Jumat, 30 Desember 2011

Surat Cinta Buat Bidadari Kecilku di Syurga

Sayangku …..
Ayah tak tahu harus memulai bercerita apa di surat ini. Ketika engkau memutuskan untuk pergi meninggalkan ayah, Di pikiran ayah,  “Engkau mengkhianatiku, nak !”. Ayah membencimu. Engkau sempat membuat ayah tersenyum bahagia, setelah itu yang tersisa hanya sedih dan air mata. Begitu indah keceriaan yang engkau berikan, setelah itu yang tersisa hanya perih kebisuan.
Tak terasa tiga tahun sudah berlalu. Masih lekat di ingatan ayah senyummu yang manis, sinar matamu yang indah. Subhanallah. Engkau memang indah dan pantas dikagumi, nak !. Kuanggap penantianku berakhir dengan kehadiran mungilmu.
Engkau tahu nak, begitu ayah sangat merindukanmu. Kepergianmu adalah salah satu episode paling menyedihkan dalam hidup ayah. Kepergianmu menyisakan kebencian ayah pada rumah sakit, menyisakan geram pada suster yang bodoh, dan menyisakan kenangan pada dokter yang sadis. Ayah mau memperkarakannya dan sudah menelepon sahabat pengacara ayah, namun ibumu sungguh wanita mulia, memperkarakan mereka tidak membuatmu kembali, disaat yang sama ibumu lebih membutuhkan pertolongan agar kondisinya cepat kembali normal. Sayang, engkau tak sempat mengenal ibumu, wanita setia yang tiada duanya. Ayah sempat memprotes cintanya karena sayangnya kepada ayah seakan melebihi sayangnya kepada Tuhan.
Kepergianmu menyisakan kepedihan yang mendalam bagi kakakmu, namanya Adil. Sayang, engkau tak sempat mengenalnya.  Kakakmu adalah kakak yang hebat. Dia meninggalkan pembaringan ayah dan ibumu dan berjalan sendiri dalam gelap subuh menuju masjid. Dia ikut shalat bersama jamaah subuh yang hanya empat orang itu disaat dia sendiri tidak tahu harus berdo’a apa. Saya kira kakakmu juga ingin protes kepada Tuhan, kenapa Tuhan merenggut kebahagiaannya. Kenapa Tuhan begitu cepat memanggil adik yang dirindukannya !.

