Senin, 30 Januari 2012

Cermin di Tengah Batang

Pengantar:

(Beberapa waktu yang lalu, kami menerima email dari Pak Syardono Syarif, seorang guru dari Pekalongan yang kreatif melalui suguhan-suguhan kisahnya yang memikat. Beberapa cerita anaknya sudah beberapa kali dimuat di web ini, meski --mohon maaf-- tanpa honor alias imbalan sepeser pun. Kiriman email kali ini berupa cerita bersambung. Kami sangat senang menerimanya. Terima kasih Pak Syardono. Pada edisi kali ini kami muat kisah bagian I. Selamat menikmati, semoga menghibur dan bermanfaat. Salam kreatif!)


KABAR GEMBIRA

Sabtu, jam 06. 00 pagi. Suasana desaku masih tampak sepi. Belum banyak orang pergi ke pasar, apalagi ke kantor tempat mereka bekerja. Belum, belum banyak. Kebanyakan orang di desaku masih lebih suka bermalas-malasan. Mereka suka pilih berselimut sarung daripada harus berdandan rapi. Lebih-lebih jam baru sepagi itu.

Maklum. Desaku, Domiyang, terletak di kaki Gunung Slamet. Karena di pegunungan, bila musim kemarau tiba seperti sekarang ini, bukan main dinginnya udara pagi bertiup. Dingin! Dingin sekali! Jadi, wajar bila jam sepagi itu baru sedikit orang di desaku yang mau meninggalkan rumah untuk bekerja.

Berbeda denganku. Karena dituntut untuk tidak sampai terlambat tiba di sekolah. Walau udara masih terasa dingin. Walau hari masih sangat pagi. Walau badan masih menggigil. Mau tak mau aku harus sudah bersiap diri untuk berangkat sekolah. Apalagi sekolahku cukup jauh jaraknya dari rumah.

Di SMP Negeri 1 Paninggaran, itu tempat sekolahku. Untuk bisa sampai di sekolah, hampir setiap pagi aku selalu menumpang bus umum. Bus yang selalu melintas di jalan raya depan rumahku.

Benar. Pagi itu aku tiba di sekolah jam 06.45. Di halaman belum tampak banyak anak yang datang. Rupanya baru beberapa temanku saja yang ada. Mereka antara lain; Gadis, Melati, Teten, Dhestya, dan Jaka. Semua terlihat asyik berbincang di bangku taman.

“Hallo! Selamat pagi, Virdha! Apa kabar?”demikian sapa Melati begitu melihatku turun dari bus.

“Hallo! Selamat pagi juga! Kabarku baik-baik saja,Sobat,”jawabku seraya menghampiri Melati dan teman-teman.

“Syukurlah kalau begitu,”ujar anak berkulit hitam manis tadi sambil tersenyum.

“Virdha!”ujar Melati kemudian.

“Ya! Ada apa lagi, Sobat?”sahutku menyimpan tanda tanya.

“Cepat kautaruh tasmu ke dalam kelas! Kemudian segera ke sini lagi!”

“Lho! Memangnya ada apa, Kawan?”tanyaku dengan kening sedikit berkerut.

“Mau ikut kami, tidak?”balas Melati.

“Ke mana?”dengan rasa penasaran, aku bertanya lagi.

“Ke kantor guru untuk menemui Bu Nuning.”

“Ada apa dengan Bu Nuning?”tanyaku masih dengan rasa penasaran

“Kata Beliau,”jawab Melati menerangkan. “Di kantor ada Pengumuman Sayembara Mengarang.”

“Sayembara mengarang untuk kita?”

Melati mengangguk.

“Kalau begitu, aku ikut, ah!”kataku mantap.

“Kalau mau ikut, lekas kautaruh dulu tasmu , Virdha!”sela Gadis seperti tak sabar.

“Oke. Tunggu sebentar!”jawabku seraya mengambil langkah setengah berlari menuju ke ruang kelas 3A. Kelas tempatku biasa menuntut ilmu sehari-hari di sana.

Tak lebih dua menit dari itu, kutemui lagi Melati, Gadis, dan kawan-kawan lain di bangku taman.

“Bagaimana, Sobat? Rencana untuk menemui Bu Nuning, jadi tidak?”tanyaku kepada Melati.

“Tak jadi,”jawab Melati singkat.

“Kenapa?”sahutku tak mengerti.

“Baru saja Bahtiar membawa kabar dari Bu Nuning,”kata Melati. “Bahwa pengumuman yang kami maksudkan tadi akan disampaikan Bu Guru nanti di depan kelas.”

“Betul, Virdha! Aku baru saja bertemu Bu Nuning di depan kantor. Beliau mengatakan seperti apa yang diutarakan Melati tadi,”ujar Bahtiar meyakinkan.

“Oh...! Begitu?”sahutku seraya mengangguk-angguk kecewa.“Iya sudah, kita tunggu saja saatnya nanti,”lanjutku tak semangat.

“Tak usah kecewa,Sobat! Kita sama-sama menunggu. Oke?”ujar Melati sembari tersenyum membangkitkan semangatku.

Aku mengangguk, mengiyakan.

Usai itu, kami duduk-duduk di bangku taman kembali. Banyak gurauan segar yang kami perbincangkan di sana. Karena sangat asyiknya, hampir saja kami tak mendengar bel pertanda sekolah masuk berdering dari arah kantor guru.

“Tiriririring.......! Tiriririring..........! Tiriririiiiiiiiiing................!”

Mendengar itu, Melati , Gadis , Teten, Dhestya, Jaka, Bahtiar, dan aku sendiri segera lari menuju kelas.

“Hore.......!”seru kami ramai berebut pintu kelas dengan anak yang lain.

Dalam sekejap keramaian itu pun berpindah ke dalam kelas. Banyak percakapan dan cerita teman-teman yang tercurah di situ. Banyak ragam cerita mereka. Ada yang bercerita tentang PR Bahasa Indonesia yang belum selesai dikerjakan. Ada yang memperbincangkan pengalaman sepanjang perjalanan ketika berangkat sekolah tadi pagi. Bahkan ada pula yang membicarakan bagusnya acara sinetron remaja yang mereka saksikan kemarin petang di layar televisi. Percakapan kami baru bisa diam oleh kehadiran Bu Guru Nuning ke dalam kelas.

“Selamat pagi, Anak-anak!”sapa Bu Guru kami yang amat lincah itu dengan ramah.

“Selamat pagi, Bu..........!”balas kami serempak.

“Pelajaran apa sekarang, Anak-anak?”lanjut Bu Guru yang masih muda belia tadi seraya tersenyum manis.

“Bahasa Indonesia, Bu.......!”sahut Bahtiar lantang dari bangku belakang.

“Oh, ya?”sahut Bu Guru yang berlesung pipit di kedua pipinya tadi sambil mengambil duduk di kursi kerjanya.

“Iya, Bu!”kembali Bahtiar berseru untuk meyakinkan Bu Nuning.

“Baiklah,”sahut Bu Guru yang cantik itu dengan ramah.“Sebelum Ibu berikan pelajaran Bahasa Indonesia,”demikian lanjutnya. “Terlebih dulu akan Ibu bacakan sebuah pengumuman penting untuk kalian.”

“Kiranya pengumuman apa, Bu?”tanya Ardhana dari bangku tengah, ingin tahu.

“Pengumuman tentang sayembara mengarang, Anak-anak.”

“Prosa atau puisi, Bu?”aku segera bertanya.

“Prosa.”

“Fiksi atau nonfiksi, Bu?”tanyaku lagi.

“Fiksi dan nonfiksi.”

“Siapa penyelenggaranya, Bu?”Gadis ikut bertanya, ingin mengerti.

“Penyelenggaranya,”jawab Bu Nuning sambil tersenyum manis. “Kerja sama antara Dinas Pendidikan, Dewan Kesenian Daerah, dan Pemerintah Kabupaten Pekalongan,Anak-anak.”

“Dalam rangka apa sayembara tersebut diselenggarakan, Bu?”sela Teten ingin mengerti juga.

“Dalam rangka menyambut Bulan Bahasa, Oktober mendatang, Anak-anak.”

“Siapa saja yang boleh mengikuti sayembara tersebut, Bu?”Dhestya juga ikut bertanya.

“Sayembara ini diperuntukkan bagi siswa-siswi tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK negeri maupun swasta, Anak-anak. Terutama bagi siswa-siswi yang bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Pekalongan,”jawab Bu Guru Nuning panjang.

“Pesertanya perorangan apa kelompok,Bu?”tanya Jaka.

“Sesuai dengan apa yang tertera di lembar pengumuman ini,”demikian Bu Guru yang

masih lajang tadi menjawab. “Pesertanya boleh perorangan, boleh pula kelompok.”

“Lantas, berapa rupiah hadiahnya, Bu?”sela Melati.

“Hadiah yang disediakan,”sahut Bu Nuning. “Untuk pemenenang I, sebesar Rp3.000.000,00. Pemenenang II, Rp 2.500.000,00. Pemenang III, Rp 2.000.000,00. Harapan I, Rp 1.500.000,00. Harapan II, Rp 1.000.000,00. Harapan III, Rp 500.000,00.”

“Wah! Menarik sekali hadiahnya ya, Bu?”seru Jaka dengan wajah ceria.

“Memang menarik sekali, Jaka! Kau akan mengikutinya, bukan?”

“Saya akan mencobanya, Bu,”jawab Jaka penuh angan-angan.

“Cobalah! Siapa tahu, kau pemenangnya, Jaka?”

“Amin,Bu! Amin....!”

Tak lama dari itu, kami memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan pengumuman yang akan dibacakan Bu Guru Nuning selanjutnya.

“Sayembara ini bertema “Dengan Sayembara Mengarang, Kita Ciptakan Generasi Muda yang Berbudi Pekerti Luhur, Cerdas, Terampil, dan Kreatif untuk Menyongsong Indonesia di Masa Mendatang.”

”Terus apa lagi, Bu?”tanya Bahtiar menyela.

“ Panjang karangan yang beragam prosa ini,”ujar Bu Guru kemudian,” Sedikitnya 10 halaman kertas folio, atau 20 halaman kertas kwarto.”

“Terus, Bu?”potong Dhestya.

“Hasil karangan diketahui oleh Kepala Sekolah. Karangan dimasukkan ke dalam amplop tertutup. Masing-masing dibubuhi kode A, untuk kelompok SD. Kode B, untuk kelompok SMP, dan kode C, untuk kelompok SMA.”

“Seterusnya, Bu?”sela Ardhana.

“Karangan bisa dikirim langsung atau lewat jasa pos ke alamat panitia, Jl. Sumbing

Nomor 3 Kajen. Karangan ditunggu paling lambat tanggal 31 Agustus (cap pos).”

“Selanjutnya,Bu?”Melati ikut menimpali.

“Para pemenang akan diundang oleh panitia untuk ikut upacara bersama Bupati.

Tepatnya pada Hari Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober mendatang di alun-alun Kota Kajen.”

“Wah,wah,wah.....! Sungguh membanggakan sekali bagi yang menang, ya,Bu! Bisa upacara bersama Bupati,”seru Ardhana kagum.

“Iya. Memang membanggakan sekali, Dhan. Apakah kau tidak ingin mengikutinya?”

Ardhana tersenyum. “Seperti Jaka. Saya akan mencobanya, Bu,”kata anak yang berambut sedikit ikal itu penuh semangat.

“Cobalah! Siapa tahu engkau termasuk pemenangnya, Dhan?”

“Terima kasih, Bu! Doa Bu Guru senantiasa saya dambakan,”sahut Ardhana mantap.

Selang sesaat.

“Dari apa yang Ibu utarakan tadi, adakah yang ingin kalian tanyakan, Anak-anak?”tanya Bu Guru Nuning.

“Ada, Bu!”sahutku dari bangku depan.

“Iya, silakan! Apa yang akan kautanyakan, Virdha?”sahut Bu Guru seraya berpaling ke arahku.

“Untuk karangan nonfiksi, kiranya boleh menulis biografi seseorang tidak, Bu?”

“Maksudmu, kisah tetang sukses seseorang,Virdha?”

“Iya, Bu,”jawabku sambil mengangguk.

“Oh..... ! Itu, boleh saja, Virdha,”ujar Bu Guru. “Apakah kau suka menulis biografi seseorang, Virdha?”

“Iya. Saya suka, Bu.”

“Kalau suka, cobalah! Ibu punya nara sumbernya.”

“Maksud, Ibu?”dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya.

“Bu Guru punya alamat seseorang yang cukup layak untuk ditulis riwayat hidupnya, Virdha.”

“Siapakah orang itu, Bu?”

“Orang itu, seorang guru teladan. Mulai dari tingkat kabupaten, hingga luar negeri,”demikian jawab Bu Guru.

“Betulkah itu., Bu?”tanyaku ingin keyakinan.

Bu Nuning mengangguk. Meyakinkan.

“Maka, bila kau ingin tahu dan membutuhkan alamatnya,”ujar Bu Nuning. “Silakan nanti sore datang saja ke rumah Bu Guru!”

“Bolehkah saya datang bersama teman yang lain, Bu?”usulku penuh harap.

“Mengapa tidak boleh, Virdha?”Bu Nuning balik bertanya.

Aku tersenyum.

“Terima kasih. Kalau begitu, nanti sore saya akan datang ke rumah Ibu,”janjiku.

“Saya ikut,”potong Melati.

“Saya juga ikut,”tambah Gadis.

“Saya ikut juga,”pinta Teten.

“Saya jangan kalian tinggal!”Dhestya tidak mau ketinggalan.

“Baik. Silakan kalian datang. Akan Ibu Guru tunggu.”

“Terima kasih, Bu,”ucapku mewakili teman-teman.

Sekejap dari itu, bel tanda istirakhat terdengar berdering nyaring dari kantor guru. Maka, Bu Nuning pun segera keluar meninggalkan kelas. Demikian pula kami.
-------
2. DALAM BUKU HARIAN

Sore harinya.

Dengan ditemani Melati,Gadis, Teten, Dhestya, Jaka, Ardhana, dan Bahtiar, aku pergi ke rumah Bu Nuning.
Rumah Bu Guru Nuning terletak di tepi jalan raya Paninggaran. Tak jauh dari SMP tempat kami sekolah. Itu sebabnya, untuk bisa sampai di rumah Beliau, kami dapat naik bus umum. Tidak harus naik ojek atau angkutan pedesaan.

“Assalamualaikum....! Selamat sore, Bu Guru!” salam Bahtiar begitu kami tiba di rumah Bu Guru.

“Waalaikum salaam....!”serta-merta Bu Nuning segera menoleh ke arah kami. “Oh...! Bahtiar dan kawan-kawan!”tambahnya kaget.

“Mari, masuk, Tiar! Ayo, yang lain!”agak gugup Ibu Guru muda tadi menyilakan.

“Terima kasih,Bu,”sahut Bahtiar seraya tersenyum. Kami menurut. Dengan langkah hati-hati kami memasuki ruang tamu Bu Guru.

“Ayo, silakan duduk, Anak-anak!”

“Iya, Bu,”sahutku sopan sembari tersenyum.

Setelah tak lama kami mengambil duduk, Bu Nuning berkata,”Maaf. Ibu mau cuci tangan dulu ya, Anak-anak?”

“Ya, Bu. Silakan, Bu,”sahut kami hampir bersamaan.

Sore itu, saat kami tiba di rumah Bu Guru. Beliau tampak sedang sibuk menyiram bunga di teras depan. Rupanya Bu Guru yang cantik itu banyak menanam aneka warna bunga hias di dalam pot. Karena sangat sibuknya, sampai-sampai Bu Nuning tak sempat melihat kedatangan kami. Karena itu wajar, apabila Beliau cukup kaget lagi gugup menyambut kami datang.

