Jumat, 20 Januari 2012

Jangan Tangisi apa yang Bukan Milikmu

Dalam perjalanan hidup ini seringkali kita merasa kecewa. Kecewa sekali. Sesuatu yang luput dari genggaman, keinginan yang tidak tercapai, kenyataan yang tidak sesuai harapan. Akhirnya angan ini lelah berandai-andai ria. Sungguh semua itu telah hadirkan nelangsa yang begitu menggelora dalam jiwa.

Dan sungguh sangat beruntung andai dalam saat-saat terguncangnya jiwa masih ada setitik cahaya dalam kalbu untuk merenungi kebenaran. Masih ada kekuatan untuk melangkahkan kaki menuju majelis-majelis ilmu, majelis-majelis dzikir yang akan mengantarkan pada ketentraman jiwa. Hidup ini ibarat belantara. Tempat kita mengejar berbagai keinginan. Dan memang manusia diciptakan mempunyai kehendak, mempunyai keinginan. Tetapi tidak setiap yang kita inginkan bisa terbukti, tidak setiap yang kita mau bisa tercapai. Dan tidak mudah menyadari bahwa apa yang bukan menjadi hak kita tak perlu kita tangisi.

Banyak orang yang tidak sadar bahwa hidup ini tidak punya satu hukum : harus sukses, harus bahagia atau harus-harus yang lain. Betapa banyak orang yang sukses tetapi lupa bahwa sejatinya itu semua pemberian Allah hingga membuatnya sombong dan bertindak sewenang-wenang. Begitu juga kegagalan sering tidak dihadapi dengan benar. Padahal dimensi tauhid dari kegagalan adalah tidak tercapainya apa yang memang bukan hak kita. Padahal hakekat kegagalan adalah tidak terengkuhnya apa yang memang bukan hak kita. Apa yang memang menjadi jatah kita di dunia, entah itu Rizki, jabatan, kedudukan pasti akan Allah sampaikan.

Tetapi apa yang memang bukan milik kita, ia tidak akan bisa kita miliki, meski ia nyaris menghampiri kita, meski kita mati-matian mengusahakannya. “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakanya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikaNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid : 22-23).

Demikian juga bagi yang sedang galau terhadap jodoh. Kadang kita tak sadar mendikte Allah tentang jodoh kita, bukannya meminta yang terbaik dalam istikharah kita tetapi benar-benar mendikte Allah : Pokoknya harus dia Ya Allah… harus dia, karena aku sangat mencintainya. Seakan kita jadi yang menentukan segalanya, kita meminta dengan paksa. Dan akhirnya kalaupun Allah memberikanya maka tak selalu itu yang terbaik. Bisa jadi Allah tak mengulurkannya tidak dengan kelembutan, tapi melemparkanya dengan marah karena niat kita yang terkotori.

Maka wahai jiwa yang sedang gundah, dengarkan firman dari Allah : “… Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah Maha mengetahui kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216).

Maka setelah ini wahai jiwa, jangan kau hanyut dalam nestapa jiwa berkepanjangan terhadap apa-apa yang luput darimu. Setelah ini harus benar-benar dipikirkan bahwa apa-apa yang kita rasa perlu di dunia ini harus benar-benar perlu bila ada relevansinya dengan harapan kita akan bahagia di akhirat. Karena seorang mukmin tidak hidup untuk dunia tetapi menjadikan dunia untuk mencari hidup yang sesungguhnya : hidup di akhirat kelak! Maka sudahlah, jangan kau tangisi apa yang bukan milikmu!

Allahu’alam

Oleh Ekaerawati

Kalaulah ada kisah di zaman dahulu bahwa ada satu orang di antara tiga orang yang bisa bertawasul dengan amalannya untuk bisa membuka batu yang menghimpit pintu gua, maka aku tertarik dengan tawasulnya। Demi untuk menghindari zina dengan perempuan yang diberinya uang dengan tebusan tubuhnya walaupun ia mudah melakukannya। Kalaulah ada kisah tentang pernikahan dan syarat maharnya, maka kisahUmmu Sulaim yang merelakan keIslaman Abu Tholhah adalah sungguh mengharukan। Dan juga kesederhanaan Ali ra menikahi Fathimah denganbaju besinya.

Saksikanlah ya Robbi, aku pun ingin menjadi Ummu Sulim dan Fathimah। Keduanya tidak mensyaratkan emas dan berlian sebagai penebusan kehalalan calon suami menyentuh tubuhnya। Cukup dengan hafalan surat Ar-Rahman dan tafsir Ibnu kastir। Itupun masih dengan keringanan, tafsirnya boleh dicicil setelah kami menikah nanti. Saksikanlah ya Robbi. aku pun ingin mencontoh sang lelaki yang terjebak di gua tadi. Aku pun ingin bertawasul dengan upayaku untuk menghindari zina. Walapun peluang ke sana sangat mungkin. Banyak lelaki yang mengincarku sejak wajahku memancarkan pesonanya dibangku SMA. Tapi aku takut untuk pacaran. Aku bertekad bahwa cinta yang satu itu hanya kuberikan pada lelaki yang halal untuk memuaskan libidoku dan menjadi salah satu pembuka jalan menggapai surga-Mu Maka saat kuputuskan setelah hari-hari berkonsultasi dalam sujud-sujud istikharah 3 bulan yang lalu untuk mengucapkan “ya”, aku berusaha untuk tidak mendapat murka-Mu, dengan berlama-lama dalam waktu atau menunda-nundanya, sehingga terjebak dalam rimba cinta tanpa status dan fitnah dunia.

Pun kuberusaha menangkis serangan kata-kata romantisnya untuk ditunda hingga saat dia mengucapkan “qobiltu nikahaha।” (kuterima nikahnya)। Maaf ya Allah, jika hari ini aku harus banjir air mata, saat aku baru bisa menjawab pertanyaan orangtuaku, “Kamu punya uang tho untuk menikah?”। “Ya insya Allah diusahakan dan mohon waktunya.”Walaupun aku tahu sekarang hanya beberapa lembar puluhan ribu hasil sisa kas bon di tempat kerjaku yang kupersiapkan untuk bekal sisa bulan ini. “Pokoknya minimal 6-7 juta harus ada lho, ya”, begitu suara ibu disebrang memberi batas minimal dana yang harus kusediakan.

Ya Rozak aku yakin Engkau Maha kaya untuk tidak sampai membuatku merepotkan kedua orangtuaku, membebani saudara-saudaraku atau mengemis pada sesuatu selain-Mu। Aku masih percaya ya Allah। kalau pernikahan ini juga sebagai upaya menolong agama-Mu, maka hamba yakin engkau mau menolongku। Hamba masih yakin dengan hadist Qudsi yang berbunyi “Bahwa Allah malu jika tidak mengabulkan permintaan hamba-Nya yang menengadahkan tangan di sepertiga malam terakhir”. Aku tidak ingin berujung pada keputusasaan. Ya Rahman॥ya Rahim. Jika memang pernikahan ini akan semakin membuat Engkau meridhaiku, maka mudahkan dan lancarkan. Dan satukanlah kami dalam jalinan kasih yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Amien.

“Fa maadza ba’da-lhaqq, illa-dl_dlalaal” (sumber)

0 comments:

Posting Komentar