Selasa, 20 Desember 2011

Jejak Yahudi di Madinah (2-Habis)


Oleh, Asep Sobari Lc.


Pengkhianatan dan Konspirasi Yahudi

Dipandang dari sudut mana pun, bagi masyarakat Yahudi, kedatangan Rasulullah saw. dan kaum muslimin ke Madinah tidak menguntungkan. Keharmonisan Aus dan Khazraj adalah ancaman terbesar sejak lama, apalagi ditambah pihak ketiga yang menjadi kekuatan baru yang semakin merekatkan hubungan mereka. Masyarakat Yahudi tidak pernah dapat menghapus trauma kehadiran pihak asing yang bertentangan dengan kepentingan mereka. Eksistensi Yahudi di Madinah benar­benar diambang kehancuran.

Terlebih lagi, masyarakat Muhajirin Mekah adalah pedagang-­pedagang handal. Sejak hari­hari pertama kedatangannya, Abdurrahman bin `Auf telah menunjukkan kepiawaian dalam meraih keuntungan di pasar Bani Qainuqa` (Bukhari: no. 1908). Seiring dengan perjalanan waktu, Usman bin `Affan, Zubair bin `Awwam dan nama­nama populer lainnya dalam kancah perdagangan Arab masa itu menjadi pesaing­-pesaing baru bagi pedagang Yahudi.

Persaingan di pasar diperparah dengan kehadiran aturan­aturan baru dalam segala transaksi ekonomi yang dibuat oleh Rasulullah saw. Larangan menipu, menimbun, menjual khamr dan praktik riba, adalah diantara yang semakin mengekang sistem ‘pasar bebas’ yang berkembang sebelumnya. Khamr (arak) merupakan komoditi yang sangat potensial bagi masyarakat Yahudi. Selain menjajakan arak lokal, mereka biasa mengimpornya dari Syam.

Semua faktor di atas, selain tentu saja keyakinan dan agama, meningkatkan ketegangan antara Yahudi dan kaum muslimin. Beberapa fakta membuktikan adanya usaha individu ataupun kolektif kelompok Yahudi untuk memicu perselisihan hingga perang besar­ besaran.

a. Benih-­benih Pengkhianatan

Ibn Ishaq meriwayatkan, Syas bin Qais, seorang sesepuh Yahudi melewati sekelompok pemuda Aus dan Khazraj yang sedang berkumpul. Mereka terlibat perbincangan yang hangat dan akrab. Pemandangan ini membakar hati Syas, maka segera ia suruh seorang pemuda Yahudi untuk ikut dalam pembicaraan tersebut dengan mengingatkan mereka kepada peristiwa kelam di masa lalu, perang Bu`ats yang telah menelan korban tokoh­ tokoh besar Aus dan Khazraj.

Kehangatan segera berubah menjadi ketegangan. Kedua kelompok Anshar tersebut nyaris saja baku hantam, bahkan terlibat pertumpahan darah, jika saja Rasulullah saw. tidak segera datang dan melerai. (Ibn Hisyam: 553­554).

Kasus Ka`b bin Asyraf, tokoh terkemuka Bani Nadhir, merupakan model paling krusial penaburan benih pengkhiantan dalam skala individu. Kelihaian menggubah puisi, media propaganda paling efektif masa itu, menempatkan Ka`b dalam posisi yang sangat membahayakan. Setelah kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar, Ka`b menunjukkan permusuhannya secara terbuka. Ia segera pergi ke Mekah untuk mengucapkan simpati dan bela sungkawa atas terbunuhnya pembesar-­pembesar Quraisy di Badar dalam rangakaian puisi yang menyayat hati. Tidak cukup disitu, ia juga mengobarkan semangat Quraisy untuk segera melupakan kekalahan dan menyiapkan pembalasan yang jauh lebih hebat (al­Shallabi: 2/56­58).

b. Konspirasi Yahudi

Bani Qainuqa` adalah klan Yahudi yang lebih dulu menunjukkan aksi pengkhianatan kolektif terhadap kesepakatan Piagam Madinah. Kemenangan kaum muslimin di Badar membuka mata mereka, bahwa kekuatan dan dominasi kaum muslimin di Madinah menjadi kenyataan. Bagi Bani Qainuqa', ketergantungan ekonomi kepada mekanisme pasar yang mereka kuasai tidak lagi menggairahkan seperti dahulu.