“Apakah kamu jadi mau menulis biografi seseorang, Virdha?”tanya Bu Nuning begitu tiba di tengah-tengah kami kembali.

“Iya. Jadi, Bu,” sahutku seraya tersenyum. ”Bahkan bukan cuma saya saja, Bu. Melainkan teman-teman saya ini juga akan ikut mencobanya,” sambungku sambil menunjuk ke arah Melati, dan kawan-kawan.

“Bagus!”sahut Bu Nuning mantap. “Memang anak-anak seperti kalianlah yang Ibu harapkan. Anak-anak yang penuh kreatif, semangat, dan punya kemauan keras untuk selangkah lebih maju dari anak-anak yang lain.”

Mendengar komentar serta pujian Bu Nuning tadi, menjadikan hati kami bertambah besar. Menjadikan hati kami makin percaya diri untuk bisa berkarya dengan baik.

“Jadi, kalian butuh alamat seseorang yang hendak ditulis riwayat hidupnya, Anak-anak?”

“Benar,Bu!”sahutku mantap sambil mengangguk-angguk. “Itu sebabnya, sore ini kamidatang ke mari, Bu.”

“Kalau begitu, baiklah. Tunggu sebentar! Akan Ibu ambilkan Buku Harian Ibu.”

“Iya, Bu.....!”sahut kami serempak

Bu Nuning bangkit dari tempat duduknya. Lalu masuk ke ruang tengah.Selang sesaat keluar lagilah Beliau dengan di tangannya membawa sebuah buku kwarto menemui kami.

“Ini, alamat dan nama tokoh masyarakat yang bisa kalian angkat riwayat hidupnya ke dalam bentuk tulisan, Anak-anak,”Bu Nuning mengulurkan sebuah buku kepadaku.

“Coba, lihat, Bu!”pintaku sopan.

Melihat itu, Gadis, Melati, Teten,Dhestya, segera merubungku. Mereka mengerumuniku untuk ikut membaca isi buku harian Bu Nuning yang ada di tanganku.

“Coba, kaubacakan saja isinya keras-keras, Virdha!”pinta Bahtiar penuh harap dari tempat duduknya.

“Oke! Dengarkan baik-baik, Sobat!”ujarku menuruti permintaan Bahtiar.

Di dalam buku harian tersebut, ternyata Bu Guru banyak mencatat nama dan alamat orang-orang terkenal. Baik terkenal di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Bahkan ada pula yang terkenal di tingkat dunia.

“Cepat kaubacakan,Virdha!”pinta Bahtiar tak sabar.

“Baik,”sahutku. “Pertama,”sambungku mulai memenuhi permintaan Bahtiar. “ Eriyah. Dengan prestasinya sebagai penyelamat lingkungan hidup dari bahaya tanah longsor dan hutan gundul di desa yang dipimpinnya, tahun 1984 oleh pemerintah pusat Ibu Eriyah dijuluki sebagai Pahlawan Penyelamat Lingkungan Hidup.

Pada tahun yang sama, 1984, Bu Eriyah juga mendapat gelar sebagai Wanita Pertama Penerima Kalpataru dari Pemerintah Republik Indonesia berkat prestasinya di bidang program penghijauan desa. Bahkan pada tahun 1987, Bu Eriyah juga dikenal oleh banyak orang di seluruh dunia.”

“Atas prestasinya di bidang apa, Virdha?” potong Teten penuh rasa ingin tahu.

“Menurut buku harian Bu Nuning ini,”ujarku. “Pada tahun tersebut Bu Eriyah mengukir prestasinya di bidang pemberantasan buta huruf tingkat internasional. Dari prestasinya itu Bu Eriyah mendapat gelar sebagai Turor Teladan Tingkat Dunia.”

“Siapa yang memberi gelar tersebut, Virdha?”Jaka ikut bertanya.

“UNESCO,” jawabku. “Yaitu suatu lembaga Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi tentang ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan tingkat dunia. Atas prestasinya itu pula, Bu Eriyah mendapatkan piagam penghargaan The Nadezdha K.Krupskaya Prize dari UNESCO di Paris, Perancis.”

“Cek,cek,cek....!”sembari menggeleng-gelengkan kepala, Bahtiar berdecak kagum.

“Sungguh hebat sekali prestasi Bu Eriyah ini, ya, Kawan-kawan?”

“Iya. Hebat sekali, ya!”sahut Ardhana maupun Jaka sependapat dengan Bahtiar.

“Memangnya, di mana alamat tempat tinggal Bu Eriyah, Virdha?”sela Dhestya ingin tahu lebih jauh.

“Alamat Bu Eriyah,”sahutku. “Di Desa Kaliboja, Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah.”

“Lho! Kalau begitu, tidak jauh dari desa kita ‘kan?”seru Gadis. “Dengan demikian berarti kita punya seorang tokoh terkenal di tingkat dunia?”ujarnya kagum.

Teman-teman yang diajak bicara serempak mengangguk-angguk, mengiyakan.

“Lantas, urutan yang kedua, siapa, Virdha?”tanya Gadis kemudian..

“Urutan yang kedua, Ari Yustisia Akbar,”jawabku. “Mantan siswa SMA Negeri 1 Kajen yang sekarang sedang menempuh kuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini, terkenal di tingkat dunia berkat prestasinya di bidang Kimia. Ari berhasil menyabet juara dalam kompetisi Olimpiade Kimia Tingkat Dunia di Athena, Yunani, tahun 2003. Ari mendapat piagam dan medali perak sebagai penghargaan atas prestasinya dari President Scientific Committee 35 th IChO, Prof. Aristides Mavridis dan President 35 th IChO, Dr. Andreas Tsatsas.”

“Lantas, di mana alamat tempat tinggal Ari Yustisia Akbar, Virdha?”rupanya Melati juga ingin tahu.

“Ari Yustisia Akbar bertempat tinggal di belakang Kantor Camat Kajen. Tepatnya di Jl. Bima I, rumah urut nomor 2, menghadap timur.”

“Kajen itu di mana letaknya, Virdha?”

“Kajen terletak kurang lebih 25 km di sebelah utara Paninggaran,”sahut Bu Nuning menjelaskan. “Kajen merupakan nama ibukota dan pusat pemerintahan Kabupaten kita, Pekalongan.”

“Ooo....!”gumam kami sembari mengangguk-angguk. Dari penjelasan Bu Guru tadi, membuat kami jadi mengerti tentang kota Kajen.

“Terus, siapa lagi tokoh terkenal yang terdapat di dalam buku harian Bu Guru Nuning itu,Virdha?”tanya Bahtiar sesaat dari itu.

“Drs. Sugito Hadisastro,”jawabku setelah sepintas membaca tulisan Bu Guru.

“Memangnya siapa Pak Sugito itu, Virdha?”Teten ikut menyela.

“Menurut catatan di buku ini,”kataku menjawab. “Pak Sugito adalah salah seorang guru SMK yang memiliki segudang prestasi.”

“Apa saja prestasi Pak Gito, Virdha?”sela Dhestya.

“Masih menurut buku harian ini,”ujarku. “Selain sebagai guru teladan yang pernah mengukir prestasinya di Australia, ternyata Pak Sugito juga merupakan sosok pengarang tingkat nasional. Banyak buku karyanya yang beredar di sekolah-sekolah maupun toko-toko buku.Beliau juga mahir dalam berbahasa Inggris baik lisan maupun tulisan. ”

“Di dalam buku harian itu, tertulis apa saja bukti prestasi Pak Sugito, Virdha?”

“Di buku ini tak Ibu tulis macam-macam prestasi Pak Gito,”potong Bu Nuning cepat. “Oleh sebab itu,”sambung Bu Guru yang cantik itu. “Apabila kalian ingin tahu lebih banyak tentang prestasi Pak Gito,”tambahnya. “Silakan kalian datang ke rumahnya! Wawancarai Beliau sebanyak-banyaknya!”

“Memangnya di mana Pak Sugito tinggal, Bu?”tanya Melati.

“Pak Sugito tinggal di Jl. Bima No.2, Desa Sambong Timur, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah.”

“Kalau begitu, kita harus segera ke sana, Virdha!”ujar Melati seperti mengajukan usul.

“Tidak harus!”sahut Jaka tak setuju.

“Kenapa?”tangkis Melati.

“Mengapa kita harus pilih tokoh yang tinggal jauh di luar kota? Bila sementara yang tinggal di kota sendiri saja ada?,”sahut Jaka.

“Bu Eriyah,maksudmu?”tanya Melati.

“Ya,iyalah....!”sahut Jaka. “Bu Eriyah ‘kan tinggal di dalam wilayah kecamatan kita sendiri? Mengapa kita harus pergi ke rumah Pak Gito yang jauh di Batang?”
“Tapi menurut sepengetahuan Ibu,”dengan lembut Bu Nuning menengahi keduanya. “Buku yang memuat tentang biografi Bu Eriyah sudah ada, Jaka. Apakah kau belum pernah membacanya di perpustakaan?”

Jaka menggelengkan kepala.

“Coba, kaucari di perpustakaan sekolah! Pasti di situ ada,”kata Bu Guru Nuning menyarankan.

“Baik, Bu. Maaf saya tidak tahu,”ucap Jaka polos.

“Tidak apa-apa,”jawab Bu Nuning sembari tersenyum.

“Bagaimana dengan Ari Yustisia Akbar, Bu? Apakah sudah ada bukunya juga?”tanya Ardhana.

“Buku yang memuat tentang biografi Ari, juga sudah ada di perpustakaan-perpustakaan sekolah, Ardhana,”jawab Bu Guru.

“Silakan kaucari di sana!”

“Oh! Apakah benar, Bu?”ucap Ardhana meminta keyakinan.
Bu Nuning mengangguk mantap.

“Oleh sebab itu,”kata Bu Nuning kemudian. “Kalian perlu datang ke rumah Pak Gito. Jadikan Beliau sebagai nara sumber untuk tulisan kalian nanti!”

“Apakah buku tentang biografi Pak Sugito belum pernah ada, Bu?”timpal Bahtiar ingin tahu.

“Menurut pengamatan Ibu,”sahut Bu Guru Nuning. “ Buku biografi Pak Sugito, belum pernah ada, Tiar.”

“Kalau begitu, bisalah kita ke Batang untuk menemui Pak Sugito,”ujar Bahtiar menyetujui pendapat Melati. “Bagaimana menurut pendapat teman yang lain?”

“Iya, kami setuju.....!”sahut Gadis, Teten, Dhestya, Ardhana, dan aku sendiri,Virdha, hampir bersamaan.

“Kapan kiranya kami ke sana, Tiar?”tanyaku.

“Kapan, Bu?”Bahtiar melemparkan pertanyaanku ke Bu Guru Nuning.

“Makin cepat, makin baik,”sahut Bu Guru.

“Bagaimana kalau hari Minggu besok, Bu?”usul Gadis.

“Terserah kalian sajalah,”jawab Bu Guru.

“Menurut pendapatmu, bagaimana, Virdha?”masih tanya Gadis.

“Menurutku,”aku menyahut. “Karena hari Minggu sekolah kita libur. Sekolah Pak Gito juga libur. Maka, aku setuju sekali pada usulan Gadis.”

"Ya, aku pun setuju!”sela Ardhana.

“Aku setuju juga!”tambah Teten.

au begitu,”kataku. “Berarti hari Minggu besok kita sepakat jadi pergi ke Batang, ke rumah Pak Gito. Begitu?”

“Iya....!”sahut teman-teman serempak.

“Maaf, aku usul!”ujar Dhestya menyela.

“Usul apa?”aku menanggapi.

"Siapa yang hendak mendampingi kami ke sana?”

“Tak usah khawatir!”tangkisku. “Kami ‘kan punya Bu Guru Nuning.”

“Maksudmu?”kening Dhestya sedikit berkerut.

“Kami semua ‘kan punya Ibu Guru yang bijaksana?”ujarku seraya melirik Bu Nuning. “Ibu Guru yang penuh perhatian?”sambungku.

“Masa iya, seorang Ibu yang baik hati tak mau mengantarkan usaha keras anak-anaknya ke Batang? Iya ‘kan, Bu?”

Sambil tersenyum manis, Bu Guru muda yang berparas cantik itu, mengangguk.

“Mengapa harus Ibu yang mengantar?”tanyanya lembut.

“Ya, iyalah....! Ibu ‘kan Guru kami yang baik hati?”ujar Melati. “Setuju tidak, Teman-teman?”

“Setuju....! Setuju sekali......!”sahut kami saling bersahutan.

“Baiklah,”ucap Bu Nuning menyanggupi. “Asalkan kalian mau menyiapkan segala sesuatunya.”

“Apa saja yang mesti kami siapkan, Bu?”tanya Teten.

“Daftar pertanyaan sebagai bahan wawancara dengan Pak Sugito.”

“Berapa banyak, Bu?”masih Teten yang bertanya.

“Sebanyak-banyaknya.”

“Baik, Bu. Kami akan menyusunnya dengan segera,”sahutku mewakili Teten dan teman-teman.

“Terus apalagi,Bu?”tanya Teten lagi.

“ Tape recorder.”

“Untuk apa tape recorder,Bu?”sela Dhestya.

“Untuk merekam nara sumber selama wawancara berlangsung.”

“Oh...?”dari jawaban Bu Guru tadi, Dhestya jadi mengerti.

“Lantas, apa lagi yang perlu kami siapkan, Bu?”Gadis ikut nimbrung.

“Kodak.”

“Untuk apa Kodak, Bu?”masih tanya Gadis.

“Untuk memotret gambar nara sumber yang kalian wawancarai.”

“Pak Sugito, maksud Ibu?”aku menyela.

“Benar,”jawab Ibu Guru muda yang lincah lagi cantik itu seraya tersenyum.

“Terus, apalagi, Bu?”Ardhana ikut bertanya.

“Bolpoint sebagai alat tulis.”

“Maaf, Bu!”potong Bahtiar.

“Ya?”sahut Bu Nuning seraya menoleh ke arah Bahtiar.

“Tempat tinggal Pak Sugito di Batang bukan, Bu?” Bu Nuning mengangguk.

“Kiranya di mana letak kota Batang itu, Bu?”

“Oh, itu...?” Bahtiar mengangguk.

“Kota Batang terletak lebih kurang 90 km sebelah barat Semarang,”kata Bu Guru Nuning menjelaskan. “Atau sekitar 10 km sebelah timur kota Pekalongan,”sambungnya.

“Kalau ditempuh dari Paninggaran sini,”sahut Bahtiar. “Ke arah mana kami harus menuju, Bu?”

“Kalian bisa naik bus umum ke arah utara,”jawab Bu Guru. ”Sekitar sejauh 24 km, kalian akan tiba di kota Kajen, ibukota Kabupaten Pekalongan.”

“Setelah sampai di Kajen, ke mana lagi kami menuju, Bu?”sela Jaka.

“Dari Kajen, ada dua jalur yang bisa menghubungkan kota Batang,”sahut Bu Nuning. “Pertama,”katanya lebih lanjut. “Lewat jalur timur. Yaitu, dari Kajen, Karanganyar, Kedungwuni, Pekajangan, Buwaran,Ponolawen, Terminal Bus Induk Kota Pekalongan.”

“Jalur yang kedua, Bu?”potong Melati, ingin segera tahu.

“Jalur kedua,”jawab Bu Guru. “Lewat jalur utara,”sambungnya. “Yaitu, dari Kajen, Bojong, Wiradesa, Tirto, Pekalongan kota, Ponolawen, Terminal Bus Induk Kota Pekalongan.”
--------------------------
“Setelah tiba di Terminal Bus Induk Kota Pekalongan, ke mana lagi arah kita, Bu?”masih tanya Melati.

