Kamis, 26 Januari 2012

Pernihakan Ali dan Fatimah yang Sederhana

Ketika Nabi Muhammad Saw. menikahkan Fatimah Ra. dengan Ali bin Abi Thalib Ra., beliau mengundang Abu Bakar, Umar dan Usamah untuk membawakan "persiapan" Fatimah Ra.


Mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang dipersiapkan Rasulullah Saw. untuk putri terkasih dan keponakan tersayangnya itu? Ternyata bekalnya cuma penggilingan gandum, kulit binatang yang disamak, kendi, dan sebuah piring.

Mengetahui hal itu, Abu Bakar menangis kemudian bertanya, "Ya Rasulullah. Inikah persiapan untuk Fatimah?" Nabi Muhammad Saw. pun menenangkannya, "Wahai Abu Bakar. Ini sudah cukup bagi orang yang berada di dunia."

Fatimah Ra., sang pengantin itu, kemudian keluar rumah dengan memakai pakaian yang sangat sederhana. Tak ada perhiasan, apalagi pernik-pernik mahal.

Setelah menikah, Fatimah senantiasa menggiling gandum dengan tangannya, membaca al-Quran dengan lidahnya, menafsirkan kitab suci dengan hatinya, dan menangis dengan matanya. Itulah sebagian kemuliaaan dari Fatimah.

Ada ribuan atau jutaan Fatimah yang telah menunjukkan kemuliaan akhlaknya. Dari mereka kelak lahir ulama-ulama ulung yang menjadi guru dan rujukan seluruh imam, termasuk Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.

Bagaimana gadis sekarang? Mereka, mungkin tak lagi menggiling gandum, tapi menekan tuts-tuts computer atau berada di laboratorium. Tapi bagaimana lidah, hati, dan mata mereka? Beberapa waktu yang lalu, ada seorang gadis di Bekasi, yang nyaris mati karena bunuh diri.

Rupanya ia minta dinikahkan dengan pujaan hatinya dengan pesta meriah. Karena ayahnya tak mau, dia pun nekat bunuh diri dengan minum Baygon. Untung jiwanya terselamatkan. Seandainya saja tak terselamatkan, naudzubillah min dzalik! Allah mengharamkan surga untuk orang yang mati bunuh diri.

Si gadis tadi rupanya menjadikan kemewahan pernikahannya sebagai sebuah prinsip hidup yang tak bisa dilanggar. Sayang, gadis malang itu mungkin belum menghayati cara Rasulullah menikahkan putrinya.

Atau, ada juga orangtua jika anaknya yang akan menikah tidak diadakan pesta yang meriah dan mewah, maka ia merasa malu. Dengan segala daya dan upaya, baik dengan uang sendiri ataupun meminjam dari orang lain, orangtua tersebut mengadakan pesta pernikahan besar-besaran.

Banyak kejadian, pesta pernikahan yang terlihat mewah, namun setelah itu anak dan menantunya hidup sederhana dan kadang sangat memprihatinkan.

Pesta pernikahan putri Rasulullah itu menggambarkan kepada kita, betapa kesederhanaan telah menjadi "darah daging" kehidupan Nabi yang mulia. Bahkan ketika pesta pernikahan putrinya, yang selayaknya diadakan dengan meriah, Rasulullah tetap menunjukkan kesederhanaan.


Bagi Rasulullah, membuat pesta besar untuk pernikahan putrinya bukanlah hal sulit. Tapi, sebagai manusia agung yang suci, "kemegahan" pesta pernikahan putrinya, bukan ditunjukkan oleh hal-hal yang bersifat duniawi.

Bagi orang-orang yang miskin juga, kisah Rasulullah Saw. ini menjadi teladan bagi mereka. Sehingga mereka dengan mudah menjalankan pernikahan tanpa terbebani hal-hal yang mereka sendiri tidak sanggup untuk melaksanakannya.

Rasul justru menunjukkan "kemegahan" kesederhanaan dan "kemegahan" sifat qanaah, yang merupakan kekayaan hakiki. Rasululllah bersabda, "Kekayaan yang sejati adalah kekayaan iman, yang tecermin dalam sifat qanaah."

Iman, kesederhanaan, dan qanaah adalah suatu yang tak bisa dipisahkan. Seorang beriman, tercermin dari kesederhanaan hidupnya dan kesederhanaan itu tercermin dari sifatnya yang qanaah. Qanaah adalah sebuah sikap yang menerima ketentuan Allah dengan sabar; dan menarik diri dari kecintaan pada dunia. Rasulullah bersabda, "Qanaah adalah harta yang tak akan hilang dan tabungan yang tak akan lenyap." Wallahu ‘alam bish-shawab. sumber

0 comments:

Posting Komentar