Senin, 16 Januari 2012

Nabi Muhammad Berpoligami di Usia Senja

A.Teriakan Orientalis tentang Zainab bt Jahsy
SEMENTARA  peristiwa-peristiwa  dalam dua bagian di atas itu terjadi, Muhammad kawin dengan Zainab bt. Khuzaima, kemudian kawin  dengan  Umm  Salama  bt.  Abi  Umayya  bin’l-Mughira, selanjutnya kawin  lagi  dengan  Zainab  bt.  Jahsy  setelah dicerai  oleh  Zaid  b.  Haritha.  Zaid  inilah  yang  telah diangkat  sebagai  anak  oleh  Muhammad  setelah  dibebaskan sebagai  budak sejak ia dibelikan oleh Yasar untuk Khadijah.


Di sinilah  kaum  Orientalis  dan  misi-misi  penginjil  itu kemudian   berteriak   keras-keras:  Lihat!  Muhammad  sudah berubah. Tadinya, ketika ia masih di Mekah sebagai  pengajar yang   hidup   sederhana,   yang   dapat  menahan  diri  dan mengajarkan tauhid, sangat  menjauhi  nafsu  hidup  duniawi, sekarang  ia  sudah  menjadi  orang yang diburu syahwat, air liurnya mengalir bila melihat wanita. Tidak cukup tiga orang isteri  saja  dalam  rumah, bahkan ia kawin lagi dengan tiga orang wanita seperti yang disebutkan di  atas.  Sesudah  itu mengawini  tiga  orang  wanita  lagi,  selain Raihana. Tidak cukup kawin dengan wanita-wanita yang tidak bersuami, bahkan ia  jatuh  cinta  kepada Zainab bt. Jahsy yang masih terikat sebagai isteri Zaid b. Haritha bekas budaknya. Soalnya tidak lain karena ia pernah singgah di rumah Zaid ketika ia sedang tidak ada di tempat  itu,  lalu  ia  disambut  oleh  Zainab.

Tatkala itu ia sedang mengenakan pakaian yang memperlihatkan kecantikannya,  dan  kecantikan  ini   sangat   mempengaruhi hatinya. Waktu itu ia berkata “Maha suci Ia yang telah dapat membalikkan hati manusia!” Kata-kata  ini  diulanginya  lagi ketika   ia   meninggalkan   tempat  itu.  Zainab  mendengar kata-kata itu dan ia melihat api  cinta  itu  bersinar  dari matanya.  Zainab merasa bangga terhadap dirinya dan apa yang didengarnya itu diberitahukannya kepada Zaid. Langsung waktu itu  juga Zaid menemui Nabi dan mengatakan bahwa ia bersedia menceraikannya. Lalu kata Nabi kepadanya:

Jaga  baik-baik  isterimu, jangan  diceraikan.   Hendaklah engkau takut kepada Allah.”

Tetapi  pergaulan  Zainab dengan Zaid sudah tidak baik iagi. Kemudian ia dicerai.  Muhammad  menahan  diri  tidak  segera mengawininya  sekalipun  hatinya  gelisah. Ketika itu firman Tuhan datang:

Ingat, tatkala  engkau  berkata  kepada  orang  yang  telah diberi  karunia oleh Allah dan engkau pun telah pula berbudi kepadanya:  Jagalah  baik-baik  isterimu.  Hendaklah  engkau takut  kepada  Allah.  Dan  engkau menyembunyikan sesuatu di dalam hatimu apa yang oleh Tuhan sudah  diterangkan.  Engkau takut  kepada  manusia,  padahal seharusnya Allah yang lebih patut  kautakuti.  Maka  setelah  Zaid  meluluskan  kehendak wanita  itu,  Kami  kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi alangan bagi orang-orang beriman kawin  dengan (bekas)  isteri-isteri  anak-anak  angkat  mereka,  bilamana kehendak  mereka  (wanita-wanita)  itu   sudah   diluluskan. Perintah Allah itu mesti dilaksanakan.” (Qur’an, 33:37)

Ketika  itulah wanita itu dikawininya. Dengan perkawinan ini semarak cinta berahi dan api  asmaranya  yang  menyala-nyala dapat  dipadamkan.  Nabi  apa itu!? Bagaimana ia membenarkan hal  itu  buat  dirinya  sedang  buat  orang  lain   tidak?! Bagaimana  ia tidak tunduk kepada undang-undang yang katanya diturunkan Tuhan  kepadanya?!  Bagaimana  pula  “harem”  ini diciptakan,  yang  mengingatkan  orang  pada  raja-raja yang hidup mewah-mewah, bukan  pada  para  nabi  yang  saleh  dan memperbaiki  kehidupan  umat?! Selanjutnya bagaimana pula ia menyerah kepada kekuasaan  cinta  dalam  hubungannya  dengan Zainab  sehingga  ia  menghubungi Zaid bekas budaknya supaya menceraikannya, kemudian ia tampil mengawininya! Hal semacam ini  pada  zaman jahiliah dilarang, tapi nabinya orang Islam ini membolehkan, karena mau menuruti kehendak nafsunya,  mau memenuhi dorongan cintanya.