“Ke arah timur, sejauh kurang lebih 10 km, kalian akan tiba di kota Batang.”

“Kami mesti naik apa, Bu?”tambah Teten.

“Bisa naik bus, bisa pula angkutan kota jurusan Batang.”

“Lantas, kami harus turun di mana, Bu?”aku, Virdha, ikut bertanya.

“Bisa turun di Alun-alun kota Batang. Bisa pula di Pasar Batang.”

“Selanjutnya, Bu?”masih aku yang bertanya.

“Selanjutnya, kalian bisa naik becak ke arah timur, ke Desa Sambong Timur. Sebelum tiba di Pabrik Textil Primatexco, di sebelah kanan jalan, ada jalan menuju lapangan. Beloklah kalian ke jalan itu! Melalui jalan lapangan sejauh 500 meter, nanti akan kalian temukan Jl. Bima, rumah nomor 2. Berarti, sampailah kalian di rumah Pak Sugito.”

“Nah, kalau begitu,”potongku. “Jam berapa besok kita mesti berangkat ke Batang, Bu?”

“Jam 07.00 kalian harus sudah tiba di rumah Bu Guru. Siap?”

“Siap, Bu......! Kami akan siap jam 07.00 tepat!”sahut kami serempak mengakhiri perbincangan dengan Bu Guru Nuning.

Sementara itu, di langit barat, matahari sore hampir tersangkut pucuk hutan pinus. Hari di ambang petang. Maka dengan segera kami mohon diri untuk meninggalkan rumah Bu Guru.
-------
3. MENYUSURI KOTA TUJUAN
Minggu pagi tiba. Dengan malu-malu sang surya mengintai Desa Domiyang dari balik Bukit Paninggaran. Seraya menanti cahaya panasnya untuk mengusir dingin udara pagi,aku berangkat ke rumah Bu Guru Nuning.

Dengan menumpang bus umum, aku dibawanya lari ke kota Kecamatan Paninggaran. Sesampai di depan rumah Bu Nuning, aku meminta bus untuk berhenti. Setelah turun dan tiba di rumah Bu Guru, di sana ternyata telah berkumpul Gadis, Melati, Teten, Dhestya, Jaka, Ardhana, dan Bahtiar.

“Hallo, Virdha! Apa kabar? Tumben pagi ini datangmu terlambat?”sapa Melati sambil menyongsongku.

“Hallo juga, Sobat,”kataku. “Kukira, akulah yang datang paling awal, Mel. Tak tahunya, e.....justru sebaliknya, ya?”

“Tak mengapa, Virdha!”komentar Gadis. “Tokh Bu Nuning juga belum siap kok,”katanya kemudian.

“Jam berapa tadi kau tiba di sini, Gadis?”

“Kebetulan kami bertujuh hampir bersamaan. Kurang lebih jam 06.30.”

“Oh...., pantas, aku terlambat!”kataku. “Jam sepagi itu, aku sedang menunggu bus umum,Dis.”

“Belum! Engkau belum terlambat,Virdha,”Dhestya ikut menimpali.

“Apa buktinya, kalau aku belum terlambat, Dhes?”tanyaku pada anak yang bermata sipit, namun cantik itu, menggoda.

“Buktinya,”timpal Dhestya. “Kau lebih awal daripada persiapan Bu Guru. Ya tidak,
Teman-teman?”

“Ya, memang betul!”sahut Bahtiar mewakili teman yang lain.

Untuk sesaat kami diam. Tak lebih satu menit dari itu, Bu Nuning pun muncul dari dalam rumah.

“Selamat pagi, Bu Guru!”sapaku seraya melirik Bu Nuning.

“Selamat pagi kembali,”sahut Bu Nuning sembari berpaling ke arahku. “Oh, Virdha! Kapan kau datang, Nak?”tanya Bu Guru.

“Baru saja berselang, Bu,”jawabku sambil tersenyum.

“Oh, ya?”ujar Bu Nuning. “Seraya menunggu persiapan Ibu selesai,”tambahnya. “Silakan kalian ngobrol dulu di dalam!”

“Terima kasih,Bu. Kami ngobrol di luar saja, di teras ini,”jawabku mewakili teman-teman.

“Ya, sudah,”Bu Guru masuk ke ruang tengah.

Sementara itu, kami sibuk dengan persiapan masing-masing.

“Coba, kauperiksa ulang isi tasmu,Dhestya! Siapa tahu masih ada bekal yang tertinggal di rumah?”pintaku setengah menyarankan.

“Baik, Sobat,”anak yang berhidung mancung dan bermata sipit itu menuruti perintahku.

“Kodak! Ya, kau sudah bawa Kodak belum, Dhes?”kataku mengingatkan.

“Sudah. Ini...!”ucap Dhestya seraya menunjukkan alat potretnya kepadaku dan kawan yang lain.

“Oh,ya! Syukurlah kalau sudah kaubawa,”kataku. “Siapa yang dapat jatah membawa tape recorder?”tanyaku selanjutnya.

“Aku!”seru Teten. “Ini tape recorder bawaanku, Virdha.”

“Oh, ya!”kataku lega. “Sekarang, siapa yang membawa kertas atau buku berisi banyak
pertanyaan untuk bahan wawancara?”

“Aku!”sahut Bahtiar. “Ini, aku bawakan satu buku berisi penuh pertanyaan untuk Pak
Sugito nanti.”

“Oh,ya! Aku percaya,”kataku seraya tersenyum. “Dengan demikian berarti kita telah siap untuk berangkat wawancara.”

“Benar, Virdha!”komentar Ardhana tegas. “Tampaknya pagi ini kita telah siap dengan perbekalan wawancara yang cukup lengkap.”

“Betul,”sahutku cepat. “Oleh sebab itu, dari hasil wawancara dengan Pak Sugito nanti,”lanjutku kemudian. “Kita rangkum bersama.”

“Maksudmu, Virdha?”masih tanya Ardhana.

“Untuk dapat menghasilkan suatu karya yang bagus,”ujarku. “Semua hasil wawancara hendaknya kita rangkum, kita olah, dan kita susun dengan baik secara bersama-sama.”

“Agar karya biografi tentang Pak Sugito nanti, bisa jadi juara. Begitu maksudmu, Virdha?”ucap Bahtiar.

“Betul!”jawabku singkat lagi padat.

“Benar!”Melati menambahkan. “Untuk meraih kejuaraan memang segalanya harus kita perjuangkan bersama-sama.”

“Itu memang harus!”sambung Teten. “Kami harus berjuang bersama. Untuk menang bersama,”tambah anak itu penuh cit-cita.

“Agar nama kami kondang di mana-mana, begitu?”potong Jaka.

“Bukan nama kami saja yang kondang,”sahut Teten. “Tetapi nama sekolah kami pun jadi harum di tingkat kabupaten. Betul tidak, Teman-teman?”

“Betul juga katamu,Teten!”timpalku. “Untuk bisa mewujudkan semua keinginan tadi, kerja sama kami harus kompak. Harus saling mengisi kekurangan. Harus saling mendukung. Setuju?”

“Baik, kami setuju, Sobat,”sahut Teten, Gadis, Melati, dan Dhestya hampir bersamaan.

Sementara itu, Bu Nuning telah selesai dari persiapannya.

“Anak-anak! Ayo, kita berangkat sekarang!”ajaknya sembari menghampiri kami.

“Mari, Bu......! Mari.....!”sambut kami serempak. Ramai.

Kami segera menuju jalan raya di depan rumah Bu Guru. Tentunya untuk menunggu bus umum yang melintas di situ.

“Nah, itu ada bus dari arah timur!”seru Melati memberitahukan kepada teman-teman.

“Kamu stop, Mel!”perintah Bu Nuning.

“Baik, Bu!”sembari melambai-lambaikan tangan sebagai isyarat agar bus berhenti, Melati menjawab.

Sejurus dari itu, bus jurusan Kalibening (Banjarnegara) – Pekalongan pun berhenti tepat di hadapan kami berdiri.

“Ayo, naik,naik,naik,naik..........!”seru Pak Kondektur memerintahkan.

Seperti dikejar anjing, kami segera berebut tangga pintu masuk.

“Ayo, cepat sedikit, Anak-anak!”perintah Pak Kondektur sambil menata tempat duduk bagi kami yang masih berdiri.

Kami berangsur masuk. Menerobos penumpang lain yang telah duduk di kursi masing-masing.

“Ke mana, Bu?”tanya Pak Kondektur kemudian di tengah-tengah bus melaju.

“Terminal Induk Pekalongan,”jawab Bu Guru. “Berapa, Pak?”lanjut Bu Nuning sambil membuka dompet.

“Berapa orang, Bu?”

“Sembilan, Pak. Ini uangnya!”

“Terima kasih. Ini kembalinya, Bu!”

“Terima kasih kembali, Pak,”sahut Bu Nuning sambil menerima uang kembalian dari Pak Kondektur.

Sementara, bus terus meluncur ke arah utara. Menyusuri jalan raya Paninggran-Kajen. Jalan raya yang menghubungkan antara Kabupaten Pekalongan dengan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Selama dalam perjalanan, kami tak bosan-bosan menikmati indahnya panorama di kanan-kiri jalan. Ribuan pohon damar, pinus, dan karet yang berdiri tegar di sepanjang jalan, seakan saling berlomba lari menyambut kedatangan kami. Mereka tak bosan-bosan melambaikan reranting dan dedaunannya bermain-main dengan angin.

Melihat itu, kami sangat merasa kagum. Oleh sebab itu, kami benar-benar kaget ketika tiba-tiba bus berhenti di Terminal Bus Kajen.

“Kajen habis! Kajen habis!”teriak-teriak Pak Kondektur memberitahukan kepada penumpang yang mau turun di Terminal Bus Kajen.

“Pasar Kajen, Pak?”tanya salah seorang penumpang kepada Pak Kondektur.

“Bukan. Ini baru terminal bus,Bu. Pasar sebentar lagi,”jawab Pak Kondektur kepada penumpang yang tampaknya masih asing akan kota Kajen itu.

“Oh,ya! Terima kasih,Pak. Tolong, nanti saya diingatkan, Pak!”pinta seorang ibu tadi penuh harap.

“Baik, Bu. N anti saya ingatkan,”jawab Pak Kondektur.

Setelah sesaat selesai menurunkan penumpang di Terminal Bus Kajen, maka melaju lagilah bus ke arah utara. Kurang lebih 1 km jaraknya dari terminal, tibalah bus di komplek Pasar Kajen.

“Pasar habis! Pasar habis! Ini Pasar Kajen, Bu! Silakan kalau Ibu mau turun,”ujar Pak Kondektur kepada seorang ibu yang duduk berjajar denganku tadi.

“Oh,ya! Terima kasih, Pak!”sambil beranjak dari tempat duduknya untuk turun, ibu separoh baya tadi menjawab.

“Terima kasih kembali, Bu,”sahut Pak Kondektur.

Di kompleks pasar, bus berhenti tak begitu lama. Cuma beberapa menit saja untuk menurunkan penumpang yang hendak pergi ke pasar. Usai itu, bus pun bergerak lagi ke arah utara. Menyusuri kota Bojong, Wiradesa, Tirto, Pekalongan kota, Ponolawen, kemudian Terminal Bus Induk Kota Pekalongan.

Lebih kurang satu jam kemudian.

“Pekalongan habis! Pekalongan habis!”Pak Kondektur memberi aba-aba kepada para penumpang yang hendak turun di Terminal Induk Pekalongan.

Oleh teriakan-teriakan Pak Kondektur tadi, kami pun turun dengan segera.

“Ke mana,Bu?”sebuah mobil angkutan kota menghampiri kami.

“Batang,Om,”jawab Bu Guru Nuning. “Berapa?”

“Ada berapa orang, Bu?”

“Sembilan orang.”

“Mobil kami masih kosong. Disewa sekalian saja ya, Bu? Nanti saya kasih murah.”

“Murah berapa, Om?”

“Enam puluh ribu.”

“Lima puluh, Om. Kalau boleh, tarik!”ujar Bu Guru menawar.

Untuk sejenak Om Kondektur tampak berpikir-pikir.

“Bagaimana, Om?”tanya Bu Guru.

“Ya, mari silakan, Bu!”Om Kondektur setuju.

Kini satu demi satu kami memasuki mobil omprengan kota yang dikemudikan sendiri oleh Om Kondektur tadi.

“Supirnya di mana,Om?’tanya Bu Nuning berbasa-basi.

“Sedang cuti, Bu,”jawab Om Kondektur seraya melajukan mobilnya ke arah timur.“Batangnya, mana, Bu?”sambung Om Kondektur yang merangkap supir tadi.

“Jalan Bima, Desa Sambong Timur, Om.”

“ Jalan Bima?”

“Iya. Jalan Bima, Om. Apakah Om tahu jalan tersebut?”

“Saya lebih dari tahu, Bu. Saya orang Sambong.”

“Kalau begitu Om kenal dengan Pak Sugito?”masih tanya Bu Nuning yang duduk berjajar dengan Om Kondektur.

“Pak Sugito, Guru yang pandai mengarang itu bukan, Bu?”

“Iya, benar,Om.”

“Oh,ya kenal sekali, Bu! Nanti Ibu bisa saya antarkan sampai di depan rumahnya, Bu.”

“Wah! Senang sekali kalau begitu, Om,”ujar Bu Guru ceria.

Om Kondektur tak menyahut. Dia tampak tersenyum-senyum saja.

Sementara itu perjalanan telah sampai di Alun-alun Kota Batang.

“Kita putar lewat jalur Pasar Batang dulu, Bu. Setelah bayar karcis masuk sebentar, nanti saya teruskan lagi perjalanan ke Sambong Timur.”

“Iya, silakan, Om!”

Om Kondektur turun menuju Pos Pembayaran Karcis. Tak berapa lama kemudian, muncul lagilah jejaka muda itu untuk mengantarkan kami.

“Sudah, Om?”

“Sudah, Bu. Mari.......!”

Dari pasar, mobil bergerak belok ke kiri. Kemudian menyusuri jalan raya ke arah timur. Kurang lebih 2 km jauhnya dari pasar, mobil belok lagi ke kanan, memasuki jalan lapangan. Tidak lebih dari 700 m jarak yang ditempuh, kami telah menemukan Jalan Bima, rumah nomor 2 di Desa Sambong Timur.

“Nah, itu rumah Pak Gito, Bu!”kata Om Kondektur sembari menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Pak Gito.

“Yang mana, Om?”sahut Bu Guru meminta kepastian.

“Rumah yang berpagar besi itu,Bu!”Om Kondektur menuding dengan telunjuknya.

“Oh, ya! Terima kasih, Om,”ucap Bu Nuning, senang.

“Terima kasih kembali,Bu,”jawab Om Kondektur. “Permisi.........!”lanjutnya berpamitan diri dari kami.
-------
4. SOSOK TOKOH IDOLA
Jam 10.30 kami tiba di rumah Pak Sugito. Rumah nomor 2 di Jalan Bima, Desa Sambong Timur, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah itu dapat kami temukan dengan mudah.

Betapa tidak? Jika sebagai patokan, rumah berdinding tembok putih itu, menghadap utara. Halamannya banyak dihiasi berbagai macam bunga. Di sisi kiri halaman, terdapat sebatang pohon mangga harum manis. Sedangkan di seberang jalan depan rumah, berdiri tegak tower telekomunikasi milik perusahaan swasta.

Itulah sebabnya, siapa pun orangnya akan dapat dengan mudah bila harus mencari alamat rumah Bapak Sugito Hadisastro.

“Assalamualaikum.....!”demikian salam Bu Nuning ketika kami tiba di depan pintu rumah Pak Gito.