Tampaknya benih pengkhiantan kolektif Bani Qainuqa` telah tercium oleh Rasulullah saw. Menurut Abu Dawud, beberapa saat setelah kembali dari Badar, Rasulullah saw. mengumpulkan Bani Qainuqa` di pasar mereka untuk memberi peringatan. Namun juru bicara Bani Qainuqa` malah menjawab, “Hai Muhammad! Jangan pernah merasa bangga hanya karena berhasil membunuh segelintir orang­orang Quraisy yang tidak pandai berperang itu. Seandainya kami yang menjadi lawanmu, engkau baru akan tahu, kamilah tandinganmu yang sebenarnya. Dan, engkau tidak akan banyak berkutik melawan kami”. (al­Mubarakfuri: 226)

Sebatas perlawanan verbal, Rasulullah saw. hanya melihatnya sebagai indikator pengkhianatan. Tapi setelah terjadi kasus pelecehan wanita muslim di pasar Bani Qainuqa` yang disusul dengan pembunuhan lelaki muslim yang membelanya, Rasulullah saw. mengepung Bani Qainuqa` lalu mengusir mereka dari Madinah. Pembunuhan Ka`b bin Asyraf dan pengusiran Bani Qainuqa` dari Madinah cukup meredam gejolak pengkhianatan klan Yahudi lainnya. Tapi kekalahan kaum muslimin dalam perang Uhud dan tragedi Bi’r Ma`unah menumbuhkan kepercayaan diri Yahudi. Bani Nadhir, klan yang paling kuat saat itu, berkhianat. Diawali dengan memberi perlindungan kepada Abu Sufyan saat melakukan oprasi militer (Perang Sawiq) ke Madinah (Ibn Ishaq: 108).

Pelanggaran terhadap salah satu pasal Piagam Madinah tersebut disusul dengan pelanggaran lain. Bani Nadhir tidak bersedia menanggung biaya diyat (denda pembunuhan) yang seharusnya dipikul bersama. Bahkan lebih jauh lagi, mereka menyusun rencana pembunuhan Nabi saw. (al­`Umari: 146). Rencana busuk itupun terbongkar, sehingga Rasulullah saw. segera mengumumkan ultimatum pengusiran Bani Nadhir dari Madinah.

Mulanya Bani Nadhir berusaha bertahan karena Abdullah bin Ubay, pemimpin kelompok Munafik menjanjikan bantuan (al­Mubarakfuri: 280), tapi kemudian menyerah dan terpaksa meninggalkan Madinah setelah dikepung selama 15 hari. Pada dasarnya, mereka diusir ke Syam, tapi sejumlah tokoh penting Bani Nadhir seperti Huyay bin Akhthab, Salam bin Abi al­Huqaiq dan Kinanah bin Rabi` memutar haluan menuju Khaibar, koloni Yahudi terkuat di Hijaz. (al­Umari: 149).

c. Kelihaian Lobi Yahudi; Kasus Perang Ahzab

Ahzab adalah aliansi sejumlah klan Arab besar yang meliputi Quraisy, Ahbasy, Ghathafan bersama sekutunya. Mereka melakukan kesepakatan dengan Yahudi untuk menyerang Madinah. Perang Ahzab yang mencatat rekor fantastik dalam sejarah peperangan Arab saat itu, sebenarnya bisa dikatakan sebagai bukti kelihaian lobi Yahudi. Para sejarawan mengungkapkan, provokator perang Ahzab adalah sebuah tim kecil yang dibentuk di Khaibar dan dipimpin oleh kalangan elit Bani Nadhir, yaitu Sallam bin Abi al­Huqaiq, Huyay bin Akhthab, Kinanah bin Rabi`, Haudzah bin Qais dan Abu `Ammar (al­Shallabi: 2/256). Pembentukan tim ini tentu disetujui oleh tokoh­tokoh Yahudi Khaibar sendiri dengan target yang sangat besar, menggalang kekuatan Arab dalam satu pasukan terpadu untuk menyerang Madinah.

Sasaran tim yang paling realistis adalah dua kabilah Arab, Quraisy dan Ghathafan. Selain merupakan kabilah besar dan memiliki sekutu yang loyal, keduanya memiliki kepentingan langsung dengan Madinah. Menggalang dukungan Quraisy tentu lebih mudah, karena permusuhan mereka dengan Madinah sudah cukup menjadi pemicu utama. Tapi para provokator ini menambahkan dukungan moral yang tidak kecil, yakni memberi pengakuan bahwa agama Quraisy lebih baik daripada agama Muhammad saw.

Allah swt. mengecam pragmatisme murahan Yahudi ini dalam surah al­Nisa’: 51­52: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-­orang yang diberi bagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-­orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang­orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali­kali tidak akan memperoleh penolong baginya”.

Sedangkan untuk meraih dukungan Ghathafan, tim Yahudi melakukan kontrak kesepakatan dengan kabilah besar Najed tersebut dalam dua pasal yang saling menguntungkan; 1). Ghthafan harus menghimpun pasukan sebanyak 6000 orang; 2). Yahudi akan membayar klan­klan Ghathafan yang bergabung dalam pasukan tersebut dengan seluruh hasil panen kurma Khaibar dalam setahun (al­Shallabi: 2/257).

Lobi Yahudi ini berhasil dengan gemilang. Kabilah­kabilah Arab yang telah melakukan kesepakatan itu berdatangan ke Madinah dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki. Tidak tanggung-­tanggung, jumlah mereka mencapai 10.000 pasukan. Jumlah yang disebut al­Mubarakfuri sebagai catatan rekor fantastis dalam sejarah kemiliteran Arab pada masa itu.

Merasa tidak cukup dengan menggalang kekuatan Arab. Huyay bin Akhthab berusaha keras membujuk klan Yahudi terakhir yang masih berada di Madinah dan mentaati kesepakatan Piagam Madinah, Bani Quraizhah, untuk mendukung logistik Ahzab dan menggerogoti kekuatan Madinah dari dalam. Lobi inipun akhirnya berhasil. Quraizhah berkhianat, sehingga Madinah semakin terjepit (al­Mubarakfuri: 293). Namun dengan strategi yang jitu dan pertolongan Allah swt., akhirnya kaum muslimin berhasil keluar dari medan perang sebagai pemenang.

Dengan pengkhianatan Bani Quraizhah, habislah kekuatan Yahudi di Madinah. Rasulullah saw. menghukum meraka sebagai pengkhianat perang, semua laki­laki Bani Quraizhah yang terlibat perang dipancung, anak-­anak dan wanita ditawan, dan harta benda mereka dirampas (al­Mubarakfuri: 301).

Setelah itu, kekuatan Yahudi yang signifikan hanya tersisa di Khaibar. Di tempat inilah tersimpan potensi ancaman yang tidak dapat diremehkan. Selain menjdai rahim yang melahirkan provokasi Ahzab, Khaibar memiliki benteng-­benteng yang kuat dan letaknya sangat strategis karena berada di persimpangan jalan yang menghubungkan daerah timur dan selatan Jazirah Arab.

Rasulullah saw. harus konsentrasi penuh guna melumpuhkan kekuatan Khaibar. Gencatan senjata yang disepakati dengan Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah pada tahun 6 H menjadi momentum yang sangat tepat. Beberapa saat setelah itu Rasulullah saw. langsung melancarkan serangan besar­besaran ke Khaibar dan menang. Masyarakat Yahudi Khaibar yang kebanyakannya petani tidak diusir dari daerah tersebut, melainkan diizinkan tinggal untuk mengelola kebun­kebun Khaibar dan berbagi hasil dengan para pemilik barunya, kaum muslimin.

Penutup

Demikianlah sekelumit gambaran kehidupan masyarakat Yahudi, terutama di Madinah, dan persentuhan mereka dengan kaum muslimin pada permulaan sejarah Islam. Penyimpangan dari ajaran Taurat yang mengkristal dalam nilai dan sistem yang mendasari kehidupan sosial, ekonomi dan politik, berakibat pada penolakan mereka terhadap ajaran Islam.

Namun demikian, bukan berarti seluruh masyarakat Yahudi menolak Islam. Sejarah mencatat bebarapa individu Yahudi memeluk Islam saat itu. Diantaranya Abdullah bin Salam dan keluarganya dari Bani Qainuqa`(Ibn Hisyam: 516) 1 ; Yamin bin `Amr dan Abu Sa`d bin Wahb dari Bani Nadhir (al­`Umari: 149); dan `Athiyyah al­Qurazhi, Abdurrahman bin Zubair bin Batha, Rifa`ah bin Samuel dan beberapa orang lagi dari Bani Quraizhah (al­Mubarakfuri: 302). (Habis/inpas)

*Penulis adalah Peneliti INSISTS dan Alumni Universitas Islam Madinah

sumber

0 comments:

Posting Komentar