B.Hayalan Orientalis Tentang Nabi Muhammad dan Zainab bt Jahsy
Bilamana  kaum  Orientalis  dan  para  misi penginjil bicara mengenai masalah ini dalam  sejarah  Muhammad,  maka  mereka membiarkan  khayal  mereka itu bebas tak terkendalikan lagi; sehingga ada diantara mereka itu yang menggambarkan Zainab – ketika terlihat oleh Nabi – dalam keadaan setengah telanjang atau hampir telanjang, dengan rambutnya yang  hitam  panjang lepas  terurai sampai menjamah tubuhnya yang lembut gemulai, yang akan dapat menterjemahkan  segala  arti  cinta  berahi.
Yang  lain  lagi  menyebutkan, bahwa ketika ia membuka pintu rumah Zaid, angin menghembus menguakkan tabir kamar  Zainab. Ketika  itu  ia  sedang  telentang  di  tempat  tidur dengan mengenakan baju tidur. Pemandangan ini  sangat  menggetarkan

jantung  laki-laki  yang gila perempuan dengan kecantikannya itu. Ia menyembunyikan perasaan hatinya meskipun  sebenarnya ia tidak dapat tahan lama demikian! Gambaran  yang  diciptakan  oleh  khayal demikian itu banyak sekali.  Akan  kita  jumpai  ini  dalam  karya-karya   Muir, Dermenghem,  Washington  Irving, Lammens dan yang lain, baik mereka ini para Orientalis  atau  misi-misi  penginjil.  Dan yang   sungguh   disayangkan   lagi   karena  dalam  membuat cerita-cerita itu, semua mereka memang  mengambil  sumbernya dari  kitab-kitab  sejarah  Nabi dan tidak sedikit pula dari hadis. Kemudian dengan apa yang mereka gambarkan itu, mereka membangun  istana-istana  gading  dari khayal mereka sendiri tentang Muhammad serta  hubungannya  dengan  wanita.  Alasan mereka  ialah  karena isterinya banyak, yang sampai Sembilan orang menurut pendapat yang lebih tepat, atau lebih dari itu menurut sumber-sumber lain.

C. Beberapa Uraian peristiwa tentang pengecualian untuk menegakkan syari’at
Sebenarnya  dapat saja kita membantah semua kata-kata mereka itu dengan ucapan: Anggaplah semua itu benar, tetapi  dengan itu   apa  pula  kiranya  yang  akan  dapat  mendiskreditkan kebesaran   Muhammad   atau   kenabian   dan   kerasulannya. Undang-undang  yang biasanya berlaku pada umum, tidak untuk peristiwa khusus, lebih-lebih terhadap para  rasul dan nabi.

Bukankah ketika Musa a.s. melihat perselisihan dua orang, yang  seorang  dari  golongannya  sendiri,  dan  yang seorang lagi dari pihak musuhnya, ditinjunya orang yang dari pihak musuh itu hingga menemui ajalnya,  padahal  pembunuhan demikian  itu  dilarang, baik dalam perang atau pun setengah perang? Ini berarti melanggar undang-undang. Jadi Musa tidak tunduk  kepada  undang-undang,  tapi  juga tidak berarti ini dapat mendiskreditkan  kenabian  atau  kerasulannya,  bahkan mengurangi  kebesarannyapun  juga  tidak.

Dan dalam hal Isa, dalam menyalahi undang-undang lebih besar lagi dari  masalah Muhammad,  dari  para  nabi  dan  para  rasul  semuanya. Dan soalnya tidak hanya  terbatas  pada  besarnya  kekuatan  dan keinginan  saja, bahkan kelahiran dan kehidupannya pun sudah melanggar undang-undang dan kodrat alam. Di  hadapan  ibunya malaikat  muncul  sebagai  manusia  yang sempurna, yang akan mengantarkan seorang anak yang suci bersih kepadanya. Wanita itu  keheranan,  sambil berkata: 

Bagaimana aku akan beroleh seorang putera, padahal aku belum disentuh seorang  manusia, juga  aku  bukan  seorang  pelacur.” Malaikat berkata, bahwa Tuhan menghendaki  supaya  ia  menjadi  pertanda  bagi  umat manusia.

Setelah terasa sakit hendak melahirkan, ia berkata: “Aduhai, coba sebelum  ini  aku  mati  saja,  maka  aku  akan  hilang dilupakan orang.” Lalu datang suara memanggilnya dari bawah: “Jangan berdukacita, Tuhan telah mengalirkan  sebatang  anak sungai  di  bawahmu.” Dibawanya anak itu kepada keluarganya.

Mereka pun berkata: “Maryam, engkau datang membawa  masalah besar. Dalam  buaiannya  itu  (usia semuda itu) Isa berkata kepada mereka: “Aku adalah hamba Allah É” dan seterusnya.
Betapapun orang-orang Yahudi menolak  semua  ini,  dan  oleh mereka  Isa  dinasabkan  kepada  Yusuf an-Najjar (Yusuf anak Heli), sebagian sarjana semacam Renan  sampai  sekarang  pun memang  menganggapnya  demikian.  Kebesaran Isa, kenabiannya dan kerasulannya serta penyimpangannya dari hukum dan kodrat alam  adalah  suatu  pertanda  mujizat Tuhan kepadanya. Tapi anehnya, misi-misi penginjil Kristen itu minta orang  supaya percaya kepada hal-hal yang di luar hukum alam mengenai diri Yesus,

Sementara  mengenai  diri  Muhammad   mereka   sudah menjatuhkan  hukuman  sendiri. Padahal apa yang dilakukannya tidak  seberapa  dan  tidak  lebih  karena  Muhammad  memang terlalu  tinggi  untuk  dapat  tunduk  kepada  undang-undang masyarakat  yang  berlaku  terhadap  setiap   orang   besar, terhadap  raja-raja,  kepala-kepala negara yang pada umumnya sudah didahului oleh undang-undang  dasar  sehingga  membuat mereka tak dapat diganggu-gugat.

Sebenarnya  dapat saja kita membantah semua kata-kata mereka itu dengan jawaban yang sudah tentu akan  menjatuhkan  semua argumen  misi-misi penginjil dan orang-orang Orientalis yang juga mau ikut cara-cara mereka itu.  Tetapi  dalam  hal  ini kita   lalu  memperkosa  sejarah  dan  memperkosa  kebesaran Muhammad dan kerasulannya. Dia bukanlah orang  seperti  yang mereka  gambarkan:  orang  yang  pikirannya dipengaruhi oleh hawa nafsu. Tak ada isterinya  itu  yang  dikawininya  hanya karena  ia  terdorong  oleh  syahwat atau nafsu berahi saja.

Kalaupun  ada  beberapa  penulis  Muslim  pada   zaman-zaman tertentu   dengan   sesuka   hati   berkata   demikian   dan mengemukakan alasan itu kepada lawan-lawan Islam dengan niat baik,  soalnya  ialah  karena  tradisi  yang  berlaku  telah membawa  mereka  kepada  pengertian  materi.  Mereka   ingin menggambarkan Muhammad itu besar dalam segalanya, juga besar dalam  kehidupan  hawa  nafsu.   Sudah   tentu   ini   suatu penggambaran  yang salah sama sekali. Sejarah hidup Muhammad sama sekali  tak  dapat  menerima  ini,  dan  seluruh  hidup pribadinya pun dengan sendirinya sudah menolak.

D.Nabi Muhammad saw Mempunyai isteri Satu sampai melewati lima puluhan
Ia  kawin  dengan  Khadijah  dalam usia duapuluh lima  tahun, usia muda-remaja, dengan perawakan yang indah dan paras muka yang begitu tampan, gagah dan tegap. Namun sungguhpun begitu Khadijah adalah tetap isteri satu-satunya,  selama  duapuluh delapan  tahun,  sampai  melampaui usia limapuluhan. Padahal masalah poligami ialah masalah yang umum sekali di  kalangan masyarakat Arab waktu itu. Di samping itu Muhammad pun bebas kawin dengan Khadijah atau dengan yang lain,  dalam  hal  ia dengan  isterinya  tidak  beroleh anak laki-laki yang hidup, dan yang  dapat  dianggap  sebagai  keturunan pengganti hanyalah anak laki-laki.
-----------------------------
 A. Khadijah bersama Rasul 17 tahun seb kenabian, 11 tahun masa kenabian
Muhammad hidup hanya  dengan  Khadijah  selama  tujuh  belas tahun  sebelum  kerasulannya  dan sebelas tahun sesudah itu; dan dalam pada itu  pun  sama  sekali  tak  terlintas  dalam pikirannya ia ingin kawin lagi dengan wanita lain. Baik pada masa Khadijah masih hidup, atau  pun  pada  waktu  ia  belum kawin  dengan  Khadijah,  belum  pernah  terdengar  bahwa ia termasuk  orang   yang   mudah   tergoda   oleh   kecantikan wanita-wanita  yang  pada  waktu  itu  justeru wanita-wanita belum tertutup. Bahkan mereka itu suka memamerkan  diri  dan memamerkan  segala  macam  perhiasan, yang kemudian dilarang oleh Islam. Sudah tentu tidak wajar sekali apabila akan kita lihat,  sesudah  lampau  limapuluh tahun, mendadak sontak ia berubah demikian rupa sehingga begitu ia melihat Zainab bint Jahsy  -  padahal  waktu  itu  isterinya  sudah  lima  orang diantaranya Aisyah yang selalu dicintainya  -  tiba-tiba  ia tertarik  sampai  ia  hanyut siang-malam memikirkannya. Juga tidak  wajar  sekali  apabila  kita  lihat,  sesudah  lampau limapuluh  tahun  usianya,  yang  selama  lima  tahun  sudah beristerikan lebih dari tujuh orang, dan dalam  tujuh  tahun sembilan  orang  isteri. Semuanya itu, motifnya hanya karena dia  terdorong  oleh  nafsu  kepada  wanita,  sehingga   ada beberapa  penulis  Muslim  -  dan juga penulis-penulis Barat mengikuti jejaknya – melukiskannya sedemikian rupa, demikian merendahkan  yang  bagi  seorang  materialis sekalipun sudah tidak layak, apalagi buat orang besar, yang ajarannya  dapat mengubah dunia dan mengubah jalannya roda sejarah, dan masih selalu akan mengubah dunia sekali lagi,  dan  akan  mengubah jalannya roda sejarah sekali lagi.