“Waalaikum salaam....!”sahut seorang ibu dari dalam.

Sesaat kemudian, terdengar langkah orang mendekat pintu.

“Oh, ada tamu?”sambut Ibu Muda itu manakala usai membukakan pintu. “Mari, silakan masuk,Bu! Mari, Anak-anak!”ajaknya ramah.

“Terima kasih, Bu,”sahut Bu Nuning mewakili kami.

“Silakan duduk, Bu! Anak-anak!”Ibu Muda yang berbadan sedikit gempal tadi menyilakan.

“Terima kasih, Bu,”jawab Bu Nuning lagi seraya tersenyum.

Sesaat dari itu, Bu Nuning mengambil duduk berdampingan denganku. Sementara di hadapan dan kanan-kiri kami, duduk pula Gadis,Melati, Teten, Dhestya, Jaka, Bahtiar, dan Ardhana.

“Maaf, Bu,”ujar Bu Nuning tak lama dari itu.

“Iya, Bu?”

“Apakah Pak Gito ada di rumah, Bu?”tanya Bu Nuning kemudian.

“Ada, Bu. Namun maaf. Kalau boleh tahu, Ibu dan Anak-anak ini siapa dan dari mana?”tanya Ibu yang ditanya.

“Oh, ya! Maaf, Bu. Kami lupa mengenalkan diri,”ujar Bu Nuning tersipu. “Saya, adalah Guru dari Anak-anak ini,Bu,”sambung Bu Nuning. “Maksud kedatangan kami ke sini,”lanjut Bu Guru. “Ingin bertemu dengan Pak Sugito, Bu.”

“Oh, ya,Bu?”ucap Ibu Muda tadi. “Karena sekarang saya telah tahu akan maksud kedatangan Ibu dan Anak-anak ke mari,”katanya lembut. “Maka, sebentar saya panggilkan dulu Pak Gito, suami saya, di dalam ya?”

Sambil menganggukkan kepala, Bu Nuning menjawab,”Iya, Bu.”

Lalu, Ibu Muda, yang ternyata istri dari Pak Gito tadi melangkah ke dalam. Selang tak lama, Ibu Muda tadi pun keluar bersama seorang lelaki perlente. Siapa lagi lelaki itu kalau bukan Pak Sugito Hadisastro, suami tercintanya?

Benar. Lelaki ganteng dan berkumis tipis yang selalu berpenampilan rapi itu, bernama Sugito Hadisastro. Banyak orang memanggilnya, Pak Gito.

Kini seraya tersenyum ramah, Pak Gito menyalami kami satu per satu.

“Maaf,Pak Gito!”ucap Bu Nuning sesaat setelah Pak Gito mengambil duduk di tengah-tengah kami.

“Iya, Bu?”sahut Pak Gito sambil mengedarkan pandangannya ke arah kami.

“Kami datang hendak mengganggu Bapak,”lanjut Bu Nuning.

Pak Gito tersenyum.

“Memangnya ada hal yang bisa saya bantu,Bu?”

“Ada, Pak. Bahkan lebih dari bisa.”

“Maksud, Ibu?”

“Begini, Pak Gito,”Bu Nuning mulai mengutarakan maksud kedatangan kami. “Kami serombongan dari SMP Negeri 1 Paninggaran, Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Sengaja datang ke mari, pertama ingin bersilaturahmi dengan keluarga Pak Gito. Sedangkan maksud kami yang kedua adalah ingin minta bantuan kepada Bapak.”

“Katakan! Kiranya apa yang bisa saya bantu, Bu?”

Bu Nuning tersenyum lega. ”Begini, Pak,”kata Bu Guru kami yang cantik lagi lincah itu kembali. “Sehubungan dengan diselenggarakannya sayembara mengarang bagi anak-anak SD, SMP, maupun SMA oleh Dinas Pendidikan bekerja sama dengan Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Pekalongan,”Bu Nuning diam sejenak. Entah apa yang terjatuh di lantai, yang jelas Bu Nuning tampak sedang memungut sesuatu dari posisi duduknya. Kini setelah posisi duduknya kembali seperti semula, berkata lagilah ia,”Kami memandang Pak Gito sangat tepat kalau kami jadikan tokoh idola dalam tulisan biografi yang akan kami susun nanti, Pak. Oleh sebab itu, hari ini kami, khususnya anak-anak, datang untuk bisa mewawancarai Pak Gito.”

“Wah,wah,wah.....!”mendengar pengantar Bu Nuning tadi,Pak Gito kaget seketika. Beliau menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. “Apakah kiranya yang pantas pada diri saya,Bu? Sehingga Ibu maupun Anak-anak ini mau menulis tentang riwayat hidup saya? Bukankah saya ini cuma seorang guru biasa? Guru yang tak memiliki prestasi apa-apa?”

“Maaf, Pak Gito!”sahut Bu Nuning penuh harap. “Lama sebelum kami datang ke mari,”sambung Bu Guru. “Kami telah tahu dari TV, koran-koran, maupun majalah pendidikan,”lanjut Bu Nuning. “Bahwa Pak Gito adalah seorang guru yang menyandang banyak prestasi. Oleh sebab itu, tak ada kata lain, kecuali biografi Bapak sangat patut untuk kami tulis.”

“Ha,ha,ha...!”Pak Gito tertawa kecil. “Kiranya prestasi apa yang saya miliki,Bu? Saya ini benar-benar cuma seorang guru yang tak punya kelebihan apa-apa,”sanggah Pak Gito merendah.

“Jangan merendah begitu, Pak!”ujar Bu Guru Nuning. “Bukankah Pak Gito pernah meraih prestasi sebagai Guru Duta Indonesia ke negeri Kanguru, Australia?”lanjut Bu Nuning. “Bukankah Pak Gito hampir tiap tahun selalu menyabet galar juara dari berbagai sayembara mengarang, baik tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional? Bukankah Pak Gito juga sering menyandang gelar sebagai Guru Teladan dan Guru Berprestasi di tingkat kabupaten maupun provinsi?”

“Ah...! Kata siapa itu,Bu?”Pak Gito tetap belum mau membeberkan sejuta kelebihannya. Apa inikah yang dinamakan orang bijak? Semakin dia pandai, semakin dia merendahkan diri? Semakin dia tak mau menunjukkan kelebihannya di hadapan orang banyak?

“Kata surat kabar, TV, maupun majalah, Pak,”jawab Bu Nuning sekali lagi menegaskan. “Untuk itu,”lanjut Bu Guru demi meyakinkan Pak Gito. “Agar masyarakat luas mengenal diri Pak Gito,”sambung Bu Nuning lagi. “Agar mereka tahu sepak terjang yang dilakukan Pak Gito dalam sehari-hari, sehingga dapat meraih sekian banyak prestasi. Maka, izinkanlah murid-murid saya ini bisa mewawancarai Bapak. Izinkanlah mereka membukukan riwayat hidup Pak Gito semenjak kanak-kanak hingga sekarang, Pak.”

“Benar, Pak!”aku yang sedari tadi diam mendengarkan perbincangan Ibu Guru dan Pak Gito, kali ini ikut menyahut. “Kami ini murid-murid Bu Nuning yang punya keinginan untuk mengikuti sayembara mengarang,Pak,”lanjutku. “Kami punya keinginan untuk bisa mengirimkan naskah biografi tentang prestasi seseorang,”sambungku lagi. “Nah, karena menurut hemat kami, Pak Gito merupakan salah seorang tokoh yang punya banyak kelebihan. Seorang tokoh yang punya segudang prestasi. Seorang tokoh idola yang patut diteladani jejaknya oleh generasi penerus. Maka, apa salahnya kalau jati diri Bapak kami tulis? Apa salahnya kalau hasil wawancara nanti, kami ikutkan sebagai naskah peserta sayembara mengarang, Pak?”

Pak Gito tidak menyahut. Rupanya ada sesuatu yang direnungkan. Namun tak lama dari itu, berkatalah Beliau kepada Ibu Rindiyani, istri tercintanya.

“Bagaimana menurut pendapatmu, Bu?”

Bu Rindiyani yang dimintai pertimbangan menjawab,”Menurut saya,”katanya lembut. “Sejauh untuk tujuan baik seperti yang diutarakan oleh Dik Virdha maupun Bu Nuning tadi,”sambung Bu Rindiyani. “Saya rasa tidak masalah, Pak. Apalagi sayembara ini bersifat melatih dan mendidik anak-anak sekolah.”

“Artinya, Ibu tidak keberatan?”sekali lagi Pak Gito meminta pertimbangan istrinya.

Bu Rindiyani terlihat mengangguk, setuju.

Melihat itu, maka berkatalah Pak Gito demikian,”Baiklah, Bu Nuning dan Anak-anak. Maksud kalian hendak mewawancarai Bapak, Pak Gito penuhi.”

“Betul, Pak?”seruku senang sekali.

Seraya tersenyum, Pak Gito mengangguk mantap.

“Terima kasih, Pak! Terima kasih sekali kami ucapkan atas kesediaan Bapak dalam menerima maksud kami,”masih kataku dengan nada gembira.

Kegembiraan itu tampaknya bukan membara di hatiku saja. Melainkan di hati teman-teman maupun Bu Guru Nuning juga.

“Teman-teman,”kataku selanjutnya.

“Iya...?”sahut teman-teman serempak.

“Mari, segera siapkan peralatan wawancara kita!”ujarku memberi komando.

“Mari, mari......!”sambut teman-teman serempak.

“Tolong, kauambil tape recordermu, Teten! Kauberikan kepada Bahtiar untuk merekam selama wawancara berlangsung!”

“Baik, Sobat!”sahut Teten seraya mengeluarkan tape recordernya dari dalam tas.

“Dhestya! Kaukeluarkan juga alat potretmu, untuk mengambil gambar Pak Gito!”

“Siap,Sobat!”Dhestya segera mengeluarkan kodaknya dari dalam tas.

“Untuk yang lain,”ujarku selanjutnya. “Siapkan buku atau lembar pertanyaan sebagai bahan wawancara dengan Pak Sugito, Teman-teman!”

“Baik, Bos!”sahut Melati, Gadis, Jaka, Ardhana, maupun Bahtiar hampir serempak.

Sejauh itu, Bu Nuning,Bu Rindiyani, dan Pak Sugito diam memperhatikan kesibukan kami. Mereka tersenyum-senyum kagum melihat ulah kami. Mereka lebih memilih bersikap diam, kecuali Pak Gito yang hendak memberikan banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kami nanti.
--------
5. SEBUAH NAMA YANG HILANG

Semua peralatan telah terlihat siap. Maka, mulailah aku, Virdha, mengajukan pertanyaan kepada Pak Sugito demikian.

“Maaf, Pak. Kalau kami boleh tahu,”kataku. “Kapan dulu Pak Gito terlahir di dunia ini,Pak?”

Pak Gito menarik nafas panjang. Kemudian katanya,”Pak Gito lahir pada tanggal 21 Desember 1956.”

“Di mana dulu Bapak dilahirkan?”sela Gadis seraya menyiapkan bahan pertanyaan lain yang ada di pangkuan.

“Di Dukuh Kebrok, Desa Sambong, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.”

“Dari Ibu dan Bapak siapa,Pak?”kali ini Melati yang bertanya.

“Dari Ibu Tuminah dan Bapak Sanawi.”

“Keduanya orangtua kandung Pak Sugito?”tambah Teten.

“Benar. Akan tetapi...”

“Tetapi, kenapa, Pak?”dengan kening sedikit berkerut, Dhestya ikut bertanya.

“Sejak kecil hidup Pak Gito telah tidak bersama mereka.”

“Lho! Memangnya kenapa, Pak?”masih tanya Dhestya.

“Kedua orangtua Pak Gito bercerai. Sehingga oleh Nenek Siti Dasti dan Kakek Wa’as, Pak Gito diasuh.”

“Terus dengan sebutan apa Pak Gito memanggil Kakek dan Nenek?”sahut Ardhana.

“Kepada keduanya, Pak Gito biasa memanggil dengan sebutan Bapak dan Ibu.”

“Mengapa bisa begitu,Pak?”masih tanya Ardhana.

“Iya, bisa. Karena setahu Pak Gito, Kakek Wa’as maupun Nenek Siti Dasti itu kedua orangtua kandung Bapak. Tak pernah Pak Gito sangka, kalau ternyata mereka adalah Kakek dan Nenek dari garis Tuminah, Ibu Pak Gito.”

“Lantas kapan Pak Gito tahu, kalau Kakek dan Nenek ternyata bukan Bapak dan Ibu kandung Pak Gito?”sela Bahtiar.

“Setelah agak besar. Kira-kira setelah Pak Gito duduk di kelas 2 SD.”

“Terus, kepada putra-putri Nenek, Pak Gito memanggilnya dengan sebutan apa?”potong Ardhana.

“Kepada mereka Pak Gito memanggilnya Kakak bagi yang lebih tua, dan Adik bagi yang lebih muda.”

“Padahal, seharusnya bagaimana, Pak?”masih tanya Ardhana.

“Seharusnya,”sahut Pak Gito sembari membetulkan letak duduknya. “Kepada yang putra, Pak Gito memanggilnya, Om. Sedangkan Bibi bagi yang putri.”

“Dengan sebutan tadi,”sahut Teten. “Kiranya ada pengalaman lucu tidak,Pak?”

“Ada.”
“Apa contohnya, Pak?”masih tanya Teten.

“Contohnya,”jawab Pak Gito seraya tersenyum. “Kepada orang yang biasa Pak Gito panggil Mbak Anik, ternyata ia Bibi Pak Gito. Begitu pula kepada yang biasa Pak Gito panggil dengan sebutan Dik Alin, ternyata ia Bibi Pak Gito juga.”

“Ha,ha,ha,ha...! Lucu sekali kesannya ya,Pak?”Teten tertawa geli. Demikian pula Gadis, Melati, Dhestya, Bahtiar,Jaka, Ardhana, maupun aku sendiri,Virdha.

Pak Gito tidak menyahut. Sebaliknya ikut tertawa geli pula.

“E, maaf, Pak!”ujar Gadis setelah sesaat tawa kami reda.

“Iya?”sahut Bapak Muda yang berkumis tipis itu sembari memandangi Gadis.

“Setelah Pak Gito tahu, kalau Pak Wa’as dan Bu Siti Dasti itu sebenarnya Kakek dan Nenek Bapak,”lanjut Gadis. “Lantas, dengan sebutan apa Pak Gito memanggil keduanya?”

“Karena sejak kecil sudah terbiasa memanggil mereka dengan sebutan Ayah dan Ibu,”demikian Pak Gito berkata. “Maka, sampai sekarang pun panggilan itu tetap melekat di hati. Tidak Pak Gito ubah dengan sebutan Kakek maupun Nenek.“

Mendengar penuturan Pak Gito yang cukup menggelikan tadi, kami menjadi paham.

“Lalu, bagaimana nasib Ayah dan Ibu kandung Pak Sugito setelah mereka berpisah?”kali ini aku yang bertanya.

“Tuminah, Ibu Pak Gito, berdagang kue bongko di pasar Batang. Ia banyak dibantu Pak Darsono, ayah tiri Pak Gito.”

“Lalu, bagaimana dengan Ayah kandung Pak Gito?”lagi-lagi aku bertanya.



“Sanawi, Ayah kandung Pak Gito, jadi guru mengaji di madrasah,”jawab Pak Gito. “Pak Sanawi mendapatkan istri baru yang bernama Juwariyah. Keduanya tinggal di Desa Proyonanggan, Kecamatan Batang.”

“Dari pernikahannya dengan Ibu Juwariyah,”potong Melati. “Apakah Pak Sanawi punya keturunan, Pak?”lanjut Melati.

“Punya. Tiga anak.”

“Siapa sajakah mereka itu, Pak?”Melati terus bertanya.

“Mereka antara lain; Abdul Rokhman, Nur Khomariyah, dan Nur Samsiyah.”

“Bagaimana halnya dengan Ibu Tuminah yang berumah tangga dengan Pak Darsono, Pak? Apakah punya keturunan juga?”sahut Bahtiar.

“Punya juga. Banyak, malah!”

“Banyak berapa anak, Pak?”desak Bahtiar ingin tahu lebih jauh.

“Tujuh anak. Dua meninggal semasa kecil.”

“Siapa sajakah mereka itu, Pak?”sela Dhestya.

“Mereka yang masih hidup antara lain; Sugiyono, Mardiyono, Sriningsih, Tri Wiyanti, dan Kusdiyono.”

“Dengan demikian,”sahut Jaka. “Berapa orang semua Adik Pak Gito?”

“Delapan orang. Tiga orang, anak dari Pak Sanawi + Bu Juwariyah. Lima orang, anak dari Ibu Tuminah + Pak Darsono.”

“Kalau begitu, banyak ‘kan adik Pak Sugito?”kataku.

“Ya, lumayanlah....! Cukup banyak saudara.”

“Pak!”lanjutku.

“Iya?”Pak Gito lurus-lurus memperhatikan aku.

“Kalau tak salah, Kakek Wa’as dan Nenek Siti Dasti adalah nama kakek dan nenek Pak Gito dari garis Bu Tuminah, bukan?”

“Iya, betul!”

“Lalu, siapa nama Kakek dan Nenek Pak Gito dari garis Ayah Sanawi, Pak?”

“Oh, itu....?”

“Iya, Pak,”sahutku hampir bersamaan dengan Gadis maupun Dhestya.

“Kakek dan Nenek Pak Gito dari garis Ayah Sanawi, bernama Kakek Dasman dan Nenek Aminah.”

“Apakah keduanya juga turut mengasuh Pak Gito semasa kecil?”masih tanyaku.

“Tidak,”jawab Pak Gito. “Hanya sekali-sekali saja mereka menengok Pak Gito di rumah Kakek Wa’as dan Nenek Siti Dasti.”

“Oh,ya, Pak!”Ardhana menyela begitu saja.

“Iya?”pandangan Pak Gito berpindah ke arah Ardhana.

“Sebenarnya, siapa nama lengkap Pak Gito?”

Sebelum menjawab, Pak Gito tersenyum. Lalu katanya,”Nama Bapak sewaktu kecil, Hadikiroto. Dalam sehari-hari biasa dipanggil Dito. Namun nama resmi pemberian Ayah Sanawi dan Ibu Tuminah itu hilang, pada saat Pak Gito masuk kelas 1 SD dulu.”

“Lho! Kok bisa begitu, Pak?”seruku kaget.

“Iya, bisa!”sahut Pak Gito mantap. Hilangnya nama Hadikiroto atau Dito milik Bapak,”demikian sambung Pak Gito menjelaskan. “Lebih banyak disebabkan oleh sikap Bibi Anik.”

“Memangnya apa yang dilakukan Bibi Anik,Pak?”sahut Jaka ingin tahu.

“Mulanya Bibi Anik tidak tahu, siapa nama lengkap Pak Gito,”jawab Pak Gito.

“Beliau cuma menyebutkan Dito, untuk nama Bapak, pada saat Beliau mendaftarkan sekolah Pak Gito di SD dulu.”

“Terus?”kening Jaka makin berkerut ingin tahu lebih jauh.

“Karena baik Bibi Anik maupun Pak Kepala Sekolah merasa ragu dengan nama yang sesingkat itu,”jawab Pak Gito. “Maka oleh keduanya, nama Bapak diberi tambahan Su di depan kata Dito. Sehingga seharusnya menjadi Sudito, bukan Sugito seperti yang dikenal orang sampai sekarang.”

“Wah! Kok berbeda jauh dari nama aslinya ya, Pak?”potong Bahtiar. Pak Gito mengangguk.

“Justru yang mengherankan,”ujar Pak Gito. “Sebutan Hadikiroto untuk nama Bapak, entah ke mana perginya sampai sekarang?”

“Oh, iya,ya, Pak?”kepala Bahtiar mengangguk-angguk, turut heran juga.

“Maaf, Pak!”aku menyela.

Pak Gito berpaling kepadaku.

“Pada saat pendaftaran di SD dulu,”kataku lebih lanjut. “Apakah Bibi Anik tidak membawa Akte Kalahiran atau Surat Kenal Lahir dari desa, Pak?”

“Maksudmu?”tanya Pak Gito ingin penjelasan.

“Dalam Akte Kelahiran atau Surat Kenal Lahir,”Jawabku. “Biasanya ‘kan tertera nama dan tanggal lahir seseorang bukan, Pak?”

“Iya.”

“Bibi Anik membawa surat tersebut tidak, Pak?”

Pak Gito tersenyum. “Pada saat itu,”katanya lebih lanjut. “Kebanyakan orang tua di kampung Bapak,”sambung Pak Gito. “Belum ada yang berpikir membuatkan Akte Kelahiran atau Surat Kenal Lahir untuk anak-anak mereka.”

“Terus, Pak?”sahut Melati.

“Hal seperti itu dialami pula oleh orangtua Pak Gito. Sehingga, Pak Gito pun tidak memiliki Akte Kelahiran.”

“Apakah Bapak tidak merasa keberatan dipanggil dengan nama Sugito sebagaimana yang dikenal banyak orang sampai sekarang?”

“Sama sekali tidak,”jawab Pak Gito. “Apalagi setahu Bapak, Sugito itu merupakan nama asli pemberian kedua orangtua sejak Pak Gito lahir.”

“Lantas, kapan Pak Gito tahu, kalau nama asli Bapak adalah Hadikiroto?”tanya Dhestya.

“Setelah Pak Gito besar. Kira-kira setelah duduk di kelas 3 SD. Tepatnya setelah anggota keluarga dan famili banyak yang cerita tentang asal-usul nama Bapak.”

“Tapi, kami yakin, Pak!”ujarku mantap. “Justru dengan nama baru tadi,”demikian aku menambahkan. “Banyak hikmah dan keberuntungan yang melimpah bagi Pak Gito,bukan?”

“Apa buktinya?”

“Buktinya, banyak, Pak,”sahutku. “Misalnya,”lanjutku. “Sebagai guru, Pak Gito banyak memiliki prestasi dari tingkat kabupaten, hingga luar negeri. Sebagai penulis, Pak Gito juga sering meraih kemenangan dari berbagai sayembara mengarang. Ini pun Pak Gito alami dari tingkat kabupaten, hingga nasional. Betul tidak, Teman-teman?”

“Iya, betul........!”sahut teman-teman serempak.

“Saya sependapat dengan Virdha, Pak!”tambah Bahtiar. “Dengan hilangnya sebuah nama Hadikiroto menjadi Sugito, justru banyak mendatangkan keberhasilan dan rezeki yang melimpah dari Tuhan bagi Bapak. Ya tidak, Teman-teman?”

“Iya, benar!”sahut Gadis ikut menimpali. “Saya yakin, andaikata nama Bapak masih utuh Hadikiroto, mungkin lain lagi ceritanya, Pak. Setuju tidak, Teman-teman?”

“Iya, kami setuju......!”sangat serempak teman-teman menjawab.

Melihat itu, Pak Gito, Bu Rindiyani, maupun Bu Nuning, tersenyum simpul. Demikian pula aku.
--------
6. MENGGALI TALENTA

Pak Gito masih tersenyum. Rupanya beliau merasa geli juga akan nama aslinya yang telah hilang. Sebuah nama bersejarah pemberian kedua orangtuanya yang kini tak pernah terdengar lagi di telinga. Karena hampir semua orang yang mengenalnya pasti akan memanggilnya dengan sebutan Sugito, bukan Hadikiroto atau Dito. Nama Hadikiroto entah hilang ke mana? Pak Gito sendiri tidak tahu rimbanya.

“Emm.........maaf, Pak!”ujarku memecah keheningan.

“Iya?”Pak Gito agak tersentak.

“Kalau kami boleh tahu,”lanjutku. “Tahun berapa dulu Pak Gito masuk Sekolah Dasar?”

“Oh, itu?”Pak Gito mencoba mengingat-ingat. “Kalau tak salah,”katanya lebih lanjut. “Tahun 1963 atau 1964.”

“Di SD mana, Pak?”Gadis ikut menimpali.

“Di SD Negeri Sambong, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang.”

“Dari desa mana saja teman-teman Pak Gito dulu,Pak?”Melati ikut bertanya.

“Dari Desa Kecepak, Desa Pakis Aji, Desa Tegalsari, dan Desa Lawang Aji.”

“Kira-kira siapa saja teman Pak Gito sewaktu SD dulu,Pak?”Teten ikut menimpali.

“Banyak, “jawab Pak Gito. “Antara lain; Ujang Rahadi, Rokhmat, Kardiyan, Durasid, Cahyono,dan Rapali.”

“Untuk berangkat dan pulang sekolah, kendaraan apa yang dulu Pak Gito naiki?”Dhestya turut menyahut.

“Jalan kaki.”

“Lho! Memangnya tak jauh jarak antara rumah dengan sekolah, Pak?”masih tanya Dhestya.

“Tidak. Kurang lebih cuma 2 km.”

“Bagaimana nilai Pak Gito sewaktu di SD dulu, Pak?”sela Ardhana.

“Alhamdulillah. Nilai Pak Gito cukup baik.”

“Apakah dengan nilai yang Pak Gito peroleh tadi,”masih ujar Ardhana. “Menjadikan Pak Gito sebagai Bintang Kelas?”

“Ya, begitulah..........!”jawab Pak Gito seraya menyandarkan punggungnya di kursi.

“Dengan begitu, berarti Pak Gito sangat disayang Guru, bukan?”sahut Bahtiar.

“Disayang sekali tidak. Cuma sedang-sedang saja.”

“Dari sekian guru yang ada di SD,”masih ujar Bahtiar. “Adakah yang sempat berkesan di hati Pak Gito sampai sekarang?”

“Ada,”jawab Bapak yang selalu berpenampilan rapi itu singkat.

“Siapa, Pak?”sela Jaka.

“Pak Domo Rohadi,”jawab Pak Gito. “Beliau seorang Kepala Sekolah yang telah berjasa besar terhadap diri Pak Gito.”

“Berjasa dalam bidang apa, Pak?”tanya Jaka lagi.

“Dalam memberi nama baru Sugito, untuk nama Bapak.”

“Selain Pak Domo Rohadi,”aku menyela. “Siapa lagi Guru yang sempat berkesan di hati Pak Gito?”

“Pak Parhim.”

“Apa kelebihan Pak Parhim di mata Pak Sugito?”masih aku yang bertanya.

“Bagi Pak Gito,”jawab suami Bu Rindiyani tadi dengan sabar. “Pak Parhim merupakan sosok guru yang sangat pandai dalam membawakan cerita di depan kelas,”demikian pengakuan Pak Gito untuk Pak Parhim. “Beliau bisa larut dalam kisah cerita

yang dibawakannya. Penjiwaannya terhadap cerita, sungguh luar biasa! Beliau bisa menangis, bila isi ceritanya sedih. Bisa pula tertawa, bila kisahnya gembira.”

“Dari kelebihan yang dimiliki Pak Parhim tadi,”ucap Bahtiar. “Pernahkah Pak Gito bercita-cita untuk menirunya,Pak?”

“Pernah! Bahkan kecintaan dan kepandaian Pak Parhim terhadap dunia cerita, ingin Pak Gito menirunya sampai sekarang.”

Mendengar pengakuan Pak Sugito tadi, menyebabkan kami mengangguk-angguk, kagum. Demikian pula dengan Bu Nuning. Walau sedari tadi beliau lebih banyak mengambil sikap diam dan menjadi pendengar setia kami, namun Ibu Guru kami yang cantik itu juga merasa kagum terhadap kerendahan hati Pak Sugito. Ternyata Pak Sugito orangnya tak sombong. Walau prestasinya segudang, Pak Gito tetap mengakui kelebihan orang lain. Pak Gito tetap mengakui kelebihan guru masa kecilnya sewaktu menjadi murid di Sekolah Dasar.

Sementara itu, dari ruang dalam terlihat Ibu Rindiyani keluar. Di kedua tangannya membawa sebuah baki isi beberapa gelas teh manis.

“Mari, silakan diminum, Bu! Anak-anak juga!”Pak Gito menyilakan setelah Bu Rindiyani selesai menghidangkan gelas-gelas itu di atas meja.

“Terima kasih, Pak,”sahut kami bersamaan.

“Silakan dicoba kue klepon-nya, Bu, Anak-anak!”Bu Rindiyani turut menyilakan.

“Terima kasih, Bu,”sahut Bu Nuning mewakili kami.

“Maaf, agak terlambat, Bu!”ucap Bu Rindiyani kepada Bu Nuning.

“Ah, tidak mengapa,Bu! Justru kami yang mohon maaf, telah membuat Bu Rindiyani repot,”Bu Nuning berbasa-basi.

“Ah, tidak!”jawab Bu Rindiyani sembari tersenyum. “Kami sama sekali tidak merasa direpotkan, Bu.”

Bu Nuning maupun kami tersenyum.

“Silakan dinikmati, Bu, dan Anak-anak!”sekali lagi Bu Rindiyani menyilakan.

“Terima kasih, Bu! Terima kasih...!”sahut Gadis tak kalah sopan dari Bu Nuning.

Bu Rindiyani tersenyum. Lalu masuk ke ruang tengah untuk menaruh baki.

Kini, seraya menikmati hidangan yang disuguhkan Bu Rindiyani tadi, kami pun melanjutkan wawancara.

“Maaf, Pak Gito!”kataku, Virdha.

“Iya?”dengan senyum khasnya, Pak Gito menyahut.

“Semasa kecil dulu, permainan apa saja yang PakGito sukai, Pak?”

“Oh,banyak sekali!”

“Apa saja di antaranya, Pak?”masih tanyaku ingin tahu.

“Yang masih Pak Gito ingat antara lain; benthik, kasti, petak umpet,ayam-ayaman, kuwukan, kelerengan, gangsingan, bermain layang-layang, mandi-mandian di pintu air, nonton pertunjukan wayang kulit, dan melihat pemutaran film misbar di tengah lapangan.”

“Wah! Tentu mengasyikkan sekali, ya, Pak?”kataku ikut larut pada suasana berbagai macam permainan tersebut.

“Iya. Sungguh mengasyikkan sekali,”ujar Pak Gito sambil tersenyum gembira. Beliau seakan terkenang akan masa kecilnya dulu.

“Lalu, tahun berapa dulu Pak Gito tamat SD,Pak?”potong Jaka.

“Tahun 1969,”jawab Pak Gito singkat.

“Siapa Kepala Sekolah yang menandatangani ijazah Pak Gito?”masih tanya Jaka.

“Pak Basori.”

“Bukan Pak Domo Rohadi, Kepala Sekolah yang dulu mengubah nama Pak Sugito?”aku ikut bertanya.

“Bukan,”sahut Pak Gito. “Saat Pak Gito lulus dari SD Negeri Sambong,”lanjutnya. “Pak Domo Rohadi sudah pindah tugas ke SD lain.”

“Oh,ya, Pak!”Dhestya menyela.

Pak Gito lurus-lurus memandangi Dhestya.

“Begitu tamat SD, ke mana Pak Gito melanjutkan sekolah?”tanya Bahtiar ingin tahu.

“Ke Sekolah Teknik Negeri (STN) 2 Batang.”

