Di kota Madinah yang damai. Beberapa orang miskin dari kaum Muhajirin menemui Rasulullah. Di hadapan Rasul mulia tersebut, orang-orang itu mengadukan sedikit kegundahan mereka. Tidak dalam nada protes, hanya sekedar memohon kejelasan.
“Wahai Rasulullah, alangkah beruntungnya orang-orang kaya. Mereka bisa berjuang seperti kami, mereka bisa sholat seperti kami. Tapi mereka bisa berinfaq dengan kekayaan mereka. Sementara kami tidak,” begitulah keluhan yang mereka sampaikan.
Mendengar pengaduan itu, Rasulullah menjawab dengan kasih sayang.
“Maukah kalian aku beritahu tentang amalan yang bisa menjadikan diri kalian seperti mereka? Bacalah tasbih (subhanallah) tiga puluh tiga kali, tahmid (alhamdulillah) tiga puluh tiga kali, dan takbir (Allahu akbar) tiga puluh tiga usai sholat.”
Mendengar jawaban Rasulullah tersebut, orang-orang miskin itu merasa lega. Mereka pulang membawa ketenangan dan kedamaian.
Tapi, beberapa waktu kemudian, orang-orang kaya juga mendengar tentang amalan yang diajarkan Rasulullah kepada orang-orang miskin tersebut. Dan, orang-orang kaya itu pun membaca wirid seperti yang dilakukan orang-orang miskin itu. Mereka mengucapkan tasbih, tahmid, dan takbir setiap usai sholat.
Mendengar hal ini, orang-orang miskin itu kembali menghadap Rasulullah, serta menjelaskan apa yang terjadi. Bahwa orang-orang kaya juga melakukan apa yang mereka lakukan.
Akhirnya Rasulullah pun memberi jawaban, “Itu adalah karunia yang diberikan Allah kepada siapa yang dikehendaki.”
Dialog orang-orang miskin itu mungkin hanya sekeping kisah dari keseharian penduduk Madinah. Yang mengisi hari-hari mereka seperti biasanya. Tapi ada begitu banyak prinsip penting dari kisah itu, yang menjadi sangat luar biasa untuk ditimbang dalam keseharian kita, saat-saat ini.
Ialah bahwa orang-orang miskin itu tidak mengadukan ‘kemiskinan’ mereka kepada Rasulullah dalam perspektif konsumtif. Dengan kata lain, mereka orang-orang miskin, tetapi mereka tidak sedang mengadu tentang sulitnya makan, sulitnya air, minimnya dinar dan dirham.
Mereka mengadukan kemiskinan itu dalam perspektif produktivitas amal kebaikan. Bahwa mereka merasakan, betapa orang-orang kaya bisa berbuat kebaikan dengan kekayaan mereka, sementara diri mereka tidak.
Dengan perangai dan mentalitas luhur seperti itu, para Muhajirin yang miskin itu sesungguhnya telah berubah menjadi orang-orang kaya. Mereka merasa cukup, bila urusannya soal makan dan minum. Mereka orang miskin yang sesungguhnya kaya. Bukankah makna kaya yang sesungguhnya adalah rasa cukup?
Mereka menghayati betul apa yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya, “Allah telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu meninggalkannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34).
Mereka kaya, karena merasa cukup dalam soal dunia, meskipun sesungguhnya mereka miskin. Pada saat yang sama, mereka juga kaya kemauan untuk berbuat kebaikan, kaya kehendak untuk beramal, dan kaya keinginan untuk beribadah kepada Allah.
Tetapi kisah itu juga menggambarkan kenyataan lain. Bahwa orang-orang kaya yang mereka ‘keluhkan’ kepada Rasulullah, adalah juga orang-orang kaya yang beriman, banyak berbuat kebajikan, dan yang pasti, banyak membelanjakan hartanya di jalan Allah. Maka dialog itu adalah fragmen ‘kecemburuan’ orang-orang mukmin terhadap orang-orang mukmin lain. Sebuah ‘kecemburuan’ yang sah menurut Islam. Kecemburuan dalam fastabiqul khairat (berlomba melakukan kebaikan). Sekaligus, sebuah kecemburuan yang memberi tafsir baru tentang kekayaan.