Sayangku …..
Perih hati ayah. Melihatmu terakhir terbaring dalam incubator di ruang kematian yang menyesakkan itu, Engkau tak pantas berada disana, nak !. Ayah sendiri merinding berada disana. Setiap detik, menit dan jam, ayah menyaksikan begitu hebat permainan kematian di ruang ICU itu, ruangan yang dikelilingi malaikatul maut, sangat menakutkan. Ayah menyaksikan satu persatu pasien di ruangan itu pergi. Terbang bersama takdir kematiannya.
Ayah bercucuran keringat dingin. Menggigil di siang hari. Ayah menatapmu lekat – lekat, takut engkau menyusul mereka, terbang entah kemana. Engkau hanya memberikan senyum yang tertahan. Umurmu baru lima hari ketika itu. Senyummu itu seakan menabahkan ayah ditengah keletihan berlari pontang panting dari apotek ke apotek. Resep obat paska operasi yang diberikan dokter spesialis itu sungguh sukar dicari, namun ayah tak pernah berputus asa karena membayangkan suatu saat kita bisa bermain dan bercanda bersama, dan  engkau  bisa menjadi penyejuk hati dan pelipur lara ayah, ibu dan kakakmu.
Hari keenam, Salah seorang dokter spesialis yang pernah mengoperasimu membolehkanmu keluar dari ruang ICU. Bukan main gembiranya ayah. Segera kutelepon ibumu di rumah yang lebih dulu pulang dari rumah sakit agar menyiapkan diri menyambutmu. Ayah juga telepon pamanmu agar segera mencari kambing untuk persiapan aqiqahmu, dan dalam perjalanan dari Makassar ke Pangkep itu terasa sangat singkat. Ayah tak pernah melepaskan pandangan ke wajahmu yang begitu menggemaskan sembari terus memikirkan nama yang terbaik untukmu.
Dan engkau tahu nak, saat kita tiba depan rumah di sore hari itu, engkau disambut bak pengantin yang telah lama dinantikan sekampung. Mereka tak sabar ingin menyaksikan cantik parasmu. Orang – orang se kampung itu seperti mengidolakanmu, tak henti – hentinya mereka bertanya, kenapa dan bagaimana. Dan ibumu begitu semangat memangkumu, sama semangatnya saat dia menceritakan proses kelahiranmu. Mulai saat ayah melarikan ibumu yang sudah pecah ketubannya di tengah malam gelap gulita, diatas motor yang hampir habis bensinnya.
Hampir dua jam di rumah sang bidan, dia bersama menantunya yang juga bidan itu menyerah. Katanya, proses kelahiranmu harus dengan operasi. Ayah kabari semua keluarga dekat tentang kondisi ibumu. Dan engkau tahu nak, ibumu lebih tegar dibanding ayah. Saat tiba di rumah sakit, ibumu lebih memilih untuk tidak menunggu dokter ahli kandungan yang entah dimana keberadaannya di subuh hari itu. Satu per satu perawat yang ada di ruang persalinan itu berusaha menyabarkan ibumu yang terus berkuat, berkuat dan berkuat. Sampai akhirnya jerit tangismu memecah kesunyian di ruang persalinan itu seiring gema takbir subuh mengumandang di masjid. Allahu Akbar.
Sayangku …..
Setelah lahir, engkau langsung dimasukkan ke dalam incubator yang terpisah dengan ruangan ibumu dirawat. Selama dalam perawatan suster, ibumu tak henti – hentinya menanyakan keadaanmu. Sang suster selalu menjawab bahwa segalanya baik – baik saja. Entah kenapa ayah juga sedikit khawatir dengan  keadaanmu, sehingga sedikit – sedikit mengintip dari balik jendela kaca. Ayah khawatir kamu diperlakukan tidak baik ataukah kamu bakal jadi korban bayi yang ditukar seperti banyak diceritakan dalam sinetron – sinetron tivi itu. Dari balik jendela kaca itu, ayah seperti berteriak kesetanan saat begitu banyak semut merah memasuki ruang kehidupanmu. Mendengar teriakan ayah, baru kemudian suster itu membersihkan inkubatormu.
Memasuki hari ketiga, ibumu dipindahkan dari ruang persalinan ke ruang perawatan, dan kamupun sudah dikeluarkan dari ruang incubator ke ruang yang sama, bersama ibumu, dalam dekapan hangatnya. Sekali lagi, ibumu tak henti – hentinya menanyakan kondisimu. Ia merasa belum puas sebelum suster yang merawatmu itu menjelaskan apa saja yang telah dilakukannya terhadapmu. Entah kenapa ayah punya  firasat buruk dan ibumu seakan tidak percaya dengan penjelasan sang suster. Ibumu menatapmu dengan penuh  cinta kasih, seakan ia bertanya kenapa wajahmu seperti itu nak, seperti menahan sakit yang dalam. Beberapa kali ibumu mengusap perutmu dengan sangat lembut tapi tetap saja kamu seperti menahan sakit yang perih.
Ibumu meminta ayah agar memanggil kembali sang suster itu. Dan kembali ibumu menanyakan apakah bayi mungilnya sudah keluar tai pellonya. Sang suster menjawab sekenanya, “sudah bu, bahkan saya sudah mandi dan bedakki”. Tanpa beban, suster itu berlalu.