“Sekolah apa itu, Pak?”sahut Ardhana.

“Sekolah kejuruan, setingkat dengan SMP sekarang.”

“Lantas, jurusan apa yang Pak Gito pilih?”potong Gadis.

“ Jurusan mesin kapal.”

“Apa alasan Pak Gito mengambil jurusan tersebut, Pak?” aku turut menimpali.

“Karena Pak Gito ingin ahli dan terampil dalam merakit mesin kapal,”jawab Pak Gito. Sambungnya, “Paling tidak, Pak Gito bisa menjadi bengkel dan pandai memperbaiki mesin kapal yang rusak.”

“Apakah banyak teman dari SD Negeri Sambong yang melanjutkan ke STN 2 Batang, Pak?”tanya Teten.

“Tidak,”sahut Pak Gito.”Teman yang meneruskan sekolah cuma 3 anak.”

“Siapa saja mereka itu, Pak?”Dhestya ikut nimbrung.

“Mereka antara lain; Ujang Wahadi, Amir, dan saya sendiri, Sugito,”jawab Pak Gito.

“Kalau Pak Gito meneruskan ke STN 2 Batang,”ujarku. “Apakah Ujang Wahadi dan Amir juga meneruskan ke sekolah yang sama, Pak?”

“Tidak,”Pak Gito menjawab cepat. “Ujang Wahadi meneruskan ke STN 1 Batang. Sedangkan Amir, ke PGAI 4 tahun di Pekalongan.”

“PGAI itu sekolah apa, Pak?”Jaka bertanya ingin tahu.

“Pendidikan Guru Agama Islam,”jawab Pak Gito menjelaskan.

“Oh...!”mulut Jaka membentuk huruf O. “Kalau begitu, berarti Amir ingin jadi guru agama Islam bukan, Pak?”

“Iya, tentunya.”

“Apakah Pak Gito, Ujang, dan Amir merupakan lulusan SD Negeri Sambong yang pertama kali meneruskan ke sekolah lanjutan, Pak?”tanya Bahtiar.

“Tidak juga,”Pak Gito menjawab mantap. “Pada zaman Pak Gito duduk di SD dulu,”lanjutnya. “Tepatnya tahun 1970-an,”sambung Pak Gito lagi. “Anak Dukuh Kebrok, Desa Sambong, Kecamatan Batang yang pertama kali melanjutkan ke sekolah tingkat pertama adalah Rokhmat. Dari Rokhmatlah, Pak Gito bertiga timbul rasa ingin meneruskan sekolah.”

“Kalau begitu, berarti Rokhmatlah yang menjadi cambuk semangat belajar Pak Gito bertiga?”kataku.

“Iya. Karena Rokhmatlah kami bertiga jadi punya minat untuk melanjutkan sekolah.”

“Lalu, selama belajar di STN 2 Batang,”lanjutku. “Mata pelajaran apakah yang paling Pak Gito sukai saat itu?”

“Pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.”

“Apa alasan Pak Gito menyukai kedua pelajaran tersebut?”timpal Melati.

“Pak Gito suka pelajaran Bahasa Indonesia,”jawab Pak Gito. “Karena Pak Gito punya cita-cita ingin pandai dalam mengarang cerita maupun puisi dengan Bahasa Indonesia secara baik lagi benar. Adapun kesukaan Pak Gito terhadap pelajaran Bahasa Inggris, karena Pak Gito ingin pandai berbicara dengan bahasa tersebut secara fasih.”

“Apakah keinginan Pak Gito tadi bisa jadi kenyataan, Pak?”sela Gadis.

“Alhamdulillah, bisa!”

“Misalnya, Pak?”masih tanya Gadis.

“Misalnya,”sahut Pak Gito. “Untuk pelajaran Bahasa Inggris,”kata Pak Gito. “Bapak selalu dapat mengantongi nilai tertinggi dari Pak Mulyono.”

“Siapa Pak Mulyono itu, Pak?”tanya Jaka ingin tahu.

“Guru mata pelajaran Bahasa Inggris di STN 2 Batang.”

“Terus, bagaimana halnya dengan pelajaran Bahasa Indonesia bagi Pak Gito?”masih Jaka yang bertanya.

“Untuk pelajaran Bahasa Indonesia,”ujar Pak Gito. “Bapak paling menonjol dalam bidang mengarang.”

“Apa buktinya, Pak?”aku ikut bertanya.

“Buktinya,”sahut Pak Gito. “Ketika Pak Yanto, guru Bahasa Indonesia di STN 2 Batang menyuruh anak-anak mengarang bebas,”ucapnya. “Hasil karangan Pak Gito yang berjudul Kebunku keluar sebagai karya terbaik di antara karangan teman yang lain.”

“Lantas, apa yang kemudian dirasakan oleh Pak Gito?”

“Pak Gito merasakan, bahwa hal tersebut sangat berkesan di hati Bapak,”sahut Bapak yang berkumis tipis itu dengan wajah ceria. “Hingga akhirnya, bisa menumbuhkan semangat di hati Pak Gito untuk bisa mengarang dan mengarang terus sampai sekarang.”

“Hingga jadilah Pak Gito sebagai pengarang kelas nasional seperti sekarang ini, Pak?”sahutku menambahkan seraya tersenyum kagum.

“Ya, begitulah...!”Pak Gito tersenyum puas.

Kami pun demikian.
-------
8. MELAWAN BADAI UJIAN

“Maaf, Pak!”ujar Gadis seraya menggeser letak duduknya.

“Iya?”

“Tahun berapa dulu Pak Gito bisa meneruskan sekolah lagi, Pak?”

Pak Gito menelan ludah pahit.

“Sampai awal tahun 1975, Pak Gito belum bisa masuk sekolah lagi, Nak. Ini berarti tahun ketiga bagi Pak Gito menjadi pengangguran total. Bekerja, tidak. Sekolah pun apalagi?”

“Terus, apa yang diperbuat Pak Gito selanjutnya?”pancing Gadis.

“Demi bisa mewujudkan keinginan untuk bisa bersekolah lagi,”demikian tutur Pak Gito. “Dengan berbekal ijazah STN, Pak Gito mencoba melamar pekerjaan di pabrik textile PT. Primatexo Indonesia.”

“Apakah lamaran Pak Gito bisa diterima?”masih tanya Gadis.

“Setelah melewati masa-masa seleksi yang amat ketat,”jawab Pak Gito. “Setelah melewati penyaringan data dari sekian ratus pelamar,”sambungnya. “Alhamdulillah! Pada tanggal 13 Oktober 1975, dengan Surat Keputusan Direktur PT Primatexo Indonesia, Tamim Basuni, SE, Pak Gito diterima sebagai karyawan baru di PT tersebut. Pak Gito diterima di bagian Weaving Preparations (WP) sebagai Pembantu Operator.”

“Dengan demikian,”kataku. “Karena bisa memperoleh uang sendiri,”sambungku lagi. “Apakah masih ada keinginan bagi Pak Gito untuk bersekolah kembali,Pak?”

“Iya, masih!”sahut Pak Gito mantap. “Lebih-lebih bila melihat banyak anak sedang berangkat atau pulang sekolah. Keinginan Pak Gito untuk kembali ke bangku sekolah, sungguh tak terbendungkan! Namun, ah....!”Pak Gito tidak melanjutkan kalimatnya.

“Namun, kenapa, Pak?”sahut Gadis cepat.

“Ada dua pilihan berat yang berkecamuk di dalam pikiran Pak Gito.”

“Maksud, Pak Gito?”kening Gadis berkerut.

“Pak Gito dihadapkan pada dua pilihan, yaitu antara tetap bekerja dan bersekolah lagi.”

“Kalau memilih bersekolah lagi, apa yang menjadi batu sandungan bagi Pak Gito?”tanyaku ingin tahu.

“Yang menjadi batu sandungan bagi saya,”demikian Pak Gito berujar.”Mampukah saya mengikuti pelajaran, karena sudah tiga tahun berlalu tidak bersekolah? Adakah sekolahan yang mau menerima seorang buruh pabrik seperti saya ini? Andaikan ada, bagaimana cara saya membagi waktu, antara sekolah dan bekerja?”

“Terus kenyataannya bisa ‘kan, Pak?”

Pak Gito mengangguk.

“Bagaimana kisahnya, Pak?”tanyaku ingin tahu lebih jauh.

“Dalam rasa kebingungan itu,”jawab Pak Gito. “Suatu hari saya bertandang ke rumah Ustad Masdar,”lanjutnya. “Di sana ternyata telah banyak teman berkumpul. Mereka sedang asyik memperbincangkan sesuatu. Namun, saya kaget…..”

“Apa yang Pak Gito kagetkan?”

“Dengan kedatangan Pak Gito di tengah-tengah mereka,”sahut Pak Gito. “Tiba-tiba Benu, adik Rokhmat, meninggalkan pertemuan. Katanya mau berangkat sekolah. Masuknya siang hari.”

“Kenyataan, Benu ke mana, Pak?”potong Melati.

“Oleh jawaban Ustad Masdar,”demikian Pak Gito menjawab.”Benu menjadi murid sekolah Pendidikan Guru Agama Muhammadiyah (PGAM 4 Tahun) di Batang.”

“Lantas?”

“Kembali Pak Gito kaget.”

“Kenapa, Pak?”

“Sejak kapan di Batang ada sekolah PGAM 4 Tahun? Kok Pak Gito tidak pernah tahu?”jawab Pak Gito.

“Lalu, Pak Gito tahu dari siapa?”

“Dari Ustad Masdar juga.”

“Kata Ustad Masdar,”masih kata Bahtiar. “Kapan sekolah tersebut berdiri, Pak?”

“Katanya, sejak tahun pelajaran 1975. Bahkan sejak tahun itu pula, sekolah tersebut sudah mulai menerima siswa baru.”

“Lalu, siswa yang bisa diterima, lulusan dari mana, Pak?”timpal Ardhana.

“Lulusan SD atau MI.”

“Dengan adanya sekolah tersebut, bagi Pak Gito sendiri bagaimana?”masih Tanya Ardhana.

“Ustad Masdar menawari Bapak. Jika Pak Gito mau, akan ditanggung langsung bisa diterima di sekolah tersebut.”

“Bagaimana tanggapan Pak Gito?”

“Pak Gito tidak bisa langsung menjawab seketika itu juga.”

“Mengapa sebabnya, Pak?”sahut Melati.

“Sebab, Pak Gito bingung.”

“Apa yang Pak Gito bingungkan?”aku, Virdha ganti bertanya.

“Yang Pak Gito bingungkan,”jawab Pak Gito. “Pada tahun 1973, Pak Gito telah tamat dari STN 2 Batang,”lanjutnya. “Sekarang, jika Pak Gito masuk ke PGAM 4 Tahun, sekolah setingkat dengan SMP,”lanjut Pak Gito lagi. “Berarti Pak Gito akan kehilangan waktu 6 tahun sia-sia.”

“Maksud, Pak Gito?”masih tanyaku.

“Maksud Bapak,”Pak Gito menyahut. “Jika Pak Gito meneruskan di sekolah ini,”sambungnya. “Sama halnya Pak Gito membuang waktu 3 tahun selama duduk di bangku STN 2 Batang. Ditambah 3 tahun lagi, selama Pak Gito menjadi pengangguran total. Belum, kalau melihat usia teman-teman di PGAM 4 Tahun, rata-rata baru lulus SD atau MI. Apakah mereka tidak 6 tahun lebih muda dari usia Pak Gito? Bisakah Pak Gito bergaul dengan mereka?”

“Terus, langkah apa yang Pak Gito ambil?”Melati bertanya.

“Pak Gito terus diselimuti rasa kebimbangan,”jawab Pak Gito. “Jika kesempatan baik ini tidak Pak Gito ambil,”lanjutnya. “Sampai kapan pun tak akan ada sekolah yang mau menerima Pak Gito. Mengingat usia Pak Gito sudah kelewat tua untuk ukuran murid sekolah lanjutan. Dengan demikian, berarti nasib Pak Gito akan tetap menjadi buruh pabrik selamanya.”

“Terus, Pak?”sahutku.

“Hari-hari berikutnya, Pak Gito makin merasa dituntut untuk menentukan salah satu dari dua pilihan. Yaitu antara tetap bekerja di pabrik, atau mendaftarkan sekolah di PGAM 4 Tahun.”

“Akhirnya, keputusan,mana yang Pak Gito pilih?”potong Melati.

“Pak Gito pilih dua-duanya. Sekolah, juga bekerja.”

“Tahu keadaan seperti itu,”ujar Melati selanjutnya. “Bagaimana tanggapan Kakek dan Nenek Pak Gito?”

“Keduanya menanggapi keputusan Pak Gito dengan senang hati. Mereka setuju, kalau awal tahun 1976 Pak Gito masuk sekolah lagi. Asalkan, Pak Gito pandai mengatur waktu antara sekolah dan bekerja.”

“Bagaimana perasaan Pak Gito pada saat itu?”tanya Bahtiar.

“Perasaan Bapak,”sahut Pak Gito. “Walaupun harus kehilangan waktu 6 tahun. Ditambah harus sanggup berteman dengan anak-anak yang baru saja lulus dari SD atau MI, Pak Gito senang-senang saja.”

“Di sekolah yang baru, adakah anak lain yang seusia Bapak?”aku bertanya.

“Ada!”jawab Pak Gito mantap. “Dia bernama Warnidi. Teman sekampung Bapak yang juga sama-sama karyawan PT. Primatexo Indonesia.”

“Dari siapa Warnidi tahu, kalau di Batang ada sekolah PGAM 4 Tahun, Pak?”

“Dari Pak Gito sendiri. Dia setuju meneruskan ke sekolah tersebut, ketika Pak Gito mengajaknya pada penghujung bulan Januari 1976.”

“Apakah Warnidi juga suka bersekolah di situ, Pak?”

“Suka sekali!”sahut Pak Gito. “Apalagi tanggapan dari Kepala Sekolahnya, Ustad Abdul Karim, sangat baik pada kami berdua.”

“Apa tanggapan Beliau,Pak?”sela Ardhana.

“Beliau pernah berpesan kepada kami, agar kami bisa membagi waktu dengan baik. Maksud Ustad Abdul Karim, agar kami bisa tetap bekerja di pabrik, dan bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan lancar.”

“Selama menuntut ilmu di sekolah ini,”masih Ardhana yang bertanya. “Adakah kesulitan yang Pak Gito hadapi?”

“Ada,”jawab Pak Gito singkat.”Kesulitan yang pertama kali muncul,”sambungnya. “Bila Pak Gito dan Warnidi harus masuk kerja siang dari jam 14.00 – 22.00. Tentu saja kami berdua dengan sangat terpaksa tidak bisa masuk sekolah. Karena sekolah masuk jam 13.00.”

“Lantas, apa kesulitan yang kedua, Pak?”potong Melati.

“Kesulitan yang kedua,”jawab Pak Gito. “Bila kami harus masuk kerja pagi, dari jam 06.00 – 14.00,”sambungnya. “Kami tiba di sekolah terlambat, karena sekolah sudah masuk satu jam sebelumnya.”

“Apa kesulitan ketiganya, pak?”Teten ikut angkat bicara.

“Kesulitan ketiga,”sahut Pak Gito dengan sabar. “Bila kami mendapat giliran kerja masuk malam, dari jam 22.00 – 06.00. Kami tidak sempat tidur, sehingga di sekolah mata mengantuk berat. Akibat itu semua, kami tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik.”

“Keadaan semacam itu, berlangsung sampai berapa lama,Pak?”aku menyela.

“Untuk Warnidi,”kata Pak Gito. “Pada bulan kedua, dia memilih meninggalkan bangku sekolah. Dia tetap meneruskan pekerjaannya di PT. Primatexo Indonesia.”