Alangkah indah sosiologi Madinah, yang berdenyut dalam dinamika dan harmoni iman dan kebajikan. Penduduknya yang kaya tidak menjadi orang-orang culas. Bahkan mungkin mereka tidak mengenal sebentuk apakah culas itu? Orang-orang kaya di Madinah adalah orang-orang kaya yang taat. Mengerti kewajiban mereka, dan karenanya, mereka kaya harta, tetapi lebih dari itu mereka juga kaya hati, kaya kebaikan dan kaya kehendak. Setidaknya itu bisa dilihat ketika mereka juga antusias untuk mengamalkan wirid-wirid yang diajarkan Rasulullah kepada orang-orang miskin.
Begitupun orang-orang miskinnya, adalah orang-orang yang dalam segala keterbatasan, mereka haus amal shalih. Mereka tidak menggadaikan kemiskinan dengan menjual agamanya. Bahkan mereka tidak mengenal sebentuk apakah menjual agama itu? Justru mereka terus berpacu, mengejar kebaikan sampai batas maksimal. Sampai pada batas ketika mereka harus ikhlas, bahwa kelebihan orang-orang kaya dalam beramal adalah kelebihan yang dikaruniakan Allah untuk siapa saja yang Ia kehendaki.
Kehidupan Madinah adalah maket keserasian masyarakat yang menapaki puncak kejayaannya, bahkan hingga dalam soal paradigma kemiskinannya. Ada aqidah yang sangat kokoh, ada gelora perjuangan yang tidak memberi tempat bagi orang-orang cengeng. Ada kebersihan hati, ada tangis-tangis luhur di malam kelam. Dalam tengadah harap dan pertaubatan kepada Allah Yang Maharahman.
Tapi Madinah juga puncak dedikasi yang tidak ringan dari seorang Rasulullah Muhammad, yang menghantarkan masyarakat jahiliyah menuju kelahirannya yang kedua: lahir sebagai masyarakat beriman yang dicintai Allah, Tuhan yang dulu mereka pandang remang-remang.
Orang-orang miskin Madinah juga seperti tengah mengajarkan kepada kita hari ini, bahwa sesunggunya setiap kita adalah kaya. Atau setidaknya bisa menjadi kaya: kaya hati, kaya kebaikan, dan kaya kehendak untuk tak pernah berhenti mengejar derajat keshalihan.
Pada tataran ini kita tidak sedang mengaduk-aduk paradigma tentang pentingnya berusaha, pentingnya uang, pentingnya rumah yang nyaman, pentingnya jabatan, dalam batas-batas yang dihalalkan.
Kita tidak sedang menafikan semua itu. Tetapi kita berbicara tentang paradigma keimanan yang menyapu sisi kaya dan sisi miskin seseorang dengan sapuan warna yang sama: sapuan kekayaan jiwa. Dua sisi itulah yang dengan nyata terekspresikan pada diri orang-orang kaya Madinah maupun orang-orang miskinnya. Sehingga secara jati diri, mereka sama-sama menjadi orang kaya.
Ada yang harus kita perbaiki dalam memahami kekayaan. Kita tahu bahwa kebutuhan hidup saat ini besar. Kita tahu bahwa sebagian dari kemiskinan itu adalah kemiskinan akibat, bukan kemiskinan sebab. Artinya ada orang miskin sebagai akibat kezhaliman penguasa atau kezhaliman orang-orang kaya. Bukan sebab dirinya sendiri.
Tetapi dalam batasan yang maksimal, kita tetap harus pandai bersyukur punya gelora tinggi untuk berbuat kebaikan. Kita memang harus belajar dari orang-orang miskin Madinah itu. sumber
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar