PRAKATA
MUHAMMAD, 'alaihi'sh-shalatu  wassalam
Dengan nama yang begitu mulia, jutaan bibir setiap hari mengucapkannya, jutaan jantung setiap saat berdenyut, berulang kali. Bibir dan jantung yang bergerak dan berdenyut sejak seribu tiga ratus limapuluh tahun. Dengan nama yang begitu mulia, berjuta bibir akan terus mengucapkan, berjuta jantung akan terus berdenyut, sampai akhir zaman
Pada setiap hari di kala fajar menyingsing, lingkaran-lingkaran putih di ufuk sana  mulai  nampak  hendak  menghalau kegelapan malam, ketika itu seorang muazzin bangkit, berseru kepada setiap makhluk insani, bahwa bangun bersembahyang lebih baik daripada terus tidur. Ia mengajak mereka bersujud kepada Allah,  membaca selawat buat Rasulullah.
Seruan ini disambut oleh ribuan, oleh jutaan umat manusia dari segenap penjuru bumi, menyemarakkannya dengan salat menyambut pahala dan rahmat Allah bersamaan dengan terbitnya hari baru. Dan bila hari siang, mataharipun berangkat pulang, kini muazzin bangkit menyerukan orang bersembahyang lohor, lalu salat asar, magrib, isya. Pada setiap kali dalam sembahyang ini mereka menyebut Muhammad, hamba Allah, Nabi dan RasulNya itu, dengan penuh permohonan, penuh kerendahan hati dan syahdu. Dan selama mereka dalam rangkaian sembahyang lima waktu itu, bergetar jantung mereka menyebut asma Allah dan menyebut nama Rasulullah. Begitulah mereka, dan akan begitu mereka, setelah Allah memperlihatkan agama yang sebenarnya  ini  dan  melimpahkan  nikmatNya  kepada  seluruh  umat  manusia.
Lingkungan  Kekuasaan  Islam  Yang  Pertama
Tidak  banyak  waktu  yang diperlukan Muhammad dalam menyampaikan ajaran agama, dalam menyebarkan  panjinya  ke penjuru dunia. Sebelum wafatnya, Allah telah menyempurnakan agama ini bagi kaum Muslimin. Dalam pada itu iapun telah meletakkan landasan penyebaran agama itu: dikirimnya misi kepada Kisra1, kepada Heraklius dan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa lain supaya mereka sudi menerima Islam. Tak sampai seratus limapuluh tahun sesudah itu, bendera Islampun sudah berkibar sampai ke Andalusia di Eropa sebelah barat, ke India, Turkestan, sampai ke Tiongkok di Asia Timur, juga telah sampai ke Syam (meliputi Suria, Libanon, Yordania dan Palestina sekarang), Irak, Persia dan Afganistan, yang semuanya sudah menerima Islam. Selanjutnya negeri-negeri Arab dan kerajaan Arab, sampai ke Mesir, Cyrenaica, Tunisia, Aljazair, Marokko, -sekitar Eropa dan Afrika- telah dicapai oleh misi Muhammad 'alaihissalam. Dan sejak waktu itu sampai masa kita sekarang ini panji-panji  Islam  tetap berkibar di semua daerah itu, kecuali Spanyol yang kemudian diserang oleh Kristen dan penduduknya disiksa dengan bermacam-macam cara kekerasan. Tidak tahan lagi mereka hidup. Ada di antara mereka yang kembali ke  Afrika, ada pula yang karena takut dan ancaman, berbalik agama berpindah  dari  agama  asalnya  kepada  agama  kaum  tiran  yang  menyiksanya.
Hanya saja apa yang telah diderita Islam di Andalusia sebelah barat Eropa itu ada juga gantinya tatkala kaum Usmani (Turki) memasukkan dan memperkuat agama Muhammad di Konstantinopel. Dari sanalah ajaran Islam itu kemudian menyebar ke Balkan, dan memercik pula sinarnya sampai ke Rusia dan Polandia sehingga berkibarnya  panji-panji Islam  itu  berlipat ganda luasnya daripada yang di Spanyol.
Sejak dari semula Islam tersebar hingga masa kita sekarang ini memang belum ada  agama-agama lain yang dapat mengalahkannya. Dan kalaupun ada di antara umat Islam yang ditaklukkan, itu hanya karena adanya berbagai macam kekerasan, kekejaman dan despotisma, yang sebenarnya malah menambah kekuatan iman mereka kepada Allah, kepada hukum Islam, dengan memohonkan rahmat dan ampunan daripadaNya.
Islam  dan  Nasrani
Kekuatan inilah yang telah menyebabkan Islam itu tersebar, telah dikonfrontasikan langsung dengan pihak Nasrani yang menghadapinya dengan sikap permusuhan yang sengit sekali. Muhammad telah berhasil melawan paganisma dan mengikisnya dari negeri-negeri Arab, seperti juga yang kemudian dilakukan oleh para penggantinya yang mula-mula, di Persia, di Afganistan dan tidak sedikit pula di India. Pengganti-pengganti Muhammad telah dapat juga mengalahkan kaum Nasrani di Hira, di Yaman, Syam, Mesir dan sampai ke pusat Nasrani sendiri di Konstantinopel.
Seperti  halnya  dengan  paganisma, adakah juga terhadap agama Nasrani akan senasib mengalami kelenyapan sebagai salah satu agama Kitab yang juga dihormati oleh Muhammad dan yang juga mendapat wahyu melalui Nabinya? Adakah orang-orang Arab itu, Arab pedalaman yang datang merantau dari pelosok jazirah padang  pasir  yang gersang, akan ditakdirkan juga menguasai taman-taman Andalusia, Bizantium dan daerah-daerah Masehi lainnya? Lebih baik mati daripada itu. Selama beberapa abad terus-menerus antara pengikut-pengikut Isa dan pengikut-pengikut Muhammad telah terjadi peperangan yang terus-menerus. Dan peperangan itu tidak terbatas pada pedang dan meriam saja, malah juga diteruskan sampai ke bidang-bidang perdebatan dan pertentangan teologis yang dibawa oleh pejuang-pejuang  itu,  masing-masing atas nama Muhammad dan atas nama Isa, masing-masing  mencari  jalan mempengaruhi  umum  dan beragitasi membangkitkan fanatisma  dan  semangat  rakyat  jelata.
Kaum  Muslimin  dan  Isa
Akan tetapi Islam melarang kaum Muslimin merendahkan kedudukan Isa - karena dia hamba Allah yang diberiNya kitab dan dijadikanNya seorang nabi, dijadikanNya  ia orang yang beroleh berkah di mana pun ia berada, diperintahkanNya ia  melakukan  sembahyang,  mengeluarkan  zakat selama ia masih hidup, dijadikanNya ia orang yang berbakti kepada ibunya, dan tidak pula dijadikan orang yang  pongah  dan  celaka.  Bahagia  ia  tatkala  dilahirkan, tatkala ia wafat dan tatkala ia  dibangkitkan  hidup  kembali.
Orang-Orang Kristen Yang Fanatik Dan Muhammad
Sedang dari pihak kaum Masehi, banyak di antara mereka itu yang menyindir-nyindir Muhammad dan menilainya dengan sifat-sifat yang tidak mungkin dilakukan oleh kaum terpelajar - untuk melampiaskan rasa kebencian yang ada dalam hati mereka  serta  beragitasi  membangkitkan emosi orang. Meskipun ada dikatakan bahwa  perang  salib itu sudah berakhir sejak ratusan tahun yang lalu, namun fanatisma gereja Kristen terhadap Muhammad mencapai puncaknya sampai pada waktu-waktu belakangan ini. Dan barangkali masih tetap demikian kalau tidak akan dikatakan malah bertambah, sekalipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, berselubung misi dengan pelbagai macam cara. Hal ini tidak terbatas hanya pada gereja saja bahkan sampai juga kepada penulis-penulis dan ahli-ahli pikir Eropa dan Amerika,  yang  dapat  dikatakan  tidak  seberapa  hubungannya  dengan  pihak gereja.
Bisa jadi orang merasa heran bahwa fanatisma Kristen terhadap Islam masih begitu keras pada suatu zaman yang diduga adalah zaman cerah dan zaman ilmu pengetahuan, yang berarti juga zaman toleransi dan kelapangan dada.  Dan orang akan lebih heran lagi apabila mengingat kaum Muslimin yang mula-mula, betapa mereka merasa gembira melihat kemenangan kaum Kristen begitu besar terhadap kaum  Majusi (Mazdaisma), melihat kemenangan pasukan Heraklius merebut panji-panji Persia dan dapat melumpuhkan tentara Kisra. Masa itu Persia adalah yang memegang tampuk pimpinan di seluruh jazirah Arab bagian selatan, sesudah Kisra dapat mengusir Abisinia dari Yaman. Kemudian Kisra mengerahkan pasukannya pada tahun 614 di bawah salah seorang panglimanya yang bernama Syahravaraz2 untuk menyerbu Rumawi, dan dapat mengalahkannya ketika berhadap-hadapan di Adhri'at3 dan di Bushra4, tidak jauh dari Syam ke negeri Arab. Mereka banyak yang terbunuh, kota-kota  mereka  dihancurkan,  kebun-kebun  zaitun  dirusak.
Pada waktu itu Arab, terutama penduduk Mekah mengikuti berita-berita perang itu dengan penuh perhatian. Kedua kekuatan yang sedang bertarung itu merupakan peristiwa  terbesar  yang pernah dikenal dunia pada masa itu. Negeri-negeri Arab ketika itu menjadi tetangga-tetangganya. Sebahagian berada di bawah kekuasaan Persia, dan sebahagian lagi berbatasan dengan Rumawi. Orang-orang kafir Mekah bergembira sekali melihat kekalahan kaum Kristen itu; sebab mereka juga Ahli Kitab seperti kaum Muslimin.  Mereka berusaha mengaitkan tercemarnya kekalahan Kristen itu  dengan  agama  kaum  Muslimin.
Sebaliknya  pihak  Muslimin  merasa sedih sekali karena pihak Rumawi juga Ahli Kitab seperti mereka. Muhammad dan sahabat-sahabatnya tidak mengharapkan kemenangan pihak Majusi dalam melawan Kristen.  Perselisihan kaum Muslimin dan kaum  kafir  Mekah  ini  sampai  menimbulkan  sikap  saling  berbantah dari kedua belah pihak. Kaum kafirnya mengejek  kaum  Muslimin, sampai ada di antara mereka itu yang menyatakan kegembiraannya di depan Abu Bakr dan Abu Bakrpun sampai marah dengan mengatakan: Jangan lekas-lekas gembira; pihak Rumawi akan mengadakan  pembalasan.
Abu Bakr adalah orang yang terkenal tenang dan lembut hati. Mendengar jawaban itu pihak kafir membalasnya dengan ejekan pula: Engkau pembohong. Abu Bakr marah: Engkaulah musuh Tuhan yang pembohong! Hal ini disertai dengan taruhan sepuluh ekor unta bahwa pihak Rumawi akan mengalahkan kaum Majusi dalam waktu setahun. Muhammad mengetahui adanya peristiwa taruhan ini, lalu dinasehatinya  Abu  Bakr,  supaya taruhan itu ditambah dan waktunyapun diperpanjang.  Abu  Bakr  memperbanyak  jumlah  taruhannya sampai seratus ekor unta  dengan  ketentuan,  bahwa  Persia  akan  dapat dikalahkan dalam waktu kurang dari  sembilan  tahun.