“Bagaimana halnya dengan Pak Gito sendiri?”Bahtiar ikut menyela.

“Pak Gito mencoba untuk tetap bertahan, bekerja sambil sekolah. Lebih-lebih di situ ada Benu, adik Rokhmat.”

“Maksud Pak Gito?”kening Jaka sedikit berkerut.

“Pak Gito bisa meminjam catatan apa saja dari Benu. Terutama bila Pak Gito harus masuk bekerja di pabrik.”

“Keadaan samacam itu berlangsung sampai berapa lama, Pak?”tanyaku.

“Sampai pertengahan tahun 1976,”ucap Pak Gito.

“Pilihan apa yang akhirnya Pak Gito ambil, tetap sekolah atau bekerja?”masih aku yang bertanya.

“Pak Gito memilih meneruskan sekolah di PGAM 4 Tahun.”

“Setelah bekerja berapa lama, Pak Gito menyatakan keluar dari PT. Primatexo Indonesia, Pak?”Gadis bertanya.

“”Setelah bekerja selama 11 bulan.”

“Mendengar dan tahu Pak Gito keluar dari pabrik textile,”lanjut gadis. “Bagaimana tanggapan Kakek Wa’as terhadap Pak Gito?”

“Sebagai orangtua, kalau Kakek marah, wajar,”jawab Pak Gito. “Sebab pada saat itu,”lanjutnya. “PT.Primatexo Indonesia menjadi primadona bagi pencari kerja. Orang-orang dari berbagai daerah di Jawa Tengah berbondong-bondong mengajukan lamaran untuk bisa bekerja di perusahaan tersebut.

Tetapi sebaliknya, Pak Gito yang telah menjadi karyawan tetap, e......, kok malah keluar? Pantas ‘kan bila Kakek Wa’as marah-marah terhadap Pak Gito?”

Kami semua mengangguk, mengiyakan.

“Terus, bagaimana sikap Kakek Wa’as dalam sehari-hari terhadap Pak Gito?”

“Karena kecewa berat terhadap keputusan yang Pak Gito ambil,”sahut Pak Gito. “Terhadap Pak Gito, Kakek bersikap diam. Beliau tidak mau peduli lagi pada keputusan Pak Gito. Mau Pak Gito sekolah atau putus di tengah jalan, masa bodoh, Beliau!”

“Terus, siapa yang memberi dana sehari-hari untuk sekolah Pak Gito?”aku ingin tahu.

“Nenek Siti Dasti.”

“Apakah Nenek tidak sependapat dengan Kakek, Pak?”selidik Gadis.

“Tidak! Nenek lebih banyak perhatian kepada Pak Gito. Tiap menjelang berangkat sekolah, Pak Gito selalu diberinya uang saku.”

“Murah benar perhatian Nenek Siti Dasti terhadap Pak Gito, ya?”

Pak Gito tersenyum seraya mengangguk, membenarkan.
-------
9. MULAI MENGUKIR PRESTASI

“Kiranya rintangan apa yang Pak Gito alami selama duduk di bangku PGAM 4 Tahun, Pak?”demikian Teten melanjutkan wawancara.

“Pada awalnya, Pak Gito mengalami kesulitan dalam membagi waktu antara sekolah dan bekerja. Lama kelamaan, tidak.”

“Tidak ada kesulitan bergaul dengan teman-teman 5-6 tahun lebih muda dari usia Pak Gito?”masih tanya Teten.

“Tidak juga,”jawab Pak Gito. “Kesulitan bergaul dengan teman-teman lebih muda 5-6 tahun sebagaimana yang Pak Gito bayangkan, ternyata tidak benar.”

“Ternyata bagaimana, Pak?”kali ini aku ikut menyahut.

“Bergaul dengan mereka ternyata sangat menguntungkan bagi diri Pak Gito.”

“Keuntungan apa yang Pak Gito petik?”

“Di antara kami bisa saling melengkapi kekurangan,”jawab Pak Gito. “Di sekolah yang baru itu, kegelapan dunia persekolahan Pak Gito yang sudah lama tertutup, akhirnya bisa menyala lagi. Pak Gito benar-benar memiliki semangat baru sebagai anak sekolah yang sebenarnya. Pak Gito jadi penuh percaya diri. Ini semua berkat hasil pergaulan Pak Gito dengan mereka yang lebih muda di sekolah.”

“Lantas, kegiatan apa saja yang Pak Gito ikuti selama menjadi murid PGAM 4 Tahun tersebut, Pak?”Melati ingin mengerti.

“Pak Gito bergiat diri dalam organisasi sekolah,”ungkap Pak Gito membagikan pengalaman kepada kami.

“Apa bukti Pak Gito aktif di organisasi sekolah, Pak?”tanya Bahtiar.

“Buktinya,”demikian sahut Pak Gito. “Saat duduk di kelas 3 dulu,”sambungnya. “Pak Gito bersama Nur Suparno, Slamet Dasir, dan Tri Laela (siswa SMEA Negeri Batang), terpilih untuk mengikuti Pelatihan Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IMP) se-Karesidenan Pekalongan di Pekajangan, Pekalongan.”

“Untuk berapa lama pelatihan tersebut berlangsung, Pak?”sela Jaka.

“Satu minggu.”

“Sepulang daari pelatihan,”sahut Ardhana. “Apa yang Pak Gito lakukan di sekolah?”

“Dengan dibantu teman-teman seperti; Mas’udi, Margo Utomo, Achmad Fauzi, dan Nunung Ghoniyah, Pak Gito mendirikan Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PD IPM) Kabupaten Batang.”

“Bagaimana perkembangan IPM yang Pak Gito dirikan tersebut,Pak?”tanya Dhestya.

“IPM Batang maju pesat,”jawab Pak Gito. “Puncaknya,”demikian lanjut Beliau.

“Bersama Mas’udi dan Achmadi dari Kecamatan Tersono,”sambungnya. “ Tahun 1979 Pak Gito ditunjuk untuk mewakili Kabupaten Batang di perhelatan Muktamar IPM di Jakarta.”

“Selain aktif di IPM,”sahutku.”Pak Gito aktif di organisasi mana lagi, Pak?”

“Pak Gito aktif di Gudep Pramuka Batang 55,”ujar Pak Gito. “Bersama Suripto dan M. Sodikin,”tambahnya. “Pak Gito pernah meraih Juara III dalam Lomba Lintas Alam Tingkat Provinsi Jawa Tengah, tahun 1978.”

“Di mana lomba tersebut dilangsungkan, Pak?”

“Di Karanggeneng, Ungaran, Semarang.”

“Maaf, Pak!”potong Gadis.

“Iya?”Pak Gito berpaling ke arah Gadis.

“Saat duduk di bangku STN 2 Batang dulu,”ucap Gadis. “Bapak ‘kan pernah belajar mengarang?”sambung Gadis.

“Benar. Kenapa?”

“Selama duduk di PGAM 4 Tahun,”Gadis menjawab. “Apakah Pak Gito tidak mencobanya lagi?” Pak Gito tersenyum. Wajahnya tetap ceria.

“Dalam suasana persekolahan,”ucap Pak Gito penuh semangat. “Kegiatan karang-mengarang Pak Gito di PGAM 4 Tahun Batang, muncul kembali.”

“Oh, apa iya, Pak?” Pak Gito mengiyakan.

“Walaupun baru sebatas dalam bukku harian,”ungkap Beliau. “Pak Gito rajin mengarang puisi, prosa, dan cerita pendek.Bahkan buku kumpulan puisi karya Pak Gito pun sering berpindah tempat, terutama anak-anak perempuan.”

“Dari sekian puluh puisi yang Pak Gito tulis,”sahutku. “Pernah adakah yang dimuat di media massa, Pak?”

“Pernah!”Jawab Pak Gito. “Dari sekian puisi yang Pak Gito kirimkan ke Mingguan Simponi, Jakarta, salah satunya ada yang dimuat.”

“Apa judul puisi tersebut, Pak?”masih tanyaku ingin tahu.

“Kuncup Tak Jadi.”

“Pertama kali melihat puisi karya sendiri dimuat di koran, bagaimana perasaan Pak Gito?”tanya Melati.

“Perasaan Pak Gito senang bukan main!”

“Mungkin ada alasan lain yang membuat Pak Gito sangat senang?”

“Ada memang!”sahut Pak Gito mantap. “Dengan dimuatnya tulisan Pak Gito di koran,”lanjut Pak Gito. “Berarti Pak Gito merupakan orang Dukuh Kebrok, Desa Sambong, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang yang pertama kali tulisannya terpajang di surat kabar.”

“Wah, wah, wah.....! Memang hebat sekali, Pak Gito ini!”pujiku seraya mengacungkan jempol tangan kanan. Pak Gito tidak menyahut. Beliau tersenyum-senyum saja.

“Dari kepandaian Pak Gito dalam hal mengarang,”ujar Gadis. “Pernahkah Pak Gito mengikuti sayembara mengarang untuk pelajar, Pak?”

“Pernah,”jawab Pak Gito singkat.

“Kapan itu, Pak?”masih tanya Gadis.

“Ketika Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Batang menyelenggarakan sayembara mengarang.”

“Dalam rangka apa itu, Pak?”sela Dhestya.

“Peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 1978.”

“Apa judul karangan Pak Gito saat itu?”potong Teten.

“Karangan yang Pak Gito kirimkan ke Panitia Sayembara Mengarang bagi siswa-siswi tingkat SLTP-SLTA itu berjudul ‘Ibuku’.”

“Bagaimana hasilnya, Pak?”sahutku.

“Alhamdulillah! Karya Pak Gito dinyatakan menang sebagai Juara I (Pertama) tingkat SLTP.”

“Apa hadiah yang Pak Gito terima dari kemenangan itu, Pak?”Bahtiar bertanya dengan cepat.

“Hadiahnya, sepotong kain celana,”sahut Pak Gito. “Hadiah tersebut Pak Gito ambil sendiri di kediaman Bapak Yunan Thoha, di Kawasan Dracik Kampus, Batang.”

“Siapa Bapak Yunan Thoha itu, Pak?”masih tanya Bahtiar.

“Ketua Panitia Sayembara Mengarang.”

“Bagaimana perasaan Pak Gito atas kemenangan tersebut, Pak?”tanyaku, Virdha.

“Perasaan Bapak, sungguh gembira yang tiada tara! Lebih-lebih ini merupakan kemenangan sayembara mengarang yang pertama kali bagi Pak Gito.”

“Wuih, hebat sekali Bapak, ya!”pujiku kagum.

“Ya, biasa-biasa sajalah.....!”sahut Pak Gito datar.

“E.... Maaf, Pak!”sela Bahtiar.

“Iya?”Pak Gito lurus-lurus memandang Bahtiar.

“Kapan kiranya Pak Gito tamat dari PGAM 4 Tahun Batang, Pak?”lanjut anak lelaki yang paling besar di kelompok kami itu.

“Pak Gito tamat dari MTs Muhammadiyah, tanggal 1 Mei 1979.”

“Lho, kok MTs Muhammadiyah, Pak! Bukankah sekolah Pak Gito di PGAM 4 Tahun Batang?”kening Bahtiar berkerut-kerut, tak habis mengerti.

“Sebelum menjawab, Pak Gito tersenyum.

“Benar,”ujar Pak Gito kemudian. ”Menjelang kelulusan tahun 1978,”lanjut Pak Gito.

“Pemerintah mengganti nama PGAM 4 Tahun, menjadi MTs Muhammadiyah.” Sambung Pak Gito,“Dengan demikian, MTs Muhammadiyah tidak mencetak para lulusannya untuk menjadi calon guru agama Islam.”

“Terus, bila mantan siswa PGAM 4 Tahun Batang ingin jadi calon guru, bagaimana caranya, Pak?”potong Ardhana.

“Mereka dianjurkan melanjutkan sekolah lagi di PGA 6 Tahun, masuk di kelas 4.”

“Bagaimana dengan Pak Gito sendiri?”Dhestya menyahut.

“Begitu lulus dari MTs Muhammadiyah,”jawab Pak Gito. “Bapak langsung melanjutkan ke Madrasah Aliyah Muhammadiyah (MAM) Batang.”

“Mengapa Pak Gito tidak melanjutkan ke PGA 6 Tahun?”potong Teten.

“Tidak,”sahut Pak Gito singkat. “Sebab toleransi batas usia Bapak telah terlewati. Usia Pak Gito sudah terlalu tua, sehingga tak ada jaminan bisa diterima di sana.”

“Lantas, tahun berapa Pak Gito masuk ke MAM Batang?”

“Tahun pelajaran 1979/1980.”

“Siapa sajakah teman Pak Gito waktu itu?”

“Yang Pak Gito ingat sampai sekarang antara lain; Slamet Supriyadi, Sutarto, Nunuk
Prasetyoningsih, Achmad Muhyidin, Abdul Qodir, dan Slamet Yusuf.”

“Bagaimana perasaan Pak Gito ketika jadi murid di MAM dulu?”tanya Gadis.

“Sungguh senang sekali. Lebih-lebih Pak Gito punya banyak kesibukan di sekolah tersebut.”

“Kiranya kesibukan apa saja yang Pak Gito tekuni?”

“Kesibukan di bidang ekstra kurikuler dan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah).”

“Apa contohnya, Pak?”kali ini aku, Virdha, yang bertanya.

“Contohnya,”sahut Pak Gito. “Di sela-sela belajar, Bapak menyibukkan diri berjualan majalah Suara Muhammadiyah yang terbit di Yogyakarta.”

“Setiap harikah Pak Gito berjualan majalah tersebut?”

“Tidak. Tiap dua minggu sekali majalah itu terbit.”

“Apa manfaat dari berjualan majalah tersebut, Pak?”

“Banyak sekali!”Pak Gito menjawab. ”Selain honornya bisa untuk menambah uang saku,”sambungnya. “Pak Gito juga bisa turut membaca isinya, untuk memperluas pengetahuan secara gratis.” Lanjut Pak Gito,”Bahkan sekali waktu, Bapak bisa mengirimkan berita OSIS ke majalah tersebut.”

“Sungguh pandai sekali Pak Gito di dalam mengisi waktu-waktu luang, ya?”timpal Melati.

“Ya....., memang harus begitu!”sahut Pak Gito. “Karena sebagai pelajar yang sudah kelewat remaja,”tambahnya. “Pak Gito ‘kan punya banyak kebutuhan?”

“Kebutuhan apa saja, Pak?”

“Kebutuhan peralatan sekolah. Juga kebutuhan beli pakaian.”

“Kecuali jadi loper majalah,”Dhestya menyela. “Adakah pengalaman menarik lain bagi Pak Gito?”

“Ada!”

“Apa misalnya, Pak?”masih tanya Dhestya.

“Menjadi tukang foto keliling ke kampung-kampung.”

“Bisa Pak Gito kisahkan ceritanya, Pak?”pinta Teten.

“Bisa,”jawab Pak Gito. “Ceritanya,”sambung Beliau. “Pak Harto Setyono,BA, sang Guru MAM yang punya Kodak Olympus,”lanjut Pak Gito. “Karena banyak kesibukan sebagai Guru,”sambungnya lagi. “Beliau tak sempat lagi meneruskan pekerjaan sampingannya sebagai tukang foto.”

“Terus, bagaimana, Pak?”tanya Teten lagi.

“Karena alasan itu,”ujar Pak Gito. “Pak Harto menawari Pak Gito supaya mau menjajakan foto keliling dengan Kodak miliknya.”

“Terus, Pak Gito mau?”sela Melati.

“Untuk menambah pengalaman, Pak Gito setuju.”

“Ke mana Pak Gito keliling menjajakan foto?”masih tanya Melati.