B. Khadija dalam usia senjanya mempunyai anak laki-laki dan perempuan bersama Rasul
Apabila  ini  suatu hal yang aneh dan tidak wajar, maka akan jadi aneh juga kita melihat bahwa perkawinan Muhammad dengan Khadijah   telah   memberikan   keturunan,   laki-laki   dan perempuan, sampai sebelum ia mencapai usia limapuluh  tahun, dan  bahwa Maria melahirkan Ibrahim sesudah Muhammad berusia enampuluh tahun dan hanya dari yang dua  orang  ini  sajalah yang  membawa  keturunan. Padahal isteri-isteri itu ada yang dalam usia muda, yang akan dapat juga hamil dan  melahirkan, baik  dari pihak suami atau pihak isteri, dan ada yang sudah cukup usia, sudah lebih dari tigapuluh  tahun  umurnya,  dan sebelum  itu  pun  pernah  pula  punya  anak. Bagaimana pula gejala aneh dalam hidup Nabi ini ditafsirkan,  suatu  gejala yang  tidak  tunduk  kepada  undang-undang  yang biasa, yang sekaligus terhadap kesembilan wanita itu?! Sebagai  manusia, sudah  tentu  jiwa  Muhammad  cenderung sekali ingin beroleh seorang putera, sekalipun – dalam kedudukannya sebagai  nabi dan  rasul  – dari segi rohani ia sudah menjadi bapa seluruh umat Muslimin.

C. Sauda bint Zam’a, janda Sakran b. ‘Amr b. ‘Abd Syams.
Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah  serta  logikanya  juga menjadi   saksi  yang  jujur  mendustakan  cerita  misi-misi penginjil dan para Orientalis itu sehubungan dengan poligami Nabi.  Seperti  kita sebutkan tadi, selama 28 tahun ia hanya beristerikan Khadijah  seorang,  tiada  yang  lain.  Setelah Khadijah  wafat,  ia  kawin  dengan  Sauda bint Zam’a, janda Sakran b. ‘Amr b. ‘Abd Syams. Tidak ada  suatu  sumber  yang menyebutkan,  bahwa Sauda adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai  kedudukan  yang  akan  memberi pengaruh  karena  hasrat  duniawi  dalam  perkawinannya itu. Melainkan soalnya ialah,  Sauda  adalah  isteri  orang  yang termasuk  mula-mula  dalam  lslam, termasuk orang-orang yang dalam  membela   agama,   turut   memikul   pelbagai   macam penderitaan,  turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan itu. Sauda juga  sudah  Islam dan  ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Kalau sesudah itu Muhammad kemudian  mengawininya untuk  memberikan  perlindungan  hidup  dan untuk memberikan tempat setarap dengan Umm’l-Mu’minin,  maka  hal  ini  patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi.

D. Aisyah dan Hafsah
Adapun  Aisyah  dan  Hafsha  adalah  puteri-puteri dua orang pembantu dekatnya, Abu  Bakr  dan  Umar.  Segi  inilah  yang membuat  Muhammad  mengikatkan  diri  dengan kedua orang itu dengan  ikatan  semenda  perkawinan   dengan   puteri-puteri mereka.  Sama  juga  halnya ia mengikatkan diri dengan Usman dan Ali dengan  jalan  mengawinkan  kedua  puterinya  kepada mereka.  Kalaupun  benar  kata  orang  mengenai Aisyah serta kecintaan Muhammad kepadanya  itu,  maka  cinta  itu  timbul sesudah perkawinan, bukan ketika  kawin.  Gadis  itu dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia berusia Sembilan tahun  dan  dibiarkannya   dua  tahun  sebelum  perkawinan dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah  mencintainya  dalam usia yang masih begitu kecil. Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsha bt. Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi.

“Sungguh,” kata Umar, “tatkala kami  dalam  zaman  jahiliah, wanita-wanita  tidak  lagi  kami  hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula  hak kepada  mereka.” Dan katanya lagi: “Ketika saya sedang dalam suatu  urusan  tiba-tiba  isteri  saya  berkata:  ‘Coba  kau berbuat  begini  atau  begitu.”  Jawab saya: “Ada urusan apa engkau disini, dan perlu apa engkau  dengan  urusanku!”  Dia pun  membalas:  “Aneh  sekali  engkau Umar. Engkau tidak mau ditentang,  padahal  puterimu  menentang  Rasulullah  s.a.w. sehingga  ia  gusar  sepanjang hari.” Kata Umar selanjutnya: Kuambil mantelku, lalu aku keluar,  pergi  menemui  Hafsha. “Anakku,” kataku  kepadanya.  “Engkau  menentang Rasulullah s.a.w. sampai  ia  merasa  gusar  sepanjang  hari?!” Hafsha menjawab:  “Memang  kami menentangnya.” “Engkau harus tahu,” kataku.  “Kuperingatkan  engkau  akan  siksaan  Tuhan  serta kemurkaan  RasulNya.  Anakku,  engkau  jangan teperdaya oleh kecintaan orang  yang  telah  terpesona  oleh  kecantikannya sendiri  dengan  kecintaan  Rasulullah s.a.w.” Katanya lagi: Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu,  dan kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan.”

Kita  sudah  melihat  bukan, bahwa Muhammad mengawini Aisyah atau mengawini Hafsha  bukan  karena  cintanya  atau  karena suatu  dorongan  berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang  baru  tumbuh  dalam  diri  dua  orang pembantu  dekatnya  itu.  Sama halnya ketika ia kawin dengan Sauda,  maksudnya  supaya   pejuang-pejuang   Muslimin   itu mengetahui,  bahwa  kalau  mereka  gugur  untuk agama Allah, isteri-isteri dan  anak-anak  mereka  tidak  akan  dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.

E. Zainab  bt.  Khuzaima
Perkawinannya dengah Zainab bt. Khuzaima  dan dengan Umm Salama  mempertegas  lagi  hal  itu.  Zainab  adalah  isteri ‘Ubaida  bin’l-Harith bin’l-Muttalib yang telah mati syahid, gugur dalam perang Badr. Dia tidak  cantik,  hanya  terkenal karena  kebaikan  hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar Umm’l-Masakin (Ibu orang-orang miskin). Umurnya pun  sudah  tidak  muda lagi. Hanya setahun dua saja sesudah itu ia pun meninggal. Sesudah Khadijah  dialah  satu-satunya isteri Nabi yang telah wafat mendahuluinya.

F.Umm  Salama
Sedang  Umm  Salama  sudah banyak anaknya sebagai isteri Abu Salama, seperti  sudah  disebutkan  di  atas,  bahwa  dalam perang Uhud ia menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi ia diserahi pimpinan untuk  menghadapi  Banu  Asad yang  berhasil  di  kucar-kacirkan dan ia kembali ke Medinah dengan membawa rampasan perang.Tetapi bekas lukanya di Uhud itu  terbuka  dan kembali mengucurkan darah yang dideritanya terus sampai meninggalnya.  Ketika  sudah  di  atas  ranjang kematiannya, Nabi juga hadir dan terus mendampinginya sambil mendoakan untuk kebaikannya, sampai ia  wafat.  Empat  bulan setelah  kematiannya itu Muhammad meminta tangan Umm Salama.
Tetapi wanita ini menolak  dengan  lemah  lembut  karena  ia sudah  banyak  anak  dan  sudah tidak muda lagi. Hanya dalam pada itu akhirnya sampai juga ia mengawini dan  dia  sendiri yang bertindak menguruskan dan memelihara anak-anaknya.

Adakah  sesudah ini semua para misi penginjil dan Orientalis itu masih akan  mendakwakan,  bahwa  karena  kecantikan  Umm Salama  itulah  maka Muhammad terdorong hendak mengawininya? Kalau hanya karena itu saja, masih banyak  gadis-gadis  kaum Muhajirin  dan  Anshar  yang  lain,  yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan bersemarak,  dan  tidak  pula  ia akan  dibebani  dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia mengawininya itu karena pertimbangan yang luhur itu juga, sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima, yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta kepadanya  dan membuat  mereka  lebih-lebih  lagi memandangnya sebagai Nabi dan Rasul Allah. Di samping itu mereka  semua  memang  sudah menganggapnya  sebagai  ayah mereka. Ayah bagi segenap orang miskin,  orang  yang  tertekan,  orang  lemah,  orang   yang sengsara  dan  tak  berdaya.  Ayah  bagi  setiap  orang yang kehilangan ayah, yang gugur membela agama Allah.
Dari apa yang sudah diuraikan di atas, apakah yang  dapat disimpulkan  oleh  penelitian sejarah yang murni? Yang dapat disimpulkan ialah  bahwa  Muhammad   menganjurkan   orang beristeri  satu  dalam kehidupan biasa. Ia menganjurkan cara demikian seperti contoh yang sudah diberikannya selama  masa Khadijah. Untuk itu firman Tuhan dalam Qur’an menyebutkan:

“Dan  kalau  kamu kuatir takkan dapat berlaku lurus terhadap anak-anak yatim itu, maka kawinilah wanita-wanita yang  kamu sukai:  dua,  tiga  dan  (sampai)  empat.  Tetapi kalau kamu kuatir takkan dapat berlaku  adil,  hendaklah  seorang  saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu.” (Qur’an, 4:3)

“Dan  (itu  pun) tidak akan kamu dapat berlaku adil terhadap wanita, betapa kamu sendiri  menginginkan  itu.  Sebab  itu, janganlah  kamu  terlalu  condong  kepada yang seorang, lalu kamu biarkan dia terkatung-katung.” (Qur’an, 4:129)

Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah, setelah  Nabi  kawin dengan semua isterinya, maksudnya untuk membatasi jumlah isteri itu sampai  empat  orang,  sementara sebelum  turun  ayat tersebut pembatasan tidak ada. Ini juga yang   telah   menggugurkan   kata-kata   orang:    Muhammad membolehkan  buat  dirinya  sendiri  dan melarang buat orang lain. Kemudian  turun  ayat  yang  memperkuat  diutamakannya isteri  satu  dan  menganjurkan  demikian karena dikuatirkan takkan berlaku adil dengan ditekankan bahwa berlaku adil itu tidak  akan  disanggupi.  Hanya saja dalam keadaan kehidupan masyarakat yang dikecualikan ia  melihat  suatu  kemungkinan yang  mendesak  perlunya  kawin  sampai  empat dengan syarat berlaku adil. Dia telah melakukan  itu  dengan  contoh  yang diberikannya  ketika kaum Muslimin terlibat dalam peperangan dan banyak di antara mereka itu yang gugur dan mati syahid.

Tolonglah sebutkan! Pada waktu peperangan sedang berkecamuk, panyakit   menular  berjangkit  dan  pemberontakan  berkobar merenggut ribuan bahkan jutaan umat manusia, dapatkah  orang memastikan,  bahwa membatasi pada isteri satu itu lebih baik dan poligami yang dibolehkan dengan jalan  kekecualian  itu?

Dapatkah orang-orang Eropa – pada waktu ini, setelah selesai Perang Dunia – mengatakan bahwa sistem monogami  itu  system yang  paling tepat dalam praktek, karena mereka memang sudah mengatakan bahwa  sistem   itu   tepat    sekali    dalam undang-undang?  Bukankah  tirnbulnya  kekacauan  ekonomi dan sosial setelah perang disebabkan oleh tidak adanya kerjasama yang  teratur antara pria dan wanita dalam perkawinan, suatu kerjasama yang kiranya sedikit  banyak  akan  dapat  membawa keseimbangan ekonomi? Saya tidak bermaksud dengan ini hendak membuat suatu keputusan hukum. Saya serahkan soal ini kepada ahli-ahli  pikir, kepada pihak penguasa untuk memikirkan dan merencanakannya,  dengan  catatan  selalu,  bahwa   bilamana keadaan  hidup  sudah  kembali  biasa, maka yang paling baik dapat  menjamin  kebahagiaan  masyarakat   ialah   membatasi laki-laki hanya pada satu isteri.

G. Zainab bt. Jahsy
Sehubungan  dengan cerita tentang Zainab bt. Jahsy serta apa yang ditambah-tambahkan oleh beberapa orang ahli hadis, oleh kaum Orientalis dan misi-misi    penginjil   dengan bermacam-macam tabir khayal  sehingga  ia  dijadikan  sebuah cerita  roman  percintaan,  sejarah  yang  sebenarnya  dapat mencatat, bahwa teladan yang  diberikan  oleh  Muhammad  dan patut  dibanggakan,  dan  sebagai contoh iman yang sempurna, ialah bahwa dia telah menerapkan bunyi hadis yang maksudnya: Iman   seseorang   belum   sempurna   sebelum  ia  mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.1 Dirinya telah dijadikan  contoh  pertama  manakala  ia  melaksanakan suatu hukum yang pada dasarnya hendak menghapus tradisi dan segala adat-istiadat  jahiliah,  dan  yang  sekaligus dengan itu ia menetapkan peraturan baru,  yang  diturunkan  Tuhan  sebagai bimbingan dan rahmat buat semesta alam.
Untuk  menghapuskan  semua  cerita mereka yang kita baca itu dari dasarnya, cukup kalau kita sebutkan, bahwa  Zainab  bt. Jahsy  ini  adalah  puteri  Umaima  bt. Abd’l-Muttalib, bibi Rasulullah a.s. Ia dibesarkan di bawah asuhannya sendiri dan dengan  bantuannya  pula.  Maka  dengan  demikian  ia  sudah seperti puterinya atau seperti  adiknya  sendiri.  Ia  sudah mengenal  Zainab dan mengetahui benar apakah dia cantik atau tidak,  sebelum  ia  dikawinkan  dengan   Zaid.   Ia   sudah melihatnya sejak dari mula pertumbuhannya, sebagai bayi yang masih merangkak hingga menjelang gadis  remaja  dan  dewasa, dan dia juga yang melamarnya buat Zaid bekas budaknya itu.
Jadi, kalau orang sudah mengetahui semua ini, maka hancurlah segala macam khayal dan cerita-cerita yang menyebutkan bahwa dia  pernah  kerumah Zaid dan orang ini tidak di rumah, lalu dilihatnya  Zainab,  ia  terpesona  sekali  melihat   begitu cantik,  sampai  ia  berkata: “Maha  suci Tuhan, Yang telah membalikkan hati manusia!” Atau juga ketika ia membuka pintu rumah  Zaid,  kebetulan angin bertiup menguakkan tirai kamar Zainab, lalu dilihatnya wanita  itu  dengan  gaunnya  sedang berbaring  -  seolah-olah seperti Madame Recamier – mendadak sontak hatinya  berubah.  Lupa  ia  kepada  Sauda,  Aisyah, Hafsha,  Zainab  bt.  Khuzaima dan Umm Salama. Juga Khadijah sudah dilupakannya, yang seperti kata Aisyah, bahwa  dirinya tidak  pernah  cemburu  terhadap  isteri-isteri Nabi seperti terhadap Khadijah ketika disebut-sebut.

Kalau perasaan cinta itu sedikit banyak sudah terlintas dalam hati, tentu ia akan melamar kepada keluarganya untuk dirinya, bukan untuk  Zaid. Dengan  melihat  hubungan  Zainab  dengan Muhammad ini serta gambaran yang kita kemukakan  di  atas,  maka  segala  macam cerita  khayal yang dibawa orang itu, sudah tidak lagi dapat dipertahankan dan ternyata samasekali memang tidak mempunyai dasar yang benar.
------------------------------
A. Pernikahan Zainab bt Jahsy dengan Zaid untuk menghilangkan Perbedaan disebabkan keturunan Oleh Islam dan sekaligus kedudukan anak angkat
Dan apakah yang ialah dicatat oleh sejarah? Sejarah mencatat bahwa Muhammad telah melamar Zainab anak  bibinya  itu  buat Zaid  bekas  budaknya.  Abdullah  b.  Jahsy  saudara  Zainab menolak, kalau saudara perempuannya sebagai orang dari  suku Quraisy  dan  keluarga  Hasyim pula, di samping itu semua ia masih sepupu Rasul dari  pihak  ibu  akan  berada  di  bawah seorang   budak   belian  yang  dibeli  oleh  Khadijah  lalu dimerdekakan oleh Muhammad. Hal ini dianggap  sebagai  suatu aib  besar  buat  Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di kalangan Arab  ketika itu merupakan  suatu  aib  yang  besar sekali.  Memang  tidak  ada  gadis-gadis kaum bangsawan yang terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang sudah    dimerdekakan.   Tetapi   Muhammad   justeru   ingin menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih  berkuasa dalam  jiwa mereka hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu. Ia ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak  lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.