Dalam tahun 625 ternyata Heraklius menang melawan pihak Persia. Syam direbutnya  kembali  dan  Salib Besar dapat diambil lagi. Dalam taruhan ini Abu Bakrpun menang. Sebagai nubuat atas kemenangan ini firman Tuhan turun seperti dalam awal Surah ar-Rum: "Alif Lam Mim. Kerajaan Rumawi telah dikalahkan. Di negeri terdekat. Dan mereka, sesudah kekalahan itu, akan mendapat kemenangan. Dalam beberapa  tahun  saja.  Di tangan  Tuhan  keputusan itu.  Pada masa lampau, dan masa akan datang. Pada hari itu orang-orang beriman akan bergembira. Dengan pertolongan Allah; Ia menolong siapa yang dikehendakiNya. Maha Mulia Ia dalam Kekuasaan dan Maha Penyayang. Demikian janji Allah. Allah takkan menyalahi janjiNya.  Tetapi  kebanyakan  orang  tidak  mengerti."    (QS, 30:1-6)
Besar sekali kegembiraan kaum Muslimin atas kemenangan Heraklius dan kaum Nasrani itu. Hubungan persaudaraan antara mereka yang menjadi pengikut Muhammad  dan  mereka  yang  percaya  kepada  Isa, selama hidup Nabi, besar sekali, meskipun antara keduanya sering terjadi perdebatan. Tetapi tidak demikian halnya kaum Muslimin dengan pihak Yahudi, yang pada mulanya bersikap damai, lambat-laun telah menjadi permusuhan  yang  berlarut-larut, yang sampai meninggalkan bekas berdarah dan membawa akibat keluarnya orang-orang Yahudi dari seluruh jazirah Arab.  Kebenaran atas kejadian ini ialah firman Tuhan: "Pasti akan kaudapati  orang-orang  yang paling keras memusuhi mereka yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik; dan pasti akan kaudapati orang-orang yang paling akrab bersahabat dengan mereka yang beriman ialah mereka yang berkata: 'Kami ini orang-orang Nasrani.' Sebab, di antara mereka terdapat kaum pendeta  dan  rahib-rahib,  dan  mereka  itu  tidak  menyombongkan  diri."   (QS, 5:82)
Dasar-dasar  yang  Sederhana  dalam  Kedua  Agama
Kemudian  kita melihat kedua agama ini mempunyai konsepsi tentang hidup dan akhlak yang dapat dikatakan sama. Keduanya memandang manusia dan awal mula penjadiannya sama: Allah menciptakan Adam dan Hawa dan keduanya ditempatkan dalam surga, kemudian diwahyukan jangan mereka mendengarkan godaan setan. Tetapi mereka makan juga (buah) dari pohon itu, maka merekapun keluar dari surga. Setan yang tak mau tunduk kepada Adam, adalah musuh mereka - sebagaimana  diwahyukan  Allah kepada Muhammad - dan yang tidak mau menyucikan kalimat Allah, menurut kitab-kitab SUCI kaum Nasrani. Setan memperdayakan Hawa dan membujuknya. Lalu Hawapun membujuk Adam dan keduanya sama-sama makan dari Pohon Abadi itu. Karena itu, maka tampaklah aurat mereka.  Merekapun  minta  ampun  kepada  Tuhan dan Tuhan mengirimkan mereka ke bumi,  yang  akan  jadi  saling  bermusuhan di antara sebagian keturunan mereka, dan  yang  akan  diperdayakan  setan, sehingga akan ada golongan yang sesat dan ada  pula  yang  akan  melawan  kehancuran itu.
Untuk  memperkuat  perjuangan manusia melawan godaan dosa itu, Tuhan telah mengutus Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi yang lain, dan kepada setiap rasul itu disertakan pula kitab (wahyu) menurut bahasa masyarakat lingkungan guna memperkuat apa yang datang dari Tuhan dan memberi penerangan kepada mereka. Sebagaimana juga di pihak setan ada barisan yang membela nafsu kejahatan, juga para malaikat memuja dan menguduskan kesucian Tuhan. Masing-masing mereka itu saling berselisih menghadapi hidup dan alam ini sampai Hari Kebangkitan, tatkala setiap  jiwa  kelak  akan  memperoleh  hasil sesuai dengan apa yang dikerjakannya, dan  takkan  ada  seorang  teman  akrabpun  yang  sudi  menanyakan  teman  lainnya.
Perbedaan Tauhid dan Trinitas
Akan kita lihat dalam Qur'an  yang  telah  menyebutkan  Isa  dan Mariam dengan penghormatan serta penghargaan yang demikian rupa dari Tuhan sehingga kitapun karenanya  turut  bersimpati pula, terbawa oleh rasa persaudaraan. Tetapi apa yang menyebabkan kita lalu bertanya?: Kalau begitu, kenapa kaum Muslimin dan Kristen selama  berabad-abad terus bermusuhan dan berperang? Jawaban atas pertanyaan ini ialah, bahwa antara ajaran-ajaran Islam dan Kristen itu terdapat perbedaan asasi yang menjadi suatu sebab perdebatan hebat semasa Nabi, sekalipun perdebatan demikian itu tidak sampai melampaui batas permusuhan dan kebencian. Kaum Kristen tidak mengakui kenabian Muhammad seperti Islam yang mengakui kenabian Isa; Kristen berlandaskan Trinitas, sedang Islam samasekali menolak, selain Tauhid. Kaum Kristen menuhankan Isa, dan berpegang pada argumentasi ketuhanannya itu bahwa dia sudah berbicara sejak di dalam buaian serta memperlihatkan mujizat-mujizat yang tak dapat dilakukan oleh yang lain; suatu hal yang  sebenarnya  hanya  dapat  dilakukan  oleh  Tuhan.
Kaum Nasrani Mengajak Nabi Berdebat
Pada masa permulaan Islam mereka mendebat kaum Muslimin tentang itu dengan menggunakan Quran, dengan berkata: Bukankah Quran yang diturunkan kepada Muhammad itu mengakui pendapat kami ketika berkata: "Dan tatkala para malaikat berkata: 'Aduhai Mariam, Tuhan menyampaikan berita gembira kepadamu dengan Firman Tuhan: namanya Isa al Masih anak Mariam, orang terpandang di dunia dan di akhirat dan termasuk orang yang dekat (kepada Tuhan). Ia akan berbicara dengan  orang  semasa ia anak-anak dan sesudah dewasa dan ia tergolong orang yang baik-baik.' Kata (Mariam)-nya: 'Tuhan, dari mana saya akan mendapatkan anak, padahal tak ada orang yang menyentuhku.' Ia (Tuhan) berkata: 'Begitulah, Tuhan mencipta menurut kehendakNya. Jika ia memutuskan sesuatu, Ia hanya berkata: Jadilah, maka  iapun jadi. Dan ia mengajarkan Kitab kepadanya, hikmah kebijaksanaan, Taurat dan Injil. Dan ia diutus menjadi Rasul bagi Keluarga Israil: 'Aku datang  kepadamu  membawa  sebuah  Bukti  dari  Tuhanmu.  Kuciptakan dari tanah liat  bentuk  serupa  burung.  Kutiup  ia lalu  ia  menjadi seekor burung dengan ijin Allah, dan aku dapat menyembuhkan orang buta dan berpenyakit kusta serta menghidupkan orang mati dengan ijin  Allah.  Akupun dapat memberitahukan kepadamu  apa  yang  kamu makan dan apa yang kamu simpan dalam rumahmu. Itulah  suatu  bukti  bagimu  bila  kamu  orang-orang  yang  beriman."   (QS, 3:45-49)
Jadi Qur'an menegaskan, bahwa ia menghidupkan orang mati, menyembuhkan  orang  buta asal dari kelahiran, menyembuhkan kusta, dan dari segumpal tanah dijadikannya seekor burung dan dapat membuat ramalan dan semua ini adalah merupakan sifat-sifat Ilahiah. Inilah pandangan kaum Nasrani masa Nabi, yang dijadikan mereka bahan argumentasi  dan  mengajaknya berdebat dengan pendirian, bahwa Isa juga Tuhan di samping Allah. Dan ada lagi segolongan mereka itu yang berpendirian menuhankan Mariam karena Allah telah menurunkan SabdaNya kepadanya. Pendirian kaum Nasrani yang demikian pada masa itu  menganggap  Mariam  satu dari tiga dalam Trinitas Bapa, Anak dan Ruh Kudus. Mereka yang berpendirian dengan menuhankan Isa dan ibunya itu hanya merupakan satu sekte dari sekian banyak sekte-sekte Nasrani yang bermacam-macam dan terpencar-pencar itu.
Orang-orang Nasrani seluruh jazirah Arab dengan alirannya yang bermacam-macam itu mengajak Muhammad berdebat menurut dasar mazhab mereka. Kata mereka Almasih itu ialah Allah, dia anak Allah; kata mereka dia adalah satu dari tiga dalam Trinitas. Mereka yang berpendapat pada ketuhanan Isa itu berpegang pada argumentasi  yang  disebutkan di atas.  Argumentasi  yang mengatakan bahwa dia anak Allah, sebab bapanya tidak diketahui orang, dan dia berbicara dalam buaian semasa anak-anak, yang tak pernah terjadi pada siapapun dari anak Adam. Argumentasi yang mengatakan bahwa dia satu dari tiga dalam Trinitas, sebab Allah berkata: Kami  perintahkan,  Kami  jadikan  dan  Kami  tentukan.  Kalau  hanya  Satu tentu berkata: Aku perintahkan, Aku jadikan dan Aku tentukan. Muhammad mendengarkan semua tanggapan mereka itu, dan mengajaknya berdiskusi dengan cara yang lebih  baik.  Dalam perdebatan itu ia tidak begitu keras seperti terhadap kaum musyrik dan penyembah berhala. Bahkan  dikemukakannya argumen itu berdasarkan  wahyu  dengan cara yang logis dan sebagaimana yang diterangkan dalam kitab-kitab mereka. Allah berfirman: "Sebenarnya mereka telah melakukan penghinaan (terhadap Tuhan), mereka yang mengatakan, bahwa Allah ialah Isa Al-Masih  anak Mariam.  Katakan: Siapakah yang dapat merintangi jika Ia hendak membinasakan  al-Masih  anak Mariam serta ibunya dan setiap orang yang ada di muka  bumi  ini semua?  Kerajaan  langit  dan  bumi serta segala yang ada di antara itu, adalah milik Allah. Ia menciptakan apa yang ada di antara itu, dan Allah Maha Kuasa atas segalanya. Orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata: Kami adalah anak-anak Allah dan yang dicintaiNya. Katakan: Mengapa Ia menyiksamu karena dosa-dosamu itu? Sebenarnya kamupun manusia, seperti yang pernah diciptakanNya. Ia mengampuni siapa saja yang dikehendakiNya dan Ia menghukum siapa saja yang dikehendakiNya.  Kerajaan   langit  dan bumi serta segala yang ada di antara itu, adalah  milik  Allah.  Dan kepadaNyalah kembali sebagai tujuan terakhir." (QS, 5:17-18)
"Sebenarnya mereka telah melakukan penghinaan (terhadap Tuhan), mereka yang  mengatakan,  bahwa  Allah  itu al-Masih anak Mariam. Bahkan  Al-Masih  berkata: Hai anak-anak Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Barangsiapa mempersekutukan  Allah,  Allah  akan  mengharamkan   surga  baginya  dan  tempatnya  adalah api neraka. Orang-orang teraniaya itu takkan punya pembela. Sebenarnya mereka telah  melakukan  penghinaan  (terhadap Tuhan) mereka yang mengatakan,  bahwa  Allah  adalah  satu  dari  tiga  dalam  Trinitas. Tak ada tuhan kecuali Tuhan Yang Satu. Apabila tidak mau juga mereka berhenti (menghina Tuhan), pasti mereka yang telah merendahkan (Tuhan), itu akan dijatuhi siksaan yang memedihkan." (QS, 5:72-73)
"Dan ingat ketika Allah berkata: Hai Isa anak Mariam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang: mengangkatku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah? Ia menjawab: Maha Suci Engkau, tidak akan aku mengatakan yang bukan menjadi hakku. Kalaupun aku mengatakannya, tentu Engkau sudah mengetahuinya. Engkau mengetahui  apa  yang  ada  dalam  hatiku,  tapi  aku  tidak mengetahui apa yang ada di dalam Dirimu. Maha Mengetahui Engkau atas segala yang gaib. Tak ada yang kukatakan  kepada  mereka,  selain  daripada  yang  Kauperintahkan  kepadaku; supaya  mereka  menyembah  Allah,  Tuhanku  dan Tuhanmu, dan akulah saksi mereka selama aku berada  di tengah-tengah  mereka. Tetapi setelah Kauwafatkan aku, Engkau Pengawas mereka dan Engkau pula yang menyaksikan segala sesuatu. Kalau Engkau siksa mereka, mereka adalah hamba-hambaMu, kalaupun Engkau ampuni  mereka,  Engkau Penguasa Maha Mulia dan Bijaksana." (QS, 5:116-118)
Pandangan Nasrani adalah Trinitas dan Isa adalah anak Allah. Sedangkan Islam menolak semua itu dengan tegas sekali, menolak bahwa Tuhan mempunyai anak. "Katakan: 'Allah itu Satu. Allah itu abadi dan mutlak. Tidak beranak dan tidak diperanakkan.  Dan tiada satu apa pun yang menyerupai-Nya." (QS, 112:1-4) "Tidak sepatutnya  bagi  Allah  akan  mengambil  anak. Maha Suci Ia." (QS, 19:35) "Hal seperti terhadap Isa bagi Allah sama seperti terhadap Adam; dijadikan-Nya ia dari tanah  lalu  dikatakan:  jadilah,  maka jadilah ia." (QS, 3:59) Pada dasarnya Islam adalah  agama Tauhid, dalam pengertian Tauhid yang murni dan kuat sekali, dan dalam pengertian Tauhid yang sederhana dan jelas sekali. Setiap kemungkinan yang akan mengaburkan pengertian dan pikiran Tauhid, Islam tegas menolaknya dan menganggapnya  kufur.  "Allah  tidak  akan mengampuni bila Dia dipersekutukan. Tetapi  selain  itu  akan  diampuniNya  siapa  saja  yang  dikehendakiNya." (QS, 4:48)
Bagaimanapun konsepsi Masehi tentang Trinitas, yang memang mempunyai  hubungan  sejarah  dengan  beberapa  agama lama, namun bagi  Muhammad  itu sama sekali bukan suatu kebenaran. Yang benar ialah Allah itu Esa, tidak bersekutu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tak ada  apapun  yang  menyerupaiNya.  Jadi  tidak  heran kalau antara Muhammad  dengan pihak Nasrani masa itu terjadi diskusi dengan cara yang baik,  dan  wahyupun  memperkuat Muhammad seperti dalam  ayat-ayat  itu.
Masalah Penyaliban Al-Masih
Masalah  lain  yang  menimbulkan  perbedaan  pendapat Islam dan Nasrani, dan menjadi puncak perdebatan antara dua golongan itu pada masa Nabi, ialah masalah  penyaliban Isa untuk menebus dosa orang dengan darahnya. Secara tegas Quran telah membantah bahwa orang-orang Yahudi membunuh dan menyalib Isa. "Dan perkataan mereka bahwa: kami telah membunuh Almasih Isa anak Mariam - Utusan Allah. Tetapi mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, melainkan begitu  terbayang  pada  mereka.  Dan  mereka yang masih berselisih pendapat tentang  itu  sebenarnya masih  ragu, sebab tak ada pengetahuan mereka tentang itu, selain  berdasarkan  prasangka  saja,  dan  merekapun tidak yakin telah membunuhnya. Bahkan Allah telah mengangkatnya kepadaNya. Maha Mulia Kekuasaan  Allah  dan  Bijaksana." (QS, 4:157-148)
Kalaupun  konsepsi tentang penebusan dosa anak-cucu Adam dengan darah Isa  memang  indah  sekali,  dan  apa yang ditulis orang tentang itu patut menjadi bahan studi dari segala seginya,  baik literair, etika atau psikologi,  namun  prinsip  yang  telah  ditentukan  Islam, bahwa orang tidak dibenarkan memikul beban dosa orang lain, dan bahwa setiap orang pada hari kemudian diganjar sesuai dengan perbuatannya kalau ia berbuat baik dibalas dengan kebaikan, kalau jahat dibalas dengan kejahatan menyebabkan  pendekatan  logis  antara  kedua ajaran ini tidak mungkin. Di sini logika  Islam  sangat konkrit, sehingga tak ada gunanya usaha mencari  persesuaian,  melihat  garis  perbedaan  yang  begitu tajam antara konsepsi penebusan dan konsepsi hukum yang bersifat pribadi. "Seorang bapa takkan dapat menolong anaknya, dan anakpun tiada sedikit juga akan dapat menolong bapanya."(QS, 31:33)
Tentang  agama  baru  ini,  sudah  adakah  dari kalangan Nasrani ketika itu yang mau  memikirkannya, serta melihat kemungkinan bertemunya konsepsi Tauhid dengan  ajaran  yang dibawa  Isa  itu? Ya, memang ada, dan banyak di antara mereka itu  yang  lalu  beriman  kepada  ajaran  ini.
Rumawi dan Kaum Muslimin
Akan tetapi Kerajaan Rumawi - yang karena kemenangannya kaum Muslimin  telah  turut gembira dan menganggapnya suatu kemenangan bagi agama-agama Kitab - penguasa-penguasanya tidak mau bersusah payah mempelajari agama baru itu. Mereka memandang semua kemungkinan hanya dari segi politik semata dan yang dipikirkan hanya nasib kerajaannya bila agama yang baru itu kelak mendapat kemenangan. Oleh karena itu mereka malah bersekongkol menentangnya, dengan mengirimkan pasukan besar-besaran - suatu sumber mengatakan seratus ribu, yang lain  mengatakan 200  ribu - yang  mengakibatkan  timbulnya  perang  Tabuk. Pihak Rumawi  ternyata  mundur  berhadapan  dengan  pasukan  Muslimin -  dengan Muhammad  sebagai  komandannya - yang  hendak  menangkis  serangan musuh yang  tidak  diinginkan  itu.
Sejak  itulah kaum Muslimin dan kaum Nasrani berada dalam posisi permusuhan politik, yang selama berabad-abad berikutnya kemenangan berada di tangan  kaum  Muslimin. Selama itu lingkungan kekuasaan mereka membentang sampai ke Andalusia di sebelah barat, ke India dan Tiongkok di sebelah timur.   Sebagian  besar  daerah-daerah ini menerima agama baru itu dan bahasa Arab sebagai  bahasa  yang  sudah  ditentukan.
Setelah tiba masanya sejarah harus beredar, pihak Nasrani pun mengusir kaum Muslimin dari Andalusia, memerangi mereka dengan serangkaian  Perang  Salib.  Mereka  menyerang  agama  dan Nabi dengan cara yang sangat keji, disertai kebohongan  dan  fitnah  semata-mata.  Demikian  kejinya  mereka  itu,  sehingga  lupa  mereka  tentang  apa  yang pernah disampaikan Muhammad 'alaihissalam dalam hadis-hadis dan  dalam Qur'an melalui wahyu yang diturunkan kepadanya, bahwa Islam mengangkat martabat Isa 'alaihissalam  setinggi yang diberikan Allah kepadanya.
Penulis-Penulis Kristen dan Muhammad
Ketika menguraikan, pandangan penulis-penulis Kristen sampai pada pertengahan  abad  ke19, sehubungan dengan adanya mereka yang berprasangka jahat terhadap Muhammad  Dictionnaire Larousse menyebutkan demikian: "Dalam pada itu Muhammad masih tetap sebagai tukang sihir yang hanyut dalam kerusakan akhlak, perampok unta, seorang kardinal yang tidak berhasil menduduki kursi Paus, lalu menciptakan agama baru untuk membalas dendam kepada kawan-kawannya. Cerita-cerita khayal dan cabul banyak terjadi dalam sejarah hidupnya.  Sejarah  hidup  Bahaume  (Muhammad)  hampir  terdiri dari hasil lektur semacam itu. 'Cerita Muhaimmad' yang disiarkan oleh Reinaud dan Francisque Michel tahun 1831 melukiskan kepada kita pandangan orang-orang  yang  hidup  dalam  Abad  Pertengahan itu tentang dia. Dalam abad ketujuhbelas Bell memberikan suatu tanggapan tentang sejarah yang sifatnya merendahkan arti Qur'an dengan suatu tinjauan  berdasarkan  sejarah.  Sungguhpun  begitu  ia  masih  diliputi  oleh  ketentuan-ketentuan  yang salah mengenai dirinya. Akan tetapi dia mengakui, bahwa ketentuan moral dan sosial yang dibuatnya tidak berbeda dengan ketentuan Kristen, kecuali  soal  hukum  qishash  (Lex Talionis?)  dan  polygyny."
Dari  sekian  banyak  Orientalis  yang telah membuat analisa tentang sejarah hidup Muhammad, ada seorang di antaranya yang agak jujur, yaitu penulis Perancis Emile  Dermenghem. Ia memperingatkan kolega-kolega yang menulis tentang agama ini dengan mengatakan: "Sesudah pecah perang Islam-Kristen, dengan sendirinya jurang pertentangan dan salah-pengertian bertambah lebar, tambah tajam. Orang harus mengakui, bahwa orang-orang Baratlah yang memulai timbulnya pertentangan itu sampai begitu memuncak. Sejak zaman penulis-penulis Bizantium, tanpa mau bersusah payah mengadakan studi -kecuali Jean Damasceme- telah melempari Islam dengan pelbagai macam penghinaan. Para penulis dan penyair menyerang kaum Muslimin Andalusia dengan cara  yang  sangat  rendah.  Mereka  menuduh,  bahwa  Muhammad adalah perampok unta, orang yang hanyut dalam foya-foya, mereka menuduhnya  tukang  sihir,  kepala  bandit dan perampok, bahkan menuduhnya sebagai seorang pendeta Rumawi yang marah dan dendam karena tidak dipilih menduduki  kursi  Paus ... Dan  yang  sebagian mengiranya ia adalah tuhan palsu, yang oleh pengikut-pengikutnya dibawakan sesajen berupa kurban-kurban manusia. Bahkan Guibert de Nogent sendiri, orang yang begitu serius masih menyebutkan, bahwa  Muhammad  mati   karena  krisis  mabuk yang jelas sekali, dan bahwa tubuhnya kedapatan  terdampar  di atas  timbunan kotoran binatang dan sudah dimakan  babi. Oleh  karena  itu, lalu ditafsirkan, bahwa itulah sebabnya minuman keras dan  daging  binatang  itu  diharamkan.
Di  samping itu ada beberapa nyanyian yang melukiskan Muhammad sebagai berhala dari emas, dan mesjid-mesjid sebagai kuil-kuil kuno yang penuh dengan patung-patung  dan gambar-gambar. Pencipta "Nyanyian Antakia" (Chanson d'Antioche) membawa cerita tentang adanya orang  yang  pernah  melihat  berhala "Mahom" terbuat dari emas dan perak murni dan dia duduk di atas seekor gajah di tempat yang terbuat dari lukisan mosaik. Sedang "Nyanyian Roland" (Chanson de Roland) melukiskan pahlawan-pahlawan Charlemagne menghancurkan berhala-berhala Islam, dan mengira bahwa kaum Muslimin di Andalusia itu menyembah trinitas terdiri dari Tervagant, Mahom dan Apollo. Dan "Cerita Muhammad" (Le Roman de Mahomet)  itu  menganggap, bahwa Islam membenarkan wanita melakukan polyandri.
"Cara berpikir yang penuh dengan kedengkian dan penuh legenda itu tetap menguasai kehidupan mereka. Sejak zaman Rudolph de Ludheim, sampai saat kita sekarang ini, masih ada saja orang-orang semacam Nicolas de Cuse, Vives, Maracci, Hottinger, Bibliander, Prideaux dan yang lain.  Mereka  itu  menggambarkan  Muhammad  sebagai  penipu, dan Islam merupakan sekumpulan kaum bidat. Semua itu adalah perbuatan setan. Kaum Muslimin adalah orang-orang buas sedang Qur'an adalah suatu gubahan yang tak berarti. Mereka tidak membicarakannya secara sungguh-sungguh, karena sudah dianggap tidak ada artinya. Tetapi, dalam pada itu Pierre le Venerable, pengarang pertama yang telah menulis risalah anti Islam di Barat dalam abad keduabelas telah menterjemahkan Qur'an ke dalam bahasa Latin. Dalam abad keempatbelas Peirre Pascal termasuk orang yang mau mendalami studi-studi tentang Islam. Innocent III pernah melukiskan Muhammad, bahwa dia adalah musuh Kristus (Antichrist). Sedang abad Pertengahan menganggap Muhammad seorang heretik (melanggar ajaran agama Kristen). Orang-orang semacam Raymond Lulle dalam abad keempatbelas, Guellaume Postel dalam abad keenambelas, Roland dan Gagnier dalam abad ke18, Pendeta de Broglie dan Renan dalam abad ke19, mempunyai tanggapan yang beraneka ragam. Sebaliknya orang-orang semacam Comte Boulainvilliers, Scholl, Caussin de Perceval, Dozy, Sprenger, Barthelemy Saint-Hilaire, de Casteries, Carlyle dan yang lain, pada umumnya mereka memperlihatkan sikap jujur terhadap Islam dan Nabi, dan kadang memperlihatkan sikap hormat. Sungguhpun  begitu,  dalam  tahun  1876  Droughty  bicara tentang Muhammad dengan mengatakan: "Itu Arab munafik yang kotor." Sebelum itu, dalam tahun 1822 juga Foster telah mencacinya. Sampai sekarang sebenarnya masih ada musuh-musuh Islam itu yang bersemangat."5
Kita sudah melihat, bukan, penulis-penulis Barat itu, begitu rendah menyerangnya? Juga sudah kita lihat kegigihan mereka selama berabad-abad yang mau menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di kalangan umat manusia. Padahal di kalangan mereka itu ada orang-orang yang sudah mengalami zaman yang biasa disebut zaman ilmu pengetahuan, zaman riset dan zaman kebebasan berpikir serta adanya deklarasi persaudaraan  antara  sesama  manusia. Dengan adanya orang-orang yang jujur dalam batas-batas tertentu telah mengurangi juga adanya pengaruh yang menyesatkan seperti yang diisyaratkan oleh Dermenghem itu. Di antara mereka ada yang mengakui kebenaran iman Muhammad membawakan risalah itu yang dipercayakan  Allah  kepadanya  melalui wahyu yang harus disampaikan. Ada pula yang sangat menghargai kebesaran Muhammad dalam arti rohani, ketinggian akhlaknya, harga dirinya  serta  jasanya  yang  tidak  sedikit.  Ada  yang melukiskan semua itu dengan gaya yang kuat dan indah sekali. Meskipun demikian, pihak Barat masih juga berprasangka buruk terhadap Islam dan terhadap Nabi, kemudian  demikian  beraninya mereka itu sampai-sampai di daerah-daerah Islam sendiri kalangan misionaris  melancarkan  penghinaan  yang  begitu rendah, dan berusaha membelokkan  kaum Muslimin dari ajaran agamanya kepada agama Kristen.
Sebab Permusuhan Islam-Kristen
Atas  semua  itu  harus  kita  selidiki  sebab-sebab  timbulnya permusuhan sengit dan peperangan yang begitu dahsyat yang telah dimulai oleh pihak Kristen terhadap  Islam  itu.  Menurut  hemat  kita,  kurangnya pengetahuan pihak Barat tentang hakekat Islam dan sejarah Nabi adalah sebab pertama yang menimbulkan permusuhan itu. Kurangnya pengetahuan ini sudah tentu merupakan sebab-sebab timbulnya  sikap  kaku  dan  fanatisma  yang paling berat dan rumit. Seabad demi seabad kurangnya pengetahuan demikian ini makin bertimbun dan kemudian ia menjelma  menjadi  patung-patung dan berhala-berhala dalam jiwa generasi berikutnya, yang  untuk  menghilangkannya tentu memerlukan suatu kekuatan jiwa yang  besar, seperti pada mula lahirnya kekuatan Islam dulu.
Kristen Tidak Sesuai Dengan Watak Barat
Akan  tetapi  kita  melihat  ada sebab lain di luar kurangnya pengetahuan itu saja yang telah mendorong pihak Barat menjadi fanatik dan sampai membangkitkan peperangan yang begitu fatal, sebentar-sebentar dilancarkan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Juga tidak terlintas dalam pikiran kita tentang  apa  yang  biasa  kita  rasakan adanya hubungan politik yang buruk dan ingin menguasai bangsa lain untuk dieksploitir. Menurut hemat kita itu adalah akibat -bukan sebab- dan adanya fanatisma yang sudah begitu merasuk sampai ke soal ilmu dan penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Sebabnya ialah, menurut hemat kita, oleh karena ajaran Kristen yang mengajak orang menjauhkan kehidupan duniawi, sifat maaf dan pengampunan serta pengertian-pengertian hidup rohani yang luhur, tidak sesuai dengan perangai Barat, yang sejak ribuan tahun dalam lingkungan agama polytheisma, dan letak geografisnya menghendaki perjuangan sengit melawan iklim dingin, melawan kesulitan dan keadaan yang serba sukar. Apabila peristiwa-peristiwa sejarah mengharuskan  juga  Barat  menganut  agama Kristen ini, maka tidak bisa lain ia harus juga dilibatkan ke dalam kancah perjuangan itu dan memaksa agama itu meninggalkan sifatnya yang lemah-lembut dan indah, meninggalkan keseimbangan rohani yang seharusnya menjadi mata rantai kesatuan yang telah disempurnakan oleh Islam: yakni kesatuan yang membuat harmonis antara rohani dan jasmani, antara perasaan dan akal, emosi dan rasio, secara individu dan universal bersama-sama berada dalam hukum alam, yakni keduanya sejalan dalam ruang dan waktu yang tak terbatas.
Menurut  hemat  kita,  inilah  sumber  yang  menyebabkan  fanatisma Barat yang memusuhi Islam, suatu sikap yang menyebabkan kaum Kristen Abisinia menjadi  jijik melihatnya tatkala kaum Muslimin mencari perlindungan pada masa mula-mula Nabi mengajak orang kepada agama Allah.
Inilah,  menurut  pendapat  saya, sebab timbulnya ekses dan cara yang berlebih-lebihan di kalangan orang-orang Barat, baik dalam beragama maupun  dalam atheisma, fanatisma  yang berlebih-lebihan serta perjuangan yang tidak mengenal belas kasihan dan tidak mengenal ampun.  Apabila  dari mereka sejarah sudah mengenal  adanya  orang-orang  suci,  yang  dalam  hidup  mereka  mengikuti  jejak  Isa  Al-Masih dan pengikut-pengikutnya, juga sejarah sudah mengenal kehidupan bangsa-bangsa di Barat  yang  selalu  hidup  dalam  pertentangan,  dalam  perjuangan,  peperangan-peperangan  yang dahsyat,  atas nama politik atau  atas  nama  agama,  dan  dikenalnya  pula,    bahwa   paus-paus atau pembesar-penmbesar gereja dan mereka yang memegang  kekuasaan  temporal,   selalu   dalam   persaingan mau saling  mengalahkan. Suatu saat golongan ini yang menang, nantinya yang lain lagi yang menang.
Oleh   karena   kemenangan  terakhir dalam abad kesembilanbelas itu berada di tangan kekuasaan temporal6, maka kekuasaan ini berusaha  hendak  membasmi   kehidupan   rohani   atas   nama  ilmu pengetahuan. Ia mengira, bahwa  dalam  kehidupan  umat manusia ilmu itu akan dapat menggantikan iman seperti  dalam  kehidupan  rohani. Sesudah melalui perjuangan yang cukup lama, sekarang mereka mengetahui bahwa pendapat   demikian   itu   salah sekali, dan bahwa apa yang mereka tuju itu dalam kenyataannya tak mungkin dapat dilaksanakan. Sekarang di Barat  terdengar jeritan disana-sini mengajak  mereka kembali mencari pegangan rohani yang sudah hilang. Mereka mencari pegangan itu di dalam maupun di luar teosofi7.  Sekiranya ajaran  Kristen  itu  memang  sesuai dengan naluri perjuangan yang telah dibawa oleh hukum alam sebagai sebagian cara hidup Barat, sesudah ternyata konsepsi materialisma mereka tidak berhasil memberikan konsumsi rohani, tentu  akan  kita  lihat  mereka  kembali  mencari  pegangan  agama Kristen yang begitu indah, agama Isa anak Mariam -kalaupun Tuhan belum akan membimbing  mereka  kepada  Islam,  dan tidak perlu mereka pergi berpindah ke India atau ke tempat lain,  mencari  pegangan hidup rohani, yang oleh manusia sangat dirasakan perlunya seperti kebutuhan bernapas; sebab ini merupakan sebagian kodratnya, bahkan  merupakan  sebagian  dari  jiwa  raganya.