“Ke kampung-kampung yang cukup jauh dari kota Batang.”

“Kapan Pak Gito pergi keliling kampung?”

“Tiap Kamis sore. Dengan ditemani Om Amat Taliroso, Pak Gito berangkat dari rumah,”ujar Pak Gito. ”Malam Jumat, kami numpang bermalam di rumah penduduk,”sambungnya. “Jumat pagi, kami pulang menuju kota sambil menjajakan foto.”

“Mengenai hasilnya, bagaimana, Pak?”Bahtiar menyela.

“Alhamdulillah...! Karena langganan Pak Gito cukup banyak,”kata Pak Gito. “Maka, uang yang Pak Gito kantongi pun lumayan banyak. Bisa untuk menambah biaya sekolah.”

“Kalau begitu, untuk biaya sekolah Pak Gito, tidak seberat ketika duduk di PGAM 4 Tahun dulu, bukan?”masih pancing Bahtiar.

“Iya, begitulah...!”Pak Gito menjawab seraya tersenyum.

“Maaf, Pak!”ujar Jaka.

“Iya?”Pak Gito berpaling ke arah Jaka.

“Kiranya kejuaraan apa yang Pak Gito raih selama di MAM Batang, Pak?”

“Kejuaraan Lomba Siswa Teladan Tingkat SLTA.”

“Di mana seleksi Lomba Siswa Teladan itu diadakan, Pak?”

“Di SD Negeri Kertonegaran, sekarang SDN Proyonanggan V.”

“Bagaimana hasil seleksi yang Bapak ikuti?”

“Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Batang, No: - /II.03.25/80, Tgl. 7 Juli 1980, Pak Gito ditetapkan sebagai Juara I Siswa Teladan Tingkat SLTA Kabupaten Batang.”

“Wah! Hebat sekali prestasi yang Pak Gito peroleh, ya?”aku acung jempol untuk Pak Gito.

“Iya! Memang hebat sekali, Pak Gito!”sahut teman-teman setuju.
Mendengar pujian kami, Pak Gito tersenyum-senyum saja seakan mengenang masa lalunya.

“Lantas, tahun berapa Pak Gito lulus dari MAM Batang, Pak?”Gadis bertanya.

“Tahun 1982.”

“Terus, ke mana Pak Gito meneruskan kuliah, Pak?”masih tanya Gadis.

“Pak Gito mencoba ikut tes masuk ke IKIP Negeri Semarang (sekarang UNNES).”

“Apa alasan Pak Gito memilih kuliah di IKIP Negeri Semarang, Pak?”tambah Melati.

“Karena Pak Gito ingin menjadi seorang Guru.”

“Cita-cita yang amat luhur, Pak. Namun, apakah tes Pak Gito lulus, sehingga bisa
diterima di Perguruan Tinggi tersebut, Pak?”

“Alhamdudlillah! Pak Gito lulus dari tes saringan dan diterima di Perguruan Tinggi tersebut.”

“Lalu, jurusan apa yang Pak Gito pilih?”aku ikut bertanya.

“Pak Gito memilih jurusan S1 Bahasa Inggris.”

“Wah, hebat benar Pak Gito!”

“Apanya yang hebat?”

“Bapak suka memilih jurusan yang sulit,”Ardhana menyahut.

“Karena Pak Gito ingin mahir dalam berbahasa Inggris baik lisan maupun tulisan.”

“Terus, bagaimana tanggapan keluarga Pak Gito, begitu tahu Bapak diterima di IKIP
Negeri Semarang?”Bahtiar menambahkan.

“Semua anggota keluarga merasa senang,”jawab Pak Gito. “Mereka mendukung cita-cita Pak Gito,”lanjutnya. “Pak Gito sendiri juga merasa bangga. Sebab dengan diterimanya Pak Gito menjadi mahasiswa di IKIP Negeri Semarang,”katanya. “Berarti Bapak merupakan satu-satunya remaja Dukuh Kebrok, Desa Sambong, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang yang pertama kali melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi.”

“Nah, hebat ‘kan prestasi Pak Gito?”sahutku. “Pak Gito orang yang tegar. Orang yang tak mengenal putus asa dalam menghadapi banyak rintangan. Akhirnya berhasil.”

“Iya, kami semua kagum terhadap pendirian Bapak!”tambah Gadis mewakili teman-teman.
Pak Gito tidak menjawab. Namun di wajahnya terlihat senyum ceria.
--------
10. DEMI KULIAH, AKU MENGARANG

“Maaf, Pak!”ujar Dhestya. Pak Gito menoleh ke arah anak yang berhidung sedikit mancung dan bermata sipit itu lurus-lurus.

“Ada apa, Nak?”

“Kiranya, di mana letak IKIP Negeri Semrang berada, Pak?”tanya Dhestya.

“Komplek IKIP Negeri Semarang terletak di Jalan Kelud Raya, Petampon, Kecamatan Semarang Selatan, Semarang,”jawab Pak Gito panjang. “Namun sekarang,”lanjut Pak Gito. “Kampusnya terletak di Desa Sekaran, Kecamatan Gunung Pati, Semarang. Namanya bukan IKIP lagi, melainkan UNNES (Universitas Negeri Semarang).”

“Dalam masa-masa kulih,”kataku, Virdha. “Apakah Pak Gito menempuh pulang-pergi Batang-Semarang, Pak?”

“Oh, tidak!”Pak Gito tersenyum. “Pak Gito indekost di Semarang,”sambungnya.

“Tepatnya, tahun pertama, Pak Gito indekost di rumah Pak Sugeng, di Jalan Tumpang I, Semarang Selatan.”

“Adakah teman lain yang berasal dari Batang, Pak?”masih aku lagi yang bertanya.

“Ada!”sahut Pak Gito mantap. “Mereka antara lain; Hadi Purnomo, Daryoto, Taufik, Riyanto, dan Slamet Rozikin. Di samping itu, ada pula beberapa teman dari Klaten, Purwodadi, Pati, Pekalongan, dan kota-kota lain.”

“Kiranya, pengalaman apa yang Pak Gito peroleh pada hari-hari pertama masuk kuliah, Pak?”kali ini Bahtiar yang bertanya.

“Banyak!”sahut Pak Gito.“Di antaranya yang tak terlupakan sampai sekarang, adalah....”
“Apa, Pak?”sahut Bahtiar tak sabar.

“Rasa bingung Pak Gito yang begitu dalam.”

“Apa yang Pak Gito bingungkan?”tanya Melati tak paham.

“Yang Pak Gito bingungkan,”ujarnya. “Dari 23 mahasiswa kelas A Bahasa Inggris S1,”lanjutnya. “Ternyata ada 7 mahasiswa berasal dari penjaringan Program Penelusuran Bakat dan Minat, atau Seleksi Penerimaan Mahasiswa Prestasi (SPMP),”Pak Gito diam sesaat. Kemudian katanya,”Pak Gito tahu persis, bahwa kemampuan berbahasa Inggris mereka rata-rata sangat bagus. Kecuali 1 orang saja yang pas-pasan. Itu pun berasal dari Madrasah Aliyah Muhammadiyah swasta.”

“Siapakah orang itu, Pak?”tanya Teten ingin segera tahu.

“Orang itu adalah........ Pak Gito sendiri!”

“Pak Gito, Pak?”kening Teten berkerut, akibat kaget. Pak Gito mengangguk.

“Sejauh mana kemampuan berbahasa Inggris Bapak saat itu?”rasa penasaran Teten makin menjadi.

“Jangankan mampu berbahasa Inggris dengan baik! Kursus atau les prifat saja pun Pak Gito tidak pernah kenal sama sekali.”

“Lalu, Pak?” timpal Gadis.

“Pak Gito sempat gelagapan saat dihadapkan pada situasi pembelajaran Bahasa Inggris yang sesungguhnya.”

“Mengapa sebabnya, Pak?’masih tanya Gadis.

“Sebab banyak istilah yang Pak Gito tak mengerti artinya.”

“Mengapa Bapak mesti memilih jurusan tersebut, Pak?”Jaka bertanya.

“Pak Gito memilih jurusan tersebut bukan karena pandai,”jawab Pak Gito. “Melainkan hanya karena suka saja.”

“Apa yang menjadikan Pak Gito suka pada pilihan tersebut?”tanya Jaka lagi.

“Sejak pertama mengenal pelajaran Bahasa Inggris di STN 2 Batang dulu,”ujar Pak Gito. “Bapak sudah menyimpan keinginan untuk belajar bahasa itu dengan baik.”

“Bagaimana cara Pak Gito mengatasi kesulitan dalam mempelajari bahasa tersebut?”Dhestya ikut bertanya.

“Pak Gito banyak membaca buku Bahasa Inggris. Di samping itu, Bapak sering belajar kepada rekan-rekan sekelas.”

“Karena mengalami kesulitan,”sahutku. “Pernahkah Pak Gito punya keinginan untuk berpindah ke program pendidikan yang lain?”

“Pernah,”ujar Pak Gito. “Untuk menghindari kesulitan lebih jauh,”lanjutnya. “Pak Gito pernah punya angan-angan untuk pindah ke program Pendidikan Bahasa Inggris Diploma II.”

“Rencana pindah, jadi tidak, Pak?”sela Bahtiar.

“Tidak!”

“Mengapa tidak jadi, Pak?”Melati ikut menyahut.

“Karena setelah Pak Gito bicarakan kepada Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Drs. Warsono, MA,”sahut Pak Gito.

“Beliau menyarankan agar Pak Gito jangan terlalu tergesa-gesa pindah program.”

“Terus, bagaimana sikap Pak Gito?”

“Pak Gito menurut saran Pak Warsono. Bapak tetap meneruskan kuliah seperti semula.”

“Lalu, kesulitan apa lagi yang Pak Gito hadapi selama di bangku kuliah, Pak?”Teten menambah jumlah pertanyaan.

“Kesulitan tentang uang perkuliahan dan biaya makan sehari-hari di Semarang.”

“Maksud Pak Gito?”desak Teten ingin tahu lebih jauh.

“Maksud Bapak,”demikian Pak Gito berujar. “Sebagai mahasiswa yang cuma berbekal tekad dan kemauan keras,”sambung Pak Gito. “Pak Gito sering mengalami kesulitan keuangan.”

“Terus,Pak?”

“Untuk bisa mengatasi semua itu,”ucap Pak Gito. “Tentunya Bapak harus bisa berlatih hidup hemat. Hidup sederhana. Namun demikian, Bapak sering mengalami kehabisan uang sebelum orangtua kirim.”

“Lantas, untuk bisa mengatasinya, langkah apa yang Pak Gito ambil?”tanyaku.

“Suatu hari Pak Gito mengadu kepada Bapak Drs.Warsono, MA. Atas pengaduan itu, Beliau menyarankan agar Pak Gito mau bersabar. Beliau akan mengusulkan kepada Pemerintah, supaya Pak Gito mendapatkan beasiswa Supersemar.”

“Bagaimana hasil usaha Pak Warsono, Pak?”Ardhana bertanya.

“Alhamdulillah! Mulai tahun akademik 1983/1984 beasiswa Supersemar bagi PakGito keluar sebesar Rp 25.000,00 per bulan.”

“Untuk berapa bulan lamanya, Pak?”

“Untuk 6 semester atau 36 bulan ke depan.”

“Dengan diterimanya beasiswa Rp 25.000,00 tiap bulan itu,”kata Jaka. “Apakah sudah bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari Pak Gito di Semarang, Pak?”

“Ya, sudah cukup,”jawab Pak Gito. “Namun untuk bisa memiliki uang cadangan, ya, belum.”

“Terus, apa yang bisa Pak Gito tempuh?”

“Pak Gito mencoba mencari dana cadangan dari mengarang artikel, cerpen, puisi, dan cerita anak untuk media massa.”

“Bagaimana hasil dari kesibukan yang Pak Gito tempuh kali itu, Pak?”Melati ingin mengerti.

“Hasilnya cukup memuaskan,”sahut Pak Gito sembari tersenyum.

“Maksud Pak Gito?”masih tanya Melati.

“Cerita Pendek karya Pak Gito yang berjudul Meteor, muncul di Suara Karya Minggu, Jakarta tahun 1984. Begitu pula artikel Pak Gito tentang Tradisi Kliwonan di Batang, dimuat pada harian Suara Merdeka, Semarang.”

“Terus,Pak?”tanya Melati ikut penasaran.

“Cerpen-cerpen Pak Gito lainnya sering dimuat oleh Suara Karya Minggu Jakarta, Suara Merdeka Minggu Semarang, dan Wawasan Minggu Semarang.”

“Lantas?”potongku.

“Selama empat setengah tahun kuliah di Semarang,”sahut Pak Gito. “Bapak sering jadi pemenang dalam lomba mengarang tingkat institut.”

“Misalnya, Pak?”tanyaku.

“Misalnya,”ucap Pak Gito.

“Tahun 1982, Pak Gito meraih Juara I Lomba Mengarang Internfakultas.
Tahun 1983, Juara II Lomba Mengarang Antarfakultas.
Tahun 1984, Juara II Lomba Mengarang Antarfakultas.
Tahun 1984, Juara II Lomba Mengarang Tingkat Kota Semarang, yang diselenggarakan oleh Ta’mir Masjid Baiturrahman, Semarang.”

“Maaf, Pak!”sela Ardhana.

“Iya?”

“Dari sederet keberhasilan Pak Gito dalam dunia mengarang tadi,”ujar Ardhana.

“Adakah perhatian dari sesama teman mahasiswa di kampus IKIP Negeri Semarang, Pak?”

“Oh, ya, ada!”sahut Pak Gito mantap. “Dari keberhasilan tulisan Pak Gito dalam menembus media massa Jakarta dan Semarang,”demikian Pak Gito bicara.
“Ditambah seringkali Pak Gito jadi juara dalam lomba mengarang tingkat institute,”lanjutnya. “Maka, sempat membuat Pak Gito dikenal oleh para mahasiswa lainnya. Bahkan oleh Sulistyo, Ketua Senat Mahasiswa Fakulatas Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Negeri Semarang Pak Gito diajak untuk masuk ke dalam kegiatan Organisasi Formal Kampus.”

“Siapa Sulistyo tadi, Pak?”tanya Bahtiar.

“Dia mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, satu tahun di atas Pak Gito. Sekarang Beliau dikenal sebagai Drs. Sulistyo,Phd, Rektor IKIP PGRI Semarang, bahkan belum lama ini Beliau terpilih menjadi Pengurus Besar PGRI Pusat.”

“Terus, apa yang dilakukan oleh Sulistyo terhadap Bapak?”masih tanya Bahtiar.

“Sulityo memberikan kepercayaan kepada Pak Gito untuk mengelola majalah internal Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra yang berlabel ‘Diorama’.”

“Lalu, Pak?”Bahtiar makin ingin tahu.

“Sayang. Karena dana yang tak cukup,”ujar Pak Gito. “Majalah yang semula direncanakan untuk bisa terbit tiap 3 bulan sekali itu, hanya bisa sekali terbit.”

“Wah! Amat sayang sekali ya, Pak?”seru Melati. Pak Gito mengangguk, mengiyakan.

“Tapi, Pak Gito masih tetap terus mengarang untuk majalah-majalah dan surat kabar yang lain,’kan?”

“Iya. Semua itu Pak Gito lakukan demi bisa mendapatkan uang tambahan untuk penopang kuliah.”

“Hebat, Pak!”seru Gadis. “Dengan berbekal kepandaian yang dimiliki Pak Gito dalam bidang mengarang, kuliah pun tak bermasalah. Kami salut, Pak!”
Pak Gito mengangguk-angguk seraya tersenyum ceria.
penulis:SUGITO HADISASTRO

1 komentar: