Selasa, 20 Desember 2011

“Acik…!” Kau Selalu di Hatiku

Dear Acik…..!

Maafkan aku yang telah membuat hatimu remuk. Aku tahu kau tak mampu membayangkan apa yang diceritakan oleh Pak RT. Semua yang dikatakannya benar. Namun ijinkan aku menjelaskan semuanya. Aku bukannya mencari pembenaran, tapi agar kau tahu yang sesungguhnya. Aku juga tak menyangka hanya karena menolong seseorang telah membuat hati orang lain meragu terhadapku.

Aku dan mbak Lia tak ada hubungan apa-apa. Itu terjadi hanya karena rumah kami searah, waktu itu mbak Lia tak ada tumpangan ke Kantor Desa untuk acara bakti sosial. Aku takut mbak Lia jatuh, karena jalan di desa kita banyak yang berlubang, maka aku minta dia berpegangan. Aku tak menyangka ternyata mbak Lia malah merangkul di perut, dan itu berlanjut sampai tiba di Kantor Desa. Mbak Lia telah kuanggap saudara seperti yang lainnya, dan aku tak ada perasaaan apa-apa, apalagi akan jatuh hati.

Semua yang ikut bakti sosial melihat peristiwa itu. Namun tak sedikitpun terpancar di wajahku romantisme dan kemesraan dengan mbak Lia. Semua yang kulakukan semata-mata ingin menolong sesama. Salahkah aku menolak seseorang yang butuh pertolongan?

Kau telah termakan gosip Pak RT. Kalau kau masih tak percaya, tanyakan semuanya sama Bunda Selsa, mbak Jingga, atau Mommy, apa dan siapa aku sesungguhnya.

Acik sayang….!

Jadi.., karena kejadian itu yang membuatmu sakit hati dan ragu, sehingga tak mau membalas suratku?

Ketahuilah…, aku tak gampang jatuh cinta, karena aku sudah pernah gagal dalam cinta yang menyakitkan. Cinta yang telah membuyarkan semua mimpi dalam hidupku, bahkan telah kuanggap mati. Setelah kujelajahi dunia ini, kaulah yang telah mampu membuat mekar semua hasrat yang telah lama menguncup di hati ini. Kalau aku mau, aku bisa pacari semua gadis di desa ini, tapi itu bukan sifatku.

Aku tak mau, tak ada niat, dan tak ingin berpura-pura. Apa yang sempat kukatakan padamu tempo hari tak bisa dialihkan, itu takkan berubah dan takkan pudar sampai kapanpun. Aku telah begitu jauh terdampar di sini karena riak senyummu. Jangan kau hempaskan kembali oleh gelombang keraguanmu.

Telah seminggu aku hanya bisa melukismu di atas daun-daun perak kehidupanku. Kau telah kuukir dalam pualam bening di hatiku. Di sana terukir satu kalimat pendek yang belum sempat terucap kepada siapapun sebelumnya: “Kau Selalu Di Hatiku”

.

0 comments:

Posting Komentar