Penjajahan dan Propaganda Anti Islam
Ternyata imperialisma  Barat memberikan bantuan dalam meneruskan serangan yang mereka  lancarkan  terhadap Islam dan terhadap Muhammad, dan minta mereka supaya berpendirian seperti penduduk Mekah yang menginginkan supaya  agama  Nasrani  menderita  kehinaan karena kekalahan Heraklius dan Rumawi menghadapi Persia. Pernah mereka  mengatakan - dan masih banyak di antara  mereka  yang  mengatakan - bahwa Islam itulah yang menyebabkan mundurnya bangsa-bangsa yang menganutnya dan menyebabkan mereka tunduk kepada pihak lain. Ini adalah kebohongan yang kita tolak dengan cukup mengingatkan kepada mereka yang mengatakan itu, bahwa peradaban umumnya   dan kekuasaan dunia  yang cukup dikenal selama berabad-abad  itu  berada  di  tangan bangsa-bangsa yang yang terdiri dari umat Islam itulah.   Di sana   pusat ilmu pengetahuan dan tempat sarjana-sarjana,  dari sana pula datangnya pelopor kemerdekaan, yang oleh Barat belum selang  lama  ini  baru  dikenalnya.   Apabila  mungkin mundurnya beberapa golongan bangsa akan dihubungkan dengan agama yang dianutnya, maka  agama  itu  tentu  bukan  Islam,  Islam  yang  telah  membuat orang-orang  pedalaman  seluruh  jazirah Arab jadi bangkit dan dapat membuat mereka  menguasai  dunia.
Akan  tetapi  kemunduran  bangsa-bangsa yang telah menjadi beban bagi  Islam  itu  sangat  disayangkan  bila  akan  dihubungkan  kepada  agama yang  sebenarnya  tidak  demikian;  bukan  itu  yang  dikehendaki  oleh Allah dan oleh Rasul. Tapi mereka  menganggap bahwa yang demikian itulah dasar agama  dan  barangsiapa  yang  menentang  ia  akan  dianggap  atheis.
Islam  dan  Apa  Yang  Terjadi  dengan  Umat  Islam
Kita  tinggalkan dulu bicara tentang agama ini, dan mari kita lihat sejarah orang yang  membawanya - Muhammad 'alaihissalam.
Banyak buku-buku sejarah tentang kehidupan Nabi itu yang telah menambahkan hal-hal yang  tak  dapat diterima akal dan yang memang tidak diperlukan menambahkan demikian untuk menguatkan risalahnya itu. Dan  apa  yang  ditambah-tambahkan, itulah yang dijadikan pegangan oleh kalangan Orientalis dan  oleh  mereka  yang  mau  mendiskreditkan  Islam  dan  Nabi,  juga oleh mereka  yang  mau  mengecam  umat  Islam;  dijadikannya  itu  tongkat  penunjuk dalam  kecaman  mereka  yang  akan  cukup  memanaskan  hati  setiap  orang yang  berpikir  jujur.
Hal semacam ini dan apa yang mereka ciptakan sendiri, itulah yang menjadi pegangan mereka, lalu mereka mengatakan, bahwa mereka menulis itu berdasarkan metoda  ilmiah  yang  modern, metoda yang mengemukakan peristiwa-peristiwa,  orang-orang  dan  pahlawan-pahlawan. Lalu diberikannya suatu penilaian yang pantas jika dianggap pada tempatnya  mengeluarkan  penilaian demikian.  Dan  kalau kita baca dengan seksama apa yang mereka tulis itu akan kita lihat bahwa hal itu sebenarnya penuh dengan nafsu permusuhan dan caci-maki,  terbungkus  dalam  susunan  kata-kata  yang  tidak kurang indahnya, menarik hati mereka yang sepaham dengan anggapannya, bahwa pembahasannya itu ilmiah, terdorong hanya akan mencari kebenaran semata-mata, ingin meneropongnya  dari  segenap  penjuru.   Inilah yang dituju oleh penulis-penulis dan ahli-ahli sejarah yang fanatik itu. Hanya saja, adanya beberapa orang yang masih dapat berpikir lebih tenang - baik penulis atau sarjana -menyebabkan mereka yang  berpikiran  bebas  itu  dapat  bersikap  lebih adil dan jujur, sekalipun dari pihak  Kristen  sendiri.
Dalam  berbagai  macam  bidang  beberapa  ulama  Islam  telah  tampil dan  berusaha  menangkis tuduhan orang-orang Barat yang fanatik itu.  Dan nama Syaikh Muhammad  Abduh tentu yang paling menonjol dalam bidang ini. Tetapi mereka ini tidak  menempuh metoda yang ilmiah -seperti didakwakan oleh penulis-penulis dan ahli-ahli sejarah Eropa, sebab hanya merekalah yang memakai cara itu. Maksudnya supaya  dalam menghadapi lawan alasan mereka lebih kuat. Kemudian lagi ulama Islam itu - dan Syaikh  Muhammad  Abduh  yang terutama - telah dituduh atheis dan kufur.  Maka  argumentasi  mereka itu menjadi makin lemah di depan lawan Islam.
Sikap Jumud di Kalangan Pemuda
Tuduhan mereka  itu  sebenarnya memberi pengaruh besar dalam jiwa angkatan  muda  Islam  yang  terpelajar.  Terkesan  di kalangan pemuda itu, bahwa atheisma dan logika sejalan dengan ijtihad (aktif), sedang iman sama dengan Jumud (pasif).   Oleh  karena  itu jiwa mereka gelisah. Mereka pergi membaca buku-buku Barat; dengan  itu  mereka  akan mencari  kebenaran, dengan keyakinan bahwa mereka tidak mendapatkan  yang  demikian itu dalam buku-buku kaum Muslimin. Dengan sendirinya buku-buku agama dan sejarah Kristen tidak juga terpikirkan  oleh  mereka;  mereka  sudah  hanyut  ke dalam buku-buku filsafat, yang dengan gayanya yang  ilmiah  itu  mereka  mencari  setitik air yang akan menghilangkan  rasa  dahaga akan kebenaran yang ada dalam jiwa mereka itu, dan  dengan  logika yang dikemukakannya sudah merupakan nyala suci yang masih  tersembunyi dalam jiwa umat  manusia  dan dijadikannya pula alat komunikasi yang akan mengantarkan mereka  kepada alam serta kebenaran  yang tertinggi. Dalam  buku-buku  Barat,  baik  dalam  filsafat,  etika atau humanities pada  umumnya  banyak  sekali  yang  akan  mereka  dapati dengan sangat menarik hati, baik karena gayanya yang indah, atau karena logikanya yang kuat serta  apa  yang  tampaknya hendak memperlihatkan adanya kemauan baik dan niat yang ikhlas hendak mencapai pengetahuan demi kebenaran. Oleh karena itu jiwa  pemuda-pemuda itu jadi jauh dari pemikiran tentang agama-agama  semua  dan   tentang   risalah   Islam   serta   pembawanya.
Sikap  mereka  itu  guna  menghindarkan  diri  jangan  sampai timbul konflik antara mereka dengan kebekuan beragama sebab mereka yakin takkan dapat mengalahkannya,  juga  karena  mereka tidak menyadari,  betapa pentingnya hubungan  yang  akan  mengangkat  martabat manusia ke tingkat yang lebih sempurna,  sehingga  kekuatan  moralnyapun  akan  berlipat-ganda.
Ilmu dan Literatur Barat
Pemuda-pemuda itu telah menghindarkan diri dari pemikiran tentang agama-agama  itu  semuanya,  juga  tentang  risalah Islam dan pembawanya.   Lebih-lebih  lagi  mereka  menghindarkan  diri  itu  karena  ilmu  pengetahuan  positif dan filsafat positivisma  yang  mereka  lihat mengatakan bahwa masalah-masalah agama berada di luar  logika  dan  tidak  masuk ke dalam lingkungan pemikiran ilmiah, dan segala yang berhubungan dengan itu, dalam bentuk pemikiran metafisika juga sama sekali tidak  termasuk  dalam  metoda  ilmiah. Kemudian  mereka  melihat  adanya  pemisahan  yang begitu jelas dan tajam antara gereja dan negara di Barat, serta melihat negara-negara yang sudah menentukan dalam undang-undang dasarnya, bahwa kepala negara adalah pelindung  Protestan  atau  Katolik,  atau  menentukan  bahwa  agama  negara yang resmi adalah Kristen, dengan maksud supaya dengan demikian hari-hari besar  yang  berhubungan  dengan  itu  tidak  bertambah  banyak.   Bertambah  kuat mereka bertahan dalam pemikiran ilmiah dan segala yang berhubungan dengan itu,  perhatian  merekapun  akan  bertambah  besar  pula terhadap masalah-masalah  filsafat,  ilmu  dan  budaya.
Setelah tiba masanya mereka harus berpindah dari dunia studi ke tengah-tengah  kehidupan  praktis, kehidupan itu membuat mereka lebih sibuk  daripada  hanya  memikirkan  masalah-masalah,  yang  tadinya  sudah  mereka  tinggalkan. Maka  arah  pemikiran  itu  masih tetap dalam arus yang pertama: melihat kebekuan  berpikir  itu  dengan  rasa  kasihan  dan  sinis  Ia  terus  menghirup udara  pemikiran  Barat  dan  filsafat  Barat,  yang  dirasakannya  begitu lezat, sehingga bertambah kagum ia, bertambah  kuat  bertahan  atas  apa  yang  sudah  diperolehnya  itu.
Memang  tak  dapat  disangkal,  bahwa  dewasa ini Timur sangat perlu sekali  menghirup udara Barat dalam cara berpikir, dalam ilmu dan budaya. Dunia Islam  di  Timur  dewasa  ini  sudah  terputus  dari  Islam masa lampau oleh  adanya  kebekuan  berpikir dan fanatisma  selama  berabad-abad. Cara berpikir masa  lampau  yang  sehat sudah begitu tebal tertimbun oleh kebodohan  dan serba  prasangka  terhadap  segala  yang  baru.  Maka  tak ada jalan lain, bagi yang  ingin  mengikis  semua  timbunan  itu,  ia harus  bersandar pada bentuk-bentuk pemikiran dunia yang lebih baru, supaya dengan demikian dapat mencapai masa kini yang cemerlang serta peninggalan  masa  lampau  yang  gemilang.
Usaha-Usaha  Modernisasi  Dunia  Islam
Sudah sepantasnya  kalau  kita  mengatakan kepada Barat, bahwa penyelidikan-penyelidikan  berharga  yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat dewasa  ini  tentang  sejarah  dan  studi-studi  Islam  dan  Dunia  Timur, telah membuka  jalan  baru  bagi  pemuda-pemuda  Islam  sendiri dan  pemuda-pemuda di  Timur  dalam  memperbanyak  bahan-bahan  penyelidikan  tentang  studi itu. Dan harapan akan sampai kepada kebenaranpun lebih besar pula. Dengan sendirinya  mereka  akan  lebih mudah   memahami  jiwa Islam dan jiwa Timur. Oleh  karena  orientasi  baru  itu sudah  dimulai  dari  Barat,  maka pemuda-pemuda itu harus mengikutinya  terus  sambil  mengadakan koreksi atas kesalahan-kesalahan  yang  ada, lalu menanamkan jiwa  yang  sebenarnya  hidup dalam sejarah,  diteruskan  sampai  ke  masa  kini. Bukan hanya sebagai studi  dan  penyelidikan  saja,  tetapi   juga  harus  dilihat  sebagai  suatu  peninggalan rohani dan  mental  yang  patut  diwakili oleh para pewarisnya;  penerangan  harus ditambah dan diperbanyak,  sehingga  kebenaran yang  tersembunyi  itu  akan  tampak  lebih  jelas.
Dewasa ini banyak sudah pemuda-pemuda yang mengadakan penyelidikan-penyelidikan  dengan  metoda  ilmiah yang sebenarnya. Kalangan Orientalis sendiripun mendukung  usaha-usaha  mereka  dan  sangat menghargai jasa-jasa mereka itu.
