Rabu, 25 Januari 2012

Antara Sabr dan mengeluh

Pada zaman dahulu ada seorang yang bernama Abul Hassan yang pergi haji di Baitul Haram. Diwaktu thawaf tiba-tiba ia melihat seorang wanita yang bersinar dan berseri wajahnya. "Demi Allah, belum pernah aku melihat wajah secantik dan secerah wanita itu,tidak lain kerana itu pasti kerana tidak pernah risau dan bersedih hati."

Tiba-tiba wanita itu mendengar ucapan Abul Hassan lalu ia bertanya, "Apakah katamu hai saudaraku ? Demi Allah aku tetap terbelenggu oleh perasaan dukacita dan luka hati kerana risau, dan seorang pun yang menyekutuinya aku dalam hal ini."

Abul Hassan bertanya, "Bagaimana hal yang merisaukanmu?" Wanita itu menjawab, "Pada suatu hari ketika suamiku sedang menyembelih kambing korban, dan pada saat aku mempunyai dua orang anak yang sudah bisa bermain dan yang satu masih menyusui. Ketika itu aku bangun untuk membuat makanan, tiba-tiba anakku yang agak besar berkata pada adiknya, "Hai adikku, sukakah aku tunjukkan padamu bagaimana ayah menyembelih kambing ?" Jawab adiknya, "Baiklah kalau begitu ?" Lalu disuruh adiknya berbaring dan disembelihnya leher adiknya itu. Kemudian dia merasa ketakutan setelah melihat darah memancut keluar dan lari ke bukit yang mana di sana ia dimakan oleh serigala, lalu ayahnya pergi mencari anaknya itu sehingga mati kehausan dan ketika aku letakkan bayiku untuk keluar mencari suamiku, tiba-tiba bayiku merangkak menuju ke periuk yang berisi air panas, ditariknya periuk tersebut dan tumpahlah air panas terkena ke badannya habis melecur kulit badannya. Berita ini terdengar kepada anakku yang telah menikah dan tinggal di daerah lain, maka ia jatuh pingsan hingga sampai menuju ajalnya. Dan kini aku tinggal sebatang kara di antara mereka semua."

Lalu Abul Hassan bertanya, "Bagaimanakah kesabaranmu menghadapi semua musibah yang sangat hebat itu ?" Wanita itu menjawab, "Tiada seorang pun yang dapat membedakan antara sabar dengan mengeluh melainkan ia menemukan di antara keduanya ada jalan yang berbeda. Adapun sabar dengan memperbaiki yang lahir, maka hal itu baik dan terpuji akibatnya. Dan adapun mengeluh, maka orangnya tidak mendapat ganti yakni sia-sia belaka."

Demikianlah cerita di atas, satu cerita yang dapat dijadikan tauladan di mana kesabaran sangat digalakkan oleh agama dan harus dimiliki oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dalam setiap terkena musibah dan dugaan dari Allah. Karena itu Rasulullah s.a.w bersabda dalam firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi,: "Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang Mukmin, jika Aku ambil kekasihnya dari ahli dunia kemudian ia sabar, melainkan syurga baginya."

Begitu juga mengeluh. Perbuatan ini sangat dikutuk oleh agama dan hukumnya haram. Karena itu Rasulullah s.a.w bersabda,: "Tiga macam daripada tanda kekafiran terhadap Allah, merobek baju, mengeluh dan menghina nasab orang." Dan sabdanya pula, "Mengeluh itu termasuk kebiasaan Jahiliyyah, dan orang yang mengeluh, jika ia mati sebelum taubat, maka Allah akan memotongnya bagi pakaian dari uap api neraka." (Riwayat oleh Imam Majah).

Semoga kita dijadikan sebagai hamba Allah yang sabar dalam menghadapi segala musibah.

Oleh : Andhika Hady
0
Diposkan oleh : Insan Biasa 0 komentar
Label : Seberkas Sinar, Untuk Kita Renungkan
Senin, 25 Juli 2011
Ramadhan terakhir


Seminggu lalu saya kehilangan seorang sahabat saya, seorang lelaki muda pengurus sebuah masjid, akrab dengan anak anak yatim dan fakir, pembawaannya yang kalem dan lembut mulai saya rindukan malam ini, seorang lelaki yang jarang bicara namun pandai bergurai, dia adalah sahabat yang menyenangkan, dan ALLAH memanggilnya pulang tepat seminggu sebelum Ramadhan innalillahi wa inna illaihi rajiun, semua kita pasti berpulang hanya masalah waktu, sungguh kematian adalah sebuah piala bergilir.

Malam ini saya jadi teringat pembicaraan terakhir saya dengannya saat menghabiskan senja di tangga masjid sambil menunggu adzan magrib “De, sebentar lagi Ramadhan, udah nyiapain apa aja? udah bikin schedule mau menghabiskan Ramadhan dimana saja? mau muhasabah di mana saat 10 malam terakhir?” ehm tak pernah terpikirkan oleh saya untuk menyiapkan things to do selama Ramadhan, tak terbersit oleh saya sama sekali karena yang ada di benak saya ketika Ramadhan tiba adalah sahur bersama keluarga, punya stok makanan yang lebih, dan hidup di suasana kota santri, memenuhi masjid masjid yang semuanya bersifat umum, hingga tak terpikir target pribadi untuk jiwa saya sendiri, dengan apa akan saya isi jiwa yang kering ini? iya dengan apa…

Diujung pembicaraan senja dengan sahabat saya ini, saya tertampar dengan satu kalimat terakhinya “De, musti dipikirin loh, gimana kalau Ramadhan kali ini adalah Ramadhan terakhir kita, anggaplah ini Ramadha terakhir kita apa akan kita biarkan berlalu sia sia“


Ehm, saya tersadar, iya andai ini Ramadhan terakhir saya dan saya melewatinya begitu saja tanpa memanfaatkan waktu, dengan menggapai sekuat tenaga ampunan ALLAH, rugi banget jika Ramadhan berlalu dan saya tak mendapat ampunan, tak terlahir seperti bayi … tak memiliki jiwa jiwa yang bercahaya.

Iya, sekali lagi iya, andai ini Ramadhan terakhir saya, sungguh akan saya isi dengan lebih mendekatkan jiwa kepada pemilik jiwa saya, bukankah bulan ini bulan ampunan? agar jiwa saya dapat menjadi jiwa jiwa yang bercahaya … berpulang setelah mendapat ampunan.

Sekedar flashback, mengenang Ramadhan Ramadhan sebelumnya, betapa banyak waktu yang terbuang, i’tikaf yang terlewat, tadarus, tilawah yang selalu saja tak sempat saya lakukan, apalagi khatam quran, betapa sering tarawih saya lakukan secepat dan sekilat mungkin agar cepat cepat tidur dengan alasan besok sahur, dan berapa banyak makanan enak masuk kedalam mulut mungil saya tanpa merasakan lapar dan haus yang sedang dialami para fakir disekitar rumah saya … Betapa banyak waktu yang saya gunakan untuk sekedar tidur dengan pembenaran bahwa tidur waktu puasa juga ibadah, tanpa ada sedikitpun kesadaran bahwa tilawah, dzikir, dan sholatnya orang puasa, tentulah lebih bernilai Ibadah dari sekedar tidur, kan gitu kan?

Dan saya telah melewatkan Ramadhan Ramadhan yang lalu dengan hanya mendapatkan haus dan lapar, 30 hari berlalu sia sia, dan tanpa rasa malu saya merayakan akhir Ramadhan dengan berbaju sebagus mungkin, menghabiskan THR tanpa sedekah sedikitpun karena uang nya saya gunakan untuk pulang kampung …

Kemudian saya mulai berpikir untuk menjadikan Ramadhan kali ini sebagai Ramadhan terkahir saya, andai esok tak ada lagi Ramadhan untuk saya, andai saya berpulang seperti sahabat saya, setidaknya saya tak akan menjadikan Ramadhan kali ini berlalu sia sia.


Sudah waktunya merubah cara berpikir bahwa puasa bukan lagi hanya menahan haus dan lapar, namun menjadikan setiap detik, menit, jam untuk menggapai cinta ILLAHI, menggapai ridho dan ampunannya, ridho itu rahmat dan ampunan kan? irhamnna ya ALLAH

Ketika saya mulai berpikir ini Ramadhan terakhir saya, maka Ramadhan akan terasa beda, malam malamnya terasa begitu syahdu, takut rasanya berjauhan dengan ALLAH, indah rasanya berlama lama diatas sajadah. Ramadhan disiang hari juga beda karena saya tersadar satu senyum manis akan bernilai ibadah, dengan perut yang kosong, tenggorokan yang kering, hawa nafsu yang terbelenggu menjadikan siang terasa begitu indah untuk dijalani, tak ada amarah, tak ada teriakan, tak ingin menyakiti apalagi mendzalimi … iya, khusu karena kesadaran mungkin ini yang terakhir.

Waktu tak bisa kembali, dan iya ketika saya berpikir ini Ramadhan terakhir saya, maka akan saya cambuk raga saya untuk mengisi nafas dengan dzikir, shalat tak tertunda plus rawatib, bibir mungil ini harus mampu mengkhatamkan Quran, tafakur tak akan saya lewatkan agar selalu tersadar bahwa diri ini berlumuran dosa …
Iya andai ini Ramadhan terakhir saya, tak akan saya biarkan berlalu tanpa mendekatkan jiwa kepada ALLAH dimalam malam nan syahdu, disiang yang teduh …

Mungkin ini Ramadhan Terakhir saya, karena saya tak pernah tahu rahasia setelah ini …


ya ALLAH beri saya ampuanMU di Ramadhan ini, beri maaf dihati orang orang yang pernah saya lukai, beri kasih sayang agar saya mampu mencintai orang orang yang mencintai saya seperti mereka mencintai saya … sungguh, saya tak sanggup membayangkan jika ini yang terakhir Irhamnna ya ALLAH.
Oleh: Vitha Zafarani Maryu'ana (sumber)

0 comments:

Posting Komentar