Bahwa   orang  yang  paling  mulia  di  antara  kamu  dalam pandangan Tuhan ialah orang yang lebih  bertakwa.”  (Qur’an, 49:13)

Sungguhpun begitu ia merasa tidak perlu memaksa wanita lain untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab bt. Jahsy, sepupunya sendiri  itu  juga  yang  menanggung, yang karena telah meninggalkan tradisi  dan  menghancurkan  adat-lembaga Arab,  menjadi  sasaran  buah  mulut  orang tentang dirinya, suatu hal yang memang tidak ingin didengarnya. Juga  biarlah Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya anak angkat, dan yang menurut hukum  adat  dan  tradisi  Arab  orang  yang  berhak menerima  waris  sama  seperti anak-anaknya sendiri itu, dia juga yang mengawininya. Maka  dia  pun bersedia berkorban, karena  sudah  ditentukan  oleh  Tuhan bagi anak-anak angkat yang sudah dijadikan anaknya  itu.   Biarlah   Muhammad memperlihatkan  desakannya  itu supaya Zainab dan saudaranya Abdullah b. Jahsy juga mau menerima Zaid sebagai suami.  Dan untuk itu biarlah firman Tuhan juga yang datang:

Bagi  laki-laki dan wanita yang beriman, bilamana Allah dan RasulNya telah  menetapkan  suatu  ketentuan,  mereka  tidak boleh mengambil kemauan sendiri dalam urusan mereka itu. Dan barangsiapa tidak mematuhi Allah dan RasulNya, mereka  telah melakukan kesesatan yang nyata sekali.” (Qur’an, 33:36)

Setelah  turun ayat ini tak ada jalan lain buat Abdullah dan Zainab  saudaranya,  selain  harus  tunduk  menerima.  “Kami menerima,  Rasulullah,”  kata  mereka.  Lalu Zaid dikawinkan kepada Zainab setelah mas-kawinnya  oleh  Nabi  disampaikan.

Dan  sesudah  Zainab menjadi isteri, ternyata ia tidak mudah dikendalikan  dan  tidak  mau  tunduk. Malah  ia   banyak mengganggu  Zaid.  Ia  membanggakan diri kepadanya dari segi keturunan dan bahwa dia katanya tidak mau  ditundukkan  oleh seorang budak.

Sikap Zainab yang tidak baik kepadanya itu tidak jarang oleh Zaid diadukan kepada Nabi, dan bukan sekali saja ia  meminta ijin    kepadanya   hendak   menceraikannya.   Tetapi   Nabi menjawabnya: “Jaga baik-baik  isterimu,  jangan  diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah.” Tetapi  Zaid  tidak  tahan  lama-lama  bergaul dengan Zainab serta   sikapnya yang   angkuh   kepadanya    itu.    Lalu diceraikannya.

Kehendak Tuhan juga kiranya yang mau menghapuskan melekatnya hubungan  anak  angkat  dengan  keluarga  bersangkutan   dan asal-usul  keluarga  itu,  yang  selama  itu  menjadi anutan masyarakat Arab, juga  pemberian  segala  hak  anak  kandung kepada  anak angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hokum waris dan nasab, dan supaya anak  angkat  dan  pengikut  itu hanya  mempunyai  hak  sebagai  pengikut dan sebagai saudara seagama. Demikian firman Tuhan turun:

Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak angkat kamu  menjadi anak-anak  kamu.  Itu hanya kata-kata kamu dengan mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan  Dia  menunjukkan jalan yang benar.” (Qur’an, 33:4)

Ini  berarti  bahwa  anak  angkat  boleh  kawin dengan bekas isteri bapa angkatnya, dan bapa  boleh  kawin  dengan  bekas isteri anak angkatnya. Tetapi bagaimana caranya melaksanakan ini? Siapa pula dari kalangan  Arab  yang  dapat  membongkar adat-istiadat yang sudah turun-temurun itu. Muhammad sendiri kendatipun dengan kemauannya yang  sudah  begitu  keras  dan memahami  benar arti perintah Tuhan itu, masih merasa kurang mampu melaksanakan  ketentuan  itu  dengan  jalan  mengawini Zainab  setelah  diceraikan oleh Zaid, masih terlintas dalam pikirannya apa yang kira-kira akan dikatakan orang, karena dia  telah  mendobrak  adat lapuk yang sudah berurat berakar dalam jiwa masyarakat  Arab  itu.  Itulah  yang  dikehendaki Tuhan dalam firmanNya:

Dan  engkau  menyembunyikan  sesuatu dalam hatimu yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia padahal hanya Allah yang lebih patut kautakuti.” (Qur’an, 33:37)
Akan  tetapi  Muhammad adalah suri-teladan dalam segala hal, yang oleh Tuhan telah  diperintahkan  dan  telah  dibebankan kepadanya  supaya  disampaikan  kepada  umat  manusia.Tidak takut ia  apa  yang  akan   dikatakan   orang   dalam   hal perkawinannya dengan isteri bekas budaknya itu. Takut kepada manusia tak ada artinya dibandingkan dengan takutnya  kepada Tuhan  dalam  melaksanakan  segala  perintahNya. Biarlah dia kawin saja dengan Zainab supaya  menjadi  teladan  akan  apa yang  telah  dihapuskan  Tuhan  mengenai  hak-hak yang sudah ditentukan dalam hal bapa angkat dan anak angkat itu.  Dalam hal inilah firman Tuhan itu turun:

Maka  setelah  Zaid  meluluskan  kehendak  wanita itu, Kami kawinkan dia  dengan  engkau,  supaya  kelak  tidak  menjadi alangan   bagi  orang-orang  beriman  kawin  dengan  (bekas) isteri-isteri anak-anak  angkat  mereka,  bilamana  kehendak mereka  (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah itu mesti dilaksanakan.” (Qur’an, 33:37)

Inilah peristiwa sejarah yang sebenarnya  sehubungan  dengan soal  Zainab  bt. Jahsy serta perkawinannya dengan Muhammad. Dia  adalah  puteri  bibinya,  sudah  dilihatnya  dan  sudah diketahuinya   sampai   berapa  jauh  kecantikannya  sebelum dikawinkan dengan Zaid, dan dia pula  yang  melamarnya  buat Zaid, juga dia melihatnya setelah perkawinannya dengan Zaid, karena pada waktu itu bertutup muka belum lagi dikenal. Sungguhpun begitu dari pihak Zainab sendiri,  sesuai  dengan ketentuan  hubungan kekeluargaan dari satu segi, dan sebagai isteri  Zaid  anak  angkatnya   dari   segi   lain,   Zainab menghubungi  dia karena beberapa hal dalam urusannya sendiri dan juga karena seringnya Zaid mengadukan halnya itu.  Semua ketentuan  hukum  itu  sudah diturunkan. Lalu diperkuat lagi dengan  peristiwa  perkawinan  Zaid  dengan   Zainab   serta kemudian  perceraiannya, lalu perkawinan Muhammad dengan dia sesudah itu. Semua  ketentuan  hukum  ini,  yang  mengangkat martabat  orang  yang  dimerdekakan ke tingkat orang merdeka yang terhormat, dan yang menghapuskan hak  anak-anak  angkat dengan  jalan  praktek  yang  tidak  dapat  dikaburkan  atau ditafsir-tafsirkan lagi. Sesudah semua itu, masih adakah pengaruh cerita-cerita  yang selalu   diulang-ulang   oleh   pihak  Orientalis  dan  oleh misi-misi penginjil,  oleh  Muir,  Irving,  Sprenger,  Well, Dermenghem, Lammens dan yang lain, yang suka menulis sejarah hidup Muhammad? Ya, kadang ini adalah napsu misi penginjilan yang  secara  terang-terangan,  kadang cara misi penginjilan atas nama ilmu pengetahuan. Adanya permusuhan lama  terhadap Islam  adalah  permusuhan  yang  sudah berurat berakar dalam jiwa  mereka,  sejak  terjadinya  serentetan  perang   Salib dahulu.  Itulah  yang mengilhami mereka semua dalam menulis, yang dalam menghadapi soal perkawinan, khususnya  perkawinan Muhammad  dengan  Zainab  bt.  Jahsy,  membuat mereka sampai memperkosa  sejarah,  mereka  mencari  cerita-cerita   yang paling   lemah   sekalipun   asal   dapat   dimasukkan   dan dihubung-hubungkan kepadanya.

Andaikata apa yang mereka katakan itu  memang  benar,  tentu saja kita pun masih akan dapat menolaknya dengan mengatakan, bahwa kebesaran itu tidak tunduk kepada undang-undang. Bahwa sebelum  itu, Musa, Isa dan Yunus, mereka itu berada di atas hukum  alam,  diatas  ketentuan-ketentuan  masyarakat   yang berlaku.  Ada  yang karena kelahirannya, ada pula yang dalam masa kehidupannya, tapi  itu  tidak  sampai  mendiskreditkan kebesaran  mereka.  Sebaliknya Muhammad, ia telah meletakkan ketentuan-ketentuan masyarakat  yang  sebaik-baiknya  dengan wahyu  Tuhan,  dan  dilaksanakan  atas  perintah Tuhan, yang dalam hal ini merupakan contoh yang tinggi  sekali,  sebagai teladan  yang  sangat baik dalam melaksanakan apa yang telah diperintahkan Tuhan itu. Ataukah barangkali yang dikehendaki oleh   misi-misi   penginjil   itu   supaya  ia  menceraikan isteri-isterinya dan jangan  lebih  dari  empat  orang  saja seperti  yang  kemudian  disyariatkan  kepada kaum Muslimin, setelah perkawinannya dengan mereka semua itu?

Adakah juga pada waktu  itu  ia  akan  selamat  dari  kritik mereka? Sebenarnya hubungan Muhammad dengan isteri-isterinya itu  adalah  hubungan  yang  sungguh  terhormat  dan  agung, seperti  sudah  kita  lihat seperlunya dalam keterangan Umar bin’l-Khattab yang sudah kita sebutkan; dan  contoh  semacam itu  akan banyak kita jumpai dalam beberapa bagian buku ini. Semua itu akan menjadi contoh yang berbicara sendiri,  bahwa belum  ada  orang yang dapat menghormati wanita seperti yang pernah diberikan oleh Muhammad, belum ada orang  yang  dapat mengangkat  martabat wanita ketempat yang layak seperti yang dilakukan oleh Muhammad itu.

Catatan kaki:
1 Harfiah: Seseorang dari  kamu  tidak  beriman  sebelum  ia menyukai  buat  saudaranya  apa  yang  disukai  buat dirinya sendiri.  Terjemahan  di  atas  didasarkan  kepada  komentar Nuruddin  as-Sindi  sebagai  anotasi  pada Shahih Al-Bukhari 1/12 (A).
Sumber


 

0 comments:

Posting Komentar