Misi  Penginjil  dan  Golongan  yang  Berpikiran  Beku
Sementara  kerja-sama ilmiah yang seharusnya akan memberikan hasil yang baik  ini  lahir, tiba-tiba timbul pula kegiatan pihak gereja Kristen melakukan serangkaian serangan terhadap Islam dan terhadap Muhammad demikian rupa, tidak kurang  dan  apa yang kita sebutkan tadi. Di samping  itu  pihak  imperialisma  Baratpun mendukung pula kegiatan ini, dengan  segala  kemampuan yang ada padanya,  atas nama kemerdekaan berpikir. Padahal mereka yang melakukan serangan dan kecaman  itu telah keluar meninggalkan negerinya sendiri, mereka terpisah dari apa yang mereka namakan ,peneguhan iman, dalam jiwa saudara-saudara  mereka  seagama itu.  Juga penganjur-penganjur kebekuan berpikir (jumud) di kalangan kaum Muslimin sendiri telah mendapat dukungan imperialisma pula. Selanjutnya  tangan  imperialisma ini  juga yang memberikan dorongan kepada apa saja yang dapat diselundupkan ke dalam Islam - dan yang sebenarnya bukan dari Islam - dan  ke  dalam  sejarah  hidup Rasul,  berupa  dongengan-dongengan  yang  tak  masuk akal dan bertentangan dengan selera. Ia memberikan dorongan kepada usaha-usaha  orang  yang  mengecam  Islam  dan  mengecam Muhammad dengan apa  saja  yang  dapat  dimasukkan ke dalam  Islam  dan  ke  dalam  sejarah  Rasul.
Terpikir  Menulis  Buku  Ini
Tugas pekerjaan saya memberi kesempatan kepada saya melihat peristiwa-peristiwa  itu  pada  beberapa  daerah  Islam  sebelah  timur,  bahkan  di seluruh daerah Islam, serta  mempelajari  adanya maksud yang ingin mengikis habis kehidupan moral daerah-daerah itu dengan jalan membasmi kemerdekaan berfikir, kebebasan menyelidiki demi kebenaran itu. Terasa oleh saya bahwa saya memikul suatu kewajiban dalam hal ini. Maksud yang menjadi tujuan rencana itu, yang sebenarnya akan  membahayakan  seluruh  umat manusia - bukan hanya membahayakan Islam dan dunia Timur saja - harus dipatahkan.  Apatah  kiranya bencana yang lebih besar  menimpa  umat  manusia  daripada  kekerdilan  dan  kebekuan berpikir, yang  sepanjang  sejarah  lebih  dari  separuhnya  telah  menimpa  peradaban.
Karena  itu terpikir oleh saya -dan lama sekali saya memikirkan hal itu- yang akhirnya mengantarkan pemikiran saya itu kepada suatu studi tentang kehidupan Muhammad,   pembawa   risalah  Islam  itu,  tentang  sasaran  kecaman pihak Kristen di satu segi,  dan  tentang  kebekuan  berpikir  kaum  Muslimin sendiri dari segi lain. Akan  tetapi studi ini hendaknya  bersifat  ilmiah,  sejalan  dengan metoda modern di Barat, demi  kebenaran,  dan  untuk  kebenaran  semata.
Saya  mulai  dengan membahas sejarah hidup Muhammad. Saya ulangi lagi dengan  memeriksa  Sirat  ibn  Hisyam,  Tabaqat  oleh  Ibn Sa'd, al-Maqhazi oleh Al-Waqidi, demikian juga buku Syed Ameer, Ali The Spirit of Islam. Kemudian tidak lepas  saya  membaca  buku-buku  beberapa  Orientalis,   seperti  Dermenghem dan Washington Irving. Ketika pada musim dingin tahun 1932 saya berada di Luxor, saya pergunakan kesempatan  ini  dengan  mulai  menulis.  Ketika  itu  saya  masih ragu-ragu  akan  mengadakan  penyelidikan  yang akan saya kemukakan kepada para  pembaca  ini  sebagai  suatu  hasil  pekerjaan saya sendiri, sebab  saya  kuatir  akan  timbul  heboh  dari  golongan  yang  masih  beku  cara  berpikirnya  dan   masih  percaya  kepada  bermacam-macam  takhayul,  sehingga  kelak  tujuan  saya  semula  akan  terganggu  karenanya.
Akan  tetapi adanya sambutan yang saya terima, dorongan dan sumbangan pikiran yang diberikan  kepada saya oleh pemuka-pemuka lembaga cukup menunjukkan  adanya  perhatian  terhadap  penyelidikan  yang   akan  saya  lakukan ini.   Saya  jadi  berpikir  lebih  sungguh-sungguh  lagi  hendak  melaksanakan  niat saya  menulis  sejarah  hidup  Muhammad  ini  lebih terperinci, dengan cara yang ilmiah.  Sekarang  saya  memikirkan  jalan  yang  paling  baik dalam meneliti sejarah itu,  sesuai  dengan  kemampuan  yang  ada  pada  saya.
Qur'an Sebagai Sumber Paling Otentik
Sudah  jelas  buat  saya,  bahwa  sumber  yang  paling otentik dalam penulisan  sejarah ini ialah Qur'an Suci. Segala peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan Nabi, diberikan isyaratnya dalam Qur'an, sehingga dapat dipakai sebagai  bahan  penunjuk  dalam  mengadakan  pembahasan  itu.  Dengan dasar itu  dapat  pula  diteliti  apa  yang  terdapat dalam buku-buku Hadis dan sejarah Nabi yang bermacam-macam itu. Saya  pun  berusaha  hendak  mengetahui  sesuatu dalam Qur'an yang ada  hubungannya dengan kehidupan Nabi. Suatu bantuan besar dalam hal ini telah diberikan kepada saya oleh Tuan Ahmad Lutfi as-Sayyid, pejabat pada Perpustakaan (Nasional) Mesir, berupa buku-buku referensi, bab demi bab, tentang ayat-ayat Qur'an yang berhubungan dengan kehidupan orang yang telah diberi Wahyu Kitab Suci itu. Saya cocokkan ayat-ayat itu,  dan rupanya harus juga saya pelajari sebab-sebab turunnya, waktu turunnya serta hubungannya satu sama lain. Harus saya akui juga - sedemikian  jauh  saya berusaha - belum juga bertemu dengan semua yang saya maksudkan. Kadang kitab-kitab tafsir Qur'an memberi petunjuk ke arah ini, tapi kadang juga tidak. Buku-buku seperti Asbab'n-Nuzul oleh al-Wahidi dan An-Nasikh wal-Mansukh oleh Ibn Sallama hanya dengan singkat  saja  membicarakan  persoalan  yang  sangat   berharga   ini,  yang justru patut mendapat penelitian dan pembahasan.
Akan  tetapi  apa yang saya temukan dalam kedua buku itu dan dalam buku-buku  tafsir  mengenai  beberapa  rnasalah, dapat juga saya pergunakan sebagai bahan  penelitian  terhadap  buku-buku  lain  mengenai  sejarah Nabi. Dalam  kedua  buku  itu  dan dalam buku-buku tafsir tersebut saya temukan  beberapa  hal  yang  patut sekali dikoreksi oleh ulama yang sudah mendalami pengetahuan Qur'an dan Hadis  serta  mencocokkannya  kembali  secara  lebih  teliti.
Konsultasi Yang Tepat
Setelah agak jauh saya mengadakan penyelidikan, tampak oleh saya  adanya  konsultasi  yang  tepat  sekali  disampaikan kepada saya dari beberapa pihak, lebih-lebih lagi -dengan sendirinya- dari kalangan guru-guru  besar  dan  pemuka-pemuka  agama.  Dan bantuan paling besar saya terima ialah dari Perpustakaan (Nasional) Mesir dan para pejabatnya yang telah mengulurkan tangan memberikan bermacam-macam bantuan, yang sebagai penghargaan tidak cukuplah rasanya ucapan terimakasih saya ini. Memadai juga kiranya bila saya sebutkan, bahwa Tuan 'Abd'r-Rahim Mahmud, Korektor bagian Lektur pada Perpustakaan,  tidak  jarang  pula  membebaskan  saya  dari  harus  pergi sendiri ke perpustakaan serta meminjamkan buku-buku yang saya kehendaki disertai sikap ramah-tamah, baik oleh Direktur atau pejabat-pejabat tinggi lainnya yang bertugas. Juga perlu saya sebutkan, bahwa setiap kali saya mengunjungi perpustakaan itu sehubungan dengan penyelidikan  yang  perlu saya lakukan, selalu saya menerima layanan yang  begitu  baik sekali, baik dari pejabat tinggi atau pejabat bawahan, baik  yang  saya  kenal  atau yang tidak saya kenal. Dalam hal saya kadang  terbentur  pada  beberapa masalah, maka datanglah kawan-kawan itu membukakan  jalan,  sehingga  tidak  jarang  hal  ini merupakan bantuan yang besar sekali bagi saya. Sering juga saya jumpai bantuan demikian itu dari Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi, Rektor Al-Azhar, dari sahabat karib saya Ja'far (Pasya) Wali, yang telah meminjamkan beberapa buah buku kepada saya seperti Shahih Muslim dan buku-buku sejarah tentang Mekah. Ditunjukkannya pula beberapa masalah, diantarkannya saya ke tempat yang saya perlukan. Demikian juga  sahabat  saya  Makram  'Obaid, telah meminjamkan buku Sir William Muir, The Life of Mohammad8,  buku  Lammens,  L'Islam, di samping pertolongan yang saya  peroleh  dari  karya-karya   kontemporer   yang  sangat berharga seperti Fajr'l-lslam oleh Ahmad Amin, Qishah'l-Anbia' oleh 'Abd'l Wahhab an-Najjar, Fil-Adab'l-Jahili oleh Dr. Taha Husain, Al Yahud fi Bilad'l-'Arab oleh Israel Wilfinson. Selain  itu  banyak  lagi buku-buku lain oleh penulis-penulis  kontemporer  yang saya sebutkan dalam bibliografi buku-buku lama dan baru, yang saya pergunakan dalam menyiapkan buku ini.
Dalam  Batas-Batas  Biografi,  Tidak Lebih
Setiap saya mengadakan penyelidikan demikian ini lebih dalam, ternyata ada  beberapa  problema  di  depan  saya  yang  perlu   dipikirkan   lagi  dan diselidiki lebih lanjut guna dapat mengatasinya. Seperti buku-buku sejarah dan tafsir yang telah memberikan petunjuk kepada saya dengan cukup memuaskan, demikian juga halnya dengan  buku-buku para Orientalis.  Akan tetapi dalam menghadapi  masalah-masalah  itu  tampaknya  terpaksa saya harus membatasi diri  hanya dalam menyelidiki kehidupan   Muhammad  saja, dengan tidak mengurangi persoalan-persoalan lain yang kiranya ada hubungannya dengan penyelidikan ini. Kalau  saya  mau  menyelidiki  segala  sesuatu  yang  berhubungan dengan sejarah hidup orang yang begitu besar dan cemerlang ini, tentu diperlukan  penulisan beberapa jilid dalam ukuran seperti buku ini. Baik juga saya sebutkan,  bahwa  Caussin  de  Perceval  menulis  tiga  jilid  buku dengan j udul  Essai  sur l'Histoir des Arabes, jilid pertama dan kedua mengenai sejarah dan kehidupan kabilah-kabilah Arab, jilid ketiga tentang Muhammad dan dua orang  Khalifahnya,  Abu Bakr  dan  Umar.  Demikian juga Tabaqat Ibn Sa'd yang terdiri dari  beberapa  jilid,  jilid  pertamanya  khusus  tentang  kehidupan  Muhammad, sedang   yang  selebihnya  mengenai  kehidupan  para  Sahabatnya.
