnya seorang mukmin lalai dari mengingat mati dan menyiapkan diri untuk menyambutnya.” [d]

AKHIR YANG BAIK

Kematian adalah satu kejadian yang paling berat, paling menakutkan, dan paling mengerikan. Satu kejadian yang pasti akan dihadapi dan dialami oleh setiap manusia, tak dapat dihindari dengan cara apapun juga. Para nabi dan rasul, jin dan malaikat sekalipun tidak dapat menghindarkan diri dari kematian ini. Kematian datang sesuai dengan ajal yang telah ditetapkan. Kemana saja manusia pergi/berlari kematian tetap akan mengejarnya. Kematian datang tanpa pilih umur, tanpa pilih waktu dan tempat.

Sebentar lagi, tanpa tahu kapan dan di mana, malaikat maut akan menjemput kita. Kematian itu tiba-tiba sudah di depan mata, malaikat maut sudah siap merenggut nyawa kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Tiada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan dikerjakannya esok hari, dan tidak seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (Luqman:34)

Kematian adalah sesuatu yang berat, sehingga disebut sakaratul maut, bukan berarti setelah kematian menjadi ringan. Ada pertanggungjawaban yang lebih begitu berat dan panjang melelahkan tentang hidup di dunia. Saat nyawa meregang ruh sampai di tenggorokan, tak ada lagi tobat apalagi kesempatan kembali beramal. Kondisi demikian memang mengerikan, karena itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengingatkan agar manusia memanfaatkan hidup dengan sebaikbaiknya. “Ambillah lima kesempatan sebelum tiba lima lawannya: mudamu sebelum tua, sehatmu sebelum sakit, kayamu sebelum melarat, hidupmu sebelum mati, dan senggangmu sebelum sibuk.” [e]

Sesungguhnya manusia telah ‘memilih’ bagaimana akhir kehidupannya. Pilihan itu ada pada bagaimana ia menjalani kehidupannya. Sebagaimana menjalani hidupnya seperti itulah kemungkinan besar ia akan menghadapi kematiannya. Sesungguhnya menjalani kehidupan berarti berjalan menuju kematian kita. Terbiasa begelimang dosa dan maksiat, hanya akan membuat gagap saat bertemu maut. Jadilah su-ul khatimah (akhir hidup yang jelek). Kebiasaan baik membuat seseorang lebih ‘siap’ menemui maut. Kesiapan menjemput maut akan membuatnya sedikit terasa lebih indah. Akan tergapai indahnya husnul khatimah (akhir yang baik), insyaallah.

Dengan mengingat mati seseorang akan lebih siap menghadapi kematian. Banyak cara untuk memupuk rasa ingat akan mati. Di antaranya yang praktis adalah:

* Mengunjungi orang sakit, bukankah ujung penyakit adalah kematian?
* Mendampingi orang yang tengah mengalami sakaratul maut.
* Melakukan ziarah kubur, sebagaimana sabda Rasullullah shallallahu ‘alahi wa sallam: “Lakukanlah ziarah kubur karana akan mengingatkan pada kematian.” [f]
* Merasa selalu diawasi Allah, bukanlah Dia Maha Mengetahui dan Melihat?
* Kita senantiasa ditemani malaikat Raqib dan Atid, siang malam di mana pun berada, mencatat aktivitas kita. Periksa dalam surat Qaf ayat 16-18.
* Anggota bawan kita ibarat alat perekam, kelak di akhirat akan direplay apa yang kita lakukan dan katakan. Periksa dalam surat Al-Nur ayat 24.

Dengannya kita akan terbantu untuk akrab dengan kematian, karena memang kematian itu begitu dekat begitu nyata. Mungkin kita jadi tidak nafsu makan, tak mengapa toh hal itu tidak membahayakan asal semangat Anda untuk menyantap makanan rohani menjadi semakin kuat. Memulai menata hati, jiwa dan raga untuk menjemput kematian dengan seni kematian yang begitu indah dalam Islam. Semoga, selagi masih ada waktu. Allahumma hawwin ‘alaina fi sakaratil maut…!

Catatan:
[a] Fathul Bari dalam komentar terhadaphadits ‘kun fiddun-ya…’ (6053).
[b] Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jami’i al-Tirmidzi Jilid 1 hadits no. 2460.
[c] Sunan al-Tirmidzi (2460) dari Abu Sa’id,hadits senada juga diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam Sunan al-Nasai (1824), Sunan Ibni Majah (4258), dan Musnad Ahmad (7865).
[d] Fathul Bari Syarhu Shahih al-Bukhari komentar tentang hadits no. 2587 jilid 3.
[e] Riwayat al-Hakim dan al-Baihaqi, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ al-Shaghir 1088).
[f] Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath dalam bab Ziyaratul Qubur.

Sumber: Fatawa Vo. III/No. 7 | Juni 2007 | Jumadil Ula 1428

0 comments:

Posting Komentar