Sayangku …..
Seiring jawaban suster itu, perutmu semakin kembung, nak. Ibumu berinisiatif melepaskan seluruh pakaian bayimu. Satu persatu dirabanya anggota tubuhmu dengan teliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan ketika ibumu meraba bagian pantatmu, seketika itu ibumu meneteskan air mata.  “Ya Allah, ada apa, kenapa ?”, tanya ayah. “Suster itu bohong”, jawabnya sambil sesenggukan. “Ya Allah, Anatta kenapa ?” tanya ayah lagi. “Anatta ….. anatta …. Anatta cacat …. “. Belum habis kata – katanya ayah melompat kesamping pembaringan ibumu. Seakan tidak percaya, ayah melihat sendiri. “Ya Allah, engkau tidak punya anus, sayang. Lubang duburmu tidak ada,  anakku”.
Ayah tidak perduli lagi suster bodoh itu. Ayah berjanji suatu saat akan mencarinya, yang paling penting adalah keselamatanmu. Cacatmu itulah yang membawa ayah ke rumah sakit terkenal di Makassar dan operasimu berjalan dengan sukses, itu yang ayah tahu. Paling tidak sampai saat kamu tiba di rumah dan kembali ke pangkuan ibumu.
Saking semangatnya ibumu cerita, ayah lupa bahwa engkau baru saja keluar dari ruang incubator dan baru lepas tiga hari paska operasi, masih perlu isolasi dan ruang segar bagi kehidupanmu sementara orang – orang sekampong itu juga tak dapat ayah tahan untuk tidak melihat, memegang tangan mungilmu atau sekedar mengelus lembut pipi montokmu.
Sayangku ….
Tujuh jam engkau berada di rumah nak, ibumu selalu berada disampingmu. Ibumu tampak begitu menikmati keindahan dan arti hadirmu.  Ibumu tampak bahagia sekali. Saking senangnya dia sendiri lupa bahwa kondisinya masih sangat lemah. “Namanya siapa, Etta ?” tanyanya kepada ayah. Maafkan ayah nak, sampai hari keenam itu memang ayah tidak menemukan nama yang pas buatmu. Entah kenapa ? Begitu banyak nama yang bertebaran diatas kepala ayah, namun  tak satupun kuanggap tepat untukmu. Tanpa menunggu jawaban namamu, ayah melihatmu memberikan senyum yang indah sekali kepada ibumu. Semenit kemudian, ibumu tiba – tiba menjerit dan menangis mendekapmu sejadi - jadinya. Darah begitu banyak keluar dari mulut dan hidungmu, nak. Wajahmu membiru. Sekujur tubuh mungilmu kaku. Seisi rumah langsung panik.
Jam dua belas malam, Ayah kembali melarikanmu ke Makassar, setelah sebelumnya rumah sakit terdekat tidak dapat berbuat apa – apa. Ibumu kularang ikut karena kondisinya masih sangat lemah. Sekujur tubuhmu sudah membiru, ayah tak henti – hentinya mencium dan mendekapmu. Ayah tak dapat menahan derai air mata saat subuh hari di rumah sakit makassar itu, para dokter saling menyalahkan atas tindakan mengeluarkanmu dari ruang ICU sehari sebelumnya. Sementara bibi dan puang nenekmu tak berani menemani ayah cerita. Dia tahu ayah marah karena menentangnya menghadirkan sanro dalam pengobatanmu.
Sayangku ….
Ayah bertahan menunggumu, dan engkau memang menemani ayah sampai maghrib hari ketujuh kelahiranmu. Engkau dikembalikan ke ruang ICU itu. Ayah histeris, memohon kepada dokter, “Jangan kembalikan kami kesana”. Ayah diabaikan. Ayah mencium bau kematian begitu dekat denganmu, nak. Ketika tim dokter tiba dan menghampirimu, engkau nampak begitu tenang, meski dokter di depan ayah begitu sadis menyedot darah dalam tubuhmu. Darah begitu cepat mengalir melalui selang kecil dari hidung dan mulutmu, nak. Selang itu begitu panjang memasuki ruang paru – paru dan jantungmu. Ayah tak tahu mereka melakukan apa. Ayah terduduk menangis sejadi – jadinya disamping inkubatormu. Ayah sempoyongan, tak tahu berada dimana.
***
“Om bangun om”. Kakak sepupumu membangunkan ayah. “Adekku sudah pergi om”, ujarnya disertai isak tangis yang dalam. Engkau mengkhianatiku, nak !
Ternyata kepulanganmu ke rumah, hanya untuk pamitan kepada ibumu. Maafkan ayah nak. Ayah merangkak, tertatih – tatih berjalan, berusaha mengungkapkan kembali kenangan itu. Ayah sadar terlambat mengungkapkan cinta, ekspresi yang nyaris terhambat oleh sandera waktu. Maafkan ayah nak, semoga kita bisa dipertemukan nanti, duhai bidadari kecilku. (**)
Keterangan :
ICU = ruang gawat darurat
tai pello = tai pertama, buang air besar pertama seorang bayi, warna tai-nya kehitaman.
anatta = anak kita
etta = panggilan kepada orang tua atau suami.
sanro = dukun

0 comments:

Posting Komentar