Dalam  mengadakan  penyelidikan  ini  pada  mulanya  memang  tidak saya maksudkan  hendak  melampaui  batas  sejarah kehidupan Muhammad, sebab saya  tidak  ingin  membiarkan  ini nanti menjadi kacau, sehingga akan menyimpang  dari  tujuan  yang  saya  maksud.
Hal  lain  yang  menahan  saya  hanya  pada  batas-batas  sejarah hidup ini, ialah  karena  indahnya dan besarnya peristiwa itu, sehingga yang lainpun rasanya akan tertutup karenanya. Alangkah besarnya Abu Bakr! Alangkah besarnya Umar! Keduanya  dalam  masa  Khilafat  mereka  masing-masing  merupakan  cahaya  bintang  sehingga  yang  lain tertutup karenanya. Betapa besarnya  sahabat-sahabat dahulu  itu mendampingi  Muhammad, dibuktikan oleh generasi demi generasi dan yang  kemudian  menjadi  kebanggaan  generasi  itu!  Akan  tetapi - selama  masa hidup  Nabi - mereka  semua  masih  dapat  bernaung di  bawah  kebesarannya,  masih mendapat  percikan sinarnya.
Bagi  orang  yang  menyelidiki sejarah hidup Rasul, tidak mudah akan dapat   meninggalkan   hal   itu   untuk   berpindah  ke soal yang lain. Hal ini terasa sekali apabila  pembahasan  demikian  ini  didasarkan  kepada  metoda  ilmiah  yang baru,  seperti  yang  akan  saya  coba  ini;  yang  dengan  metoda  itu  pula  justru kelak akan terlihat kebesaran Muhammad, kebesaran yang sekaligus menguasai pikiran,  hati  nurani  dan  perasaan  manusia,   dan   menanamkan   rasa  hormat karenanya,  hormat  dan  percaya  betapa kuatnya kebesaran itu, yang dalam hal ini  baik  bagi  Muslim  atau non-Muslim  tidak  akan  berbeda  pendapat.
Penyelidikan  Berguna  bagi  Seluruh  Umat  Manusia
Kalau kita ke sampingkan mereka yang masih fanatik dan keras kepala, yang dalam merendahkan kebesaran Muhammad sudah menjadi kebiasaan mereka,  seperti  yang  dilakukan  oleh  kaum misi penginjil dan sebangsanya, maka rasa hormat akan kebesaran dan percaya akan kuatnya kebesaran itu akan kita baca jelas sekali dalam buku-buku sarjana-sarjana Orientalis. Dalam Heroes and Hero Worship, Carlyle membicarakan satu pasal tentang Muhammad yang digambarkannya sebagai percikan sinar Ilahi yang kudus yang telah diberikan kepadanya, kemudian dilukiskannya rasa hormat atas kebesaran yang luarbiasa kuatnya itu. Demikian juga Irving, Sprenger, Weil dan Orientalis lainnya, masing-masing dapat menggambarkan kebesaran Muhammad dengan  cara  yang kuat sekali. Apabila salah seorang di antara mereka itu, dalam memasuki beberapa masalah masih menganggap ada suatu kekurangan pada diri pembawa risalah Islam itu, maka tidak lain itu hanya karena mereka belum lagi mengujinya dan meneliti  secara  ilmiah  yang  lebih  saksama,  atau karena mereka berpegang pada beberapa buku sejarah atau tafsir yang masih diragukan kebenaran sumbernya, dengan melupakan bahwa buku-buku biografi yang pertama itu baru dua abad kemudian sesudah masa Muhammad ditulis orang, dengan menyelip-nyelipkan, -baik dalam sejarah atau dalam ajaran-ajarannya,- Israiliat (dongeng-dongeng Judaica)  dan  ribuan hadis-hadis palsu. Meskipun kaum Orientalis itu mengakui  kenyataan  ini,  namun  mereka  tidak mau mengakui kelalaiannya sendiri  untuk  dapat  menentukan  sesuatu  yang  dianggapnya  benar  itu;  padahal dengan sedikit  penelitian  saja sudah  akan  dapat ditolak. Di antaranya soal gharaniq misalnya, soal Zaid dan Zainab, soal perkawinan atau isteri-isteri Nabi, yang justru akan  menjadi  bahan  pengujian  dan  penelitian  dalam  buku ini.
Sungguhpun begitu saya tidak beranggapan bahwa saya sudah sampai ke tujuan terakhir dalam menyelidiki sejarah hidup Muhammad. Bahkan  barangkali  akan  lebih  tepat  bila  saya  katakan, bahwa saya baru dalam taraf permulaan mengadakan penyelidikan dengan metoda ilmiah  yang  baru  ini,  dalam  bahasa  Arab.   Segala  daya upaya yang saya gunakan dalam hal ini tidak lepas dari, bahwa  buku ini baru merupakan taraf permulaan dalam penyelidikan Islam dari segi ilmiahnya. Bilamana sudah ada sarjana-sarjana dan ahli-ahli sejarah yang mengkhususkan diri menyelidiki salah satu kurun (perioda) dalam sejarah - seperti   Aulard9  yang  khusus  menyelidiki  sejarah  revolusi  Perancis  dan beberapa sarjana lain yang juga menyelidiki masa-masa tertentu dalam sejarah pelbagai bangsa maka patut sekali bila atas biografi Muhammad ini secara khusus juga diadakan penyelidikan ilmiah yang menyeluruh, yang dapat dilakukan oleh kaum cendekiawan,  yang khusus pula dalam bidangnya masing-masing. Tidak sangsi lagi saya, bahwa pengkhususan dan penyelidikan ilmiah untuk  waktu  yang begitu singkat dalam sejarah tanah Arab serta hubungannya dengan aneka macam bangsa  waktu  itu, hasilnya akan berguna sekali, bukan saja bagi Islam dan umat Islam, tetapi juga untuk seluruh dunia. Dari segi psikologi dan kehidupan rohani hal ini akan merupakan masalah yang berguna sekali bagi  ilmu  pengetahuan,  di  samping  penerangan yang akan diperoleh dari segi-segi kehidupan sosial, etika dan hukum. Dalam menghadapi masalah  ini  ilmu  pengetahuan  masih saja maju-mundur, terpengaruh oleh pertentangan agama - Islam dan Kristen - serta adanya usaha-usaha yang sia-sia hendak melakukan westernisasi terhadap orang Timur atau kristenisasi terhadap kaum Muslimin, suatu hal yang telah menghasilkan kegagalan  dan  kekecewaan   generasi  demi  generasi, dan di mana-mana telah menimbulkan pengaruh yang buruk dalam hubungan umat manusia satu sama lain.
Dengan melihat lebih jauh dari semua itu saya berpendapat, bahwa penyelidikan demikian sudah seharusnya akan mengantarkan umat manusia ke jalan  peradaban  modern  yang  selama ini dicarinya. Apabila pihak Nasrani di Barat  merasa  terlalu  besar  akan mendapatkan cahaya baru itu dari Islam dan dari  Rasulnya,  lalu  menantikan  cahaya  itu  akan datang dari teosofi India dan dari  pelbagai  macam  aliran  Timur  Jauh  lainnya, maka orang-orang di Timur, baik umat Islam, Yahudi atau Kristen, sudah  layak  sekali  mengadakan  penyelidikan  berharga  ini dengan sikap   yang  bersih dan jujur - yakni satu-satunya cara yang akan mencapai kebenaran.
Cara pemikiran Islam -yang pada dasarnya adalah pemikiran ilmiah menurut metoda modern dalam hubungan manusia dengan lingkungan hidup sekitarnya, yang  dari  segi  ini  realistik sekali berubah menjadi pemikiran  yang  subyektif, yang  bersifat  pribadi,  ketika masalahnya menjadi hubungan manusia dengan alam  semesta  dan  Pencipta  alam.
Dengan demikian, dari segi psikologi dan kerohanian, timbullah pengaruh-pengaruh, yang di dalam menghadapinya ilmu pengetahuan sendiri jadi kebingungan, tak dapat mengiakan atau meniadakannya. Dengan demikian ia lalu tidak menganggapnya sebagai kenyataan-kenyataan ilmiah. Sungguhpun begitu kenyataan  ini  menjadi  sendi  kebahagiaan  hidup  manusia  dan  merupakan unsur formatif dalam tingkah-lakunya. Apakah hidup itu? Apa pula hubungan manusia  dengan  alam  semesta  ini?   Apa  yang  menggairahkan hidupnya. Apakah arti kepercayaan bersama, yang  memberikan  kekuatan moril dalam masyarakat, yang dengan lemahnya  kepercayaan  bersama itu, masyarakatpun akan  turut  pula  menjadi  lemah?  Apakah wujud itu?  Dan  apa  pula  kesatuan  wujud itu?  Bagaimana kedudukan  manusia  dalam  kesunyian  dan  eksistensinya?
Masalah-masalah demikian ini berada di bawah kekuasaan logika abstraksi yang  sudah mempunyai bahan literatur yang begitu berlimpah-limpah banyaknya. Akan tetapi, dalam menyampaikan manusia kepada kebahagiaannya, pemecahannya  akan  lebih  dekat  kita  peroleh dalam kehidupan dan ajaran-ajaran Muhammad daripada dalam logika abstraksi, yang  selama  berabad-abad  sejak  dinasti  Abbasia,  kaum  Muslimin  telah menghabiskan umurnya untuk itu. Demikian juga orang-orang di Barat,  selama  tiga abad sejak abad ke-16 hingga abad ke-19 mereka telah menghabiskan umur mereka - kecuali ilmu pengetahuan modern - yang  berakhir  membawa  nasib  Barat seperti yang dialami kaum Muslimin masa lampau. Seperti pada masa lampau, masa kinipun ilmu itu kemudian terancam akan terbentur pula tanpa  dapat  memberikan  kebahagiaan  kepada  umat manusia.
Maka tak ada jalan lain kiranya untuk mencapai kebahagiaan hidup kecuali dengan kembali mencari hubungan subyektif dengan alam ini sebaik-baiknya  serta  dengan Pencipta alam ini, Yang tak terikat oleh ruang dan waktu, Yang mutlak dalam kesatuan yang tak berubah-ubah, selain dalam arti nisbi dalam hubungannya dengan hidup kita yang singkat ini.   Sudah tentu, sejarah hidup Muhammad ini adalah  contoh  terbaik dalam mengadakan studi tentang hubungan subyektif dalam arti teori, atau dalam arti praktek, bagi orang yang mempunyai kemampuan ke arah itu. Mengingat jauhnya jarak dalam arti hubungan Ilahi, seperti yang telah dianugerahkan Tuhan kepada Rasulullah, maka orang akan dapat mencoba hal itu pada taraf permulaan. Menurut hemat saya, kedua macam studi ini  bila sudah dapat disesuaikan  akan dapat mengangkat martabat dunia kita sekarang ini dari lembah paganisma, menurut kepercayaan agama  dan  pengetahuan masing-masing; paganisma yang telah membuat harta satu-satunya tempat pujaan (mammonisma), dengan meremehkan nilai-nilai seni, ilmu, moral dan bakat manusia. Bisa jadi penye-suaian  demikian  ini  masih  jauh.   Akan  tetapi  adanya gejala-gejala akan lenyapnya paganisma yang sekarang menguasai dunia kita, mengemudikan  kebudayaan  yang  berkuasa sekarang, tampak jelas sekali bagi setiap orang yang mau mengikuti jalannya sejarah dan peristiwa-peristiwa  dunia.
Apabila secara khusus dipelajari sungguh-sungguh sejarah hidup Muhammad  itu sebagai Nabi serta ajaran-ajarannya, masanya dan revolusi rohani yang  dibawanya  yang  telah  tersebar  ke seluruh dunia, barangkali gejala-gejala ini akan makin jelas di depan mata dunia, bahwa masalah-masalah rohani ini adalah  timbul  dari  pengaruh yang ditinggalkannya. Jika studi ilmiah dan studi yang  subyektif  mengenai  tenaga  umat  manusia  yang  masih tersimpan ini, dapat menambah hubungan  umat  manusia  dengan  hakikat  alam  yang  lebih  tinggi,  maka  itu sudah merupakan perletakan batu pertama  dalam  sendi  peradaban  modern.
Buku inipun tidak lebih adalah sebagai usaha permulaan kearah itu, seperti  sudah  saya  sebutkan.   Kiranya cukuplah bagi saya bilamana buku ini dapat meyakinkan orang, dapat meyakinkan para sarjana dan ahli-ahli akan pentingnya spesialisasi dan pengkhususan guna mencapai tujuan dalam  menyelidiki  sesuatu  bidang itu.  Andaikata usaha ini dapat memberi hasil kepada salah satu atau kedua tujuan itu, inipun sudah merupakan  imbalan  yang  cukup  besar  terhadap  daya  upaya  yang saya lakukan.   Dan Allah jualah yang akan membalas jasa mereka yang telah  berbuat  kebaikan.
Catatan kaki:  [1] Gelar raja-raja keluarga Sasani di Iran, dalam literatur Islam biasa disebut Kisra (Khosrau, Khosroes). Kisra I Anusyirwan, putera Kavadh I yang berperang melawan Bizantium di bawah Yustinianus. Kisra II Parvez, putera Ormizd IV dan cucu Kisra I menyerang Anatolia dan Suna sampai di Bosporus. Syahrvaraz dapat menaklukkan Damaskus dan Yerusalem dan Salib Besar (The True Cross) diambil, kemudian Heraklius dapat mengalahkan Persia di Niniveh (626). Kisra lari ke Ctesiphon (Mada'in). Ia dipenjarakan oleh anaknya Kavadh II (Syiruya) dan empat hari kemudian dibunuh (628) dalam penjara (A). [2] Dalam buku A J. Butler The Arab Conquest of Egypt penulis itu menyebutkan bahwa nama panglima itu Khoriyam dan bahwa nama Shahravaas atau Shahrabaraz atau Sheravizeh dan lain-lain, yang terdapat dalam pelbagai buku hanyalah suatu perubahan saja dari nama Persia, Shahar dan Wazar sebagai suatu gelar yang berarti "Babi Hutan Sang Raja" sebagai lambang kekuatan dan keberanian. Gambarnya dilukiskan dalam cincin Persia Lama dan juga dalam cincin Armenia (Lihat The Arab Conquest of Egypt, p. 53)  [3] Sebuah kota di Suriah, terletak 106 km. Selatan Damsyik berbatasan dengan Yordania. Dalam sejarah lama kota ini dikenal dengan nama Edrei. Sekarang dilcenal dengannama Dar'a (A). [4] Bushra atau Bostra, sebuah kota lama di Hauran, barat daya Suria, kira-kira 106 km dari Damsyik dan 35 km. dari Adhri'at (A).  [5] Emile Dermenghem, La Vie de Mahomet, halaman 135 dan berikutnya.
[6] Az zamani, harfiah mengenai zaman, mengenai tempo, yang secara termenologi berarti temporal. Untuk menghindarkan adanya perbedaan semantik, yang juga dapat diartikan "sementara, duniawi" atau "sekular" maka di sini saya mempergunakan istilah secara harfiah (A).  [7] Teosofi adalah suatu ajaran yang ditanamkan oleh Madame Blavatsky dari bermacam-macam agama terutama Buddha dan Brahma. Ajaran ini mendirikan sebuah organisasi di Amerika dipimpin oleh Madame Blavatsky sendiri, bernama The Theosophical Society, dan cabang-cabangnya tersebar di beberapa tempat di Eropa. Tetapi begitu Madame Blavatsky meninggal, organisasi Teosofl inipun pecah menjadi tiga. Aktifitasnya didasarkan kepada adanya kesatuan hidup dengan mengadakan semacam latihan mistik untuk mencapai Nirwana menurut ajaran Buddha. Tingkat ini dapat dicapai bilamana dalam latihannya itu orang sudah benar-benar dapat memisahkan ruh dari pengaruh hidup kebendaan. Apabila dengan demikian ruh sudah mencapai tempat yang suci, maka ruh yang lebih tinggi dapat menghubunginya. Ajaran Teosofi menyerukan persaudaraan secara menyeluruh, tanpa membeda-bedakan bangsa, bahasa dan segala yang akan membatasi manusia dari tujuan tersebut. [8] Buku Muir ini terdiri dari dua edisi, aslinya dengan judul The Life of Mahomet and the History of Islam (1858) 4 jilid. Kemudian diringkaskan oleh T.H. Weir dengan judul The Life of Mohammad from Original Sources (1923) (A). [9] A. Aulard pengarang Histoire Politique de la Revolution Francaise mengkhususkan penulisan sejarah revolusi Perancis untuk masa 15 tahun saja (1789 - 1804) dalam 4 jilid (A).
PENGANTAR CETAKAN KEDUA
CETAKAN pertama buku ini habis lebih cepat dari yang diduga semula  Buku  yang  diterbitkan  10.000  buah  ini  sepertiganya  telah habis dipesan ketika sedang dicetak, sedang selebihnya habis dalam waktu tiga bulan setelah buku terbit.  Sambutan  yang  diberikan  atas buku ini menunjukkan adanya perhatian dari para pembaca,  terutama terhadap penyelidikan yang saya lakukan ini. Oleh karena itu, untuk  cetakan  ulangan sudah harus dipikirkan, isinya perlu ditinjau kembali.  Timbulnya  sambutan  itu  sudah  tentu  karena  persoalan yang ada dalam buku ini. Boleh jadi metoda yang dipergunakan memecahkan persoalan-persoalan itu berpengaruh  juga  atas  adanya  sambutan  ini. Tetapi apapun yang menjadi sebabnya, saya bertanya-tanya di dalam hati ketika terpikir akan menghadapi  cetakan  kedua  ini:  Akan diulang sajakah seperti apa adanya pada cetakan  pertama,  tanpa  ditambah  atau  dikurangi,  ataukah  harus  saya tinjau lagi dengan mengadakan revisi, penambahan  atau  koreksi  lagi,  mana-mana  yang  ternyata  perlu  dilakukan?
Beberapa orang yang sangat saya hargai pendapatnya menyarankan supaya cetakan  kedua  ini  sama seperti cetakan pertama, supaya  mereka  yang  memiliki  dua  macam  cetakan ini sama adanya, dan supaya waktu buat sayapun cukup  terluang  dalam mengadakan koreksi dan revisi nanti sesudah cetakan kedua ini.  Saran  ini  hampir-hampir saya terima. Kalaupun saran ini juga yang saya terima, tentu cetakan  kedua  ini  sejak beberapa bulan yang lalu sudah berada di tangan pembaca. Tetapi saya masih maju-mundur juga menerima pendapat ini. Kemudian karena beberapa  pertimbangan, akhirnya saya mengambil keputusan, bahwa memang penting  rasanya  mengadakan  revisi  dan  tambahan.
Pertimbangan pertama dalam hal ini ialah karena adanya bebeberapa catatan yang. diberikan oleh Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi, Rektor Al-Azhar,  kepada saya,  ketika sebagian yang sudah selesai dicetak dari buku ini saya perlihatkan kepadanya.  Kemudian  beliau  berkenan pula memberikan kata perkenalan seperti pada  permulaan buku ini.
Sesudah kemudian buku ini terbit, beberapa pengarang dan ulamapun  memberikan  pula  tanggapan  dan  pendapat  mereka yang baik sekali melalui surat-surat kabar, majalah dan radio. Semua tanggapan itu  disertai  dengan  pujian  yang  tidak  sedikit  pula  ditujukan kepada usaha yang saya lakukan ini, yang saya rasa  tidak  seharusnya  saya menerima semua penghargaan demikian itu. Dan yang pertama saya harapkan  ialah jangan sampai buku tentang Nabi ini tercampur dengan  hal-hal  yang  kurang layak, sementara pengarang dengan karangannya itu berhasil,  sehingga dapat diterima dan dapat dihargai orang. Oleh karena itu saya sangat memperhatikan sekali tanggapan itu. Adanya penghargaan dan sambutan demikian ini agaknya telah menyebabkan timbulnya beberapa pendapat yang bertolak dari masalah-masalah  pelengkap  saja, yang tak ada hubungannya dengan sumber-sumber yang terdapat -atau dengan pokok persoalan yang ada- dalam buku ini. Misalnya ada yang meminta  supaya  beberapa  masalah yang dianggap  perlu  dijelaskan  diberi  penjelasan  lebih  lanjut;  yang  lain minta supaya diteliti lebih banyak lagi mengenai pemakaian kata-kata perangkai, atau juga diusulkan mengenai  beberapa  kata  pengganti  yang  lain,  yang menurut hemat para pengusul akan lebih tepat dalam mengungkapkan arti yang dikehendaki. Tetapi ada lagi pendapat yang lebih ditujukan pada inti pembahasan  dalam buku ini, yang membuat saya lebih banyak lagi memikirkan dan mengoreksinya.  Alangkah  besarnya  keinginan  saya  supaya   cetakan   kedua   ini  lebih  mendekati  kehendak  sarjana-sarjana dan  ulama  itu semua, meskipun saya  sendiri  menganggap  penyelidikan  ini -seperti saya sebutkan dalam prakata - hanya sebagai langkah permulaan  saja dalam bidang ini dengan  bahasa  Arab  yang diolah menurut metoda baru.
Hal lain yang menyebabkan saya mengadakan revisi dan tambahan-tambahan  dari  cetakan  pertama  ini  ialah  setelah saya membaca kembali buku tersebut  dan  sesudah  mempelajari  beberapa  pendapat  yang  saya  terima,  yang memang  sebagian  sudah  saya sadari ketika saya sedang menulis. Kemudian juga saya dapat menerima alasan perlunya mengadakan  pengamatan  lebih  luas  sesuai  dengan  yang   diusulkan  itu guna meyakinkan mereka sehubungan  dengan   pendapat  dan  argumentasi saya. Koreksi-koreksi yang saya  lakukan  untuk  maksud  tersebut   telah  membawa  beberapa  masalah  yang  patut  direnungkan  dan  patut  digarap  oleh  setiap  penulis  biografi  Nabi.
Kalaupun pada cetakan pertama itu saya bergembira karena adanya tanggapan-tanggapan  yang  sampai kepada saya, maka sekali inipun lebih-lebih lagi saya merasa gembira, karena saya masih akan mengadakan penyelidikan-penyelidikan  itu  lebih  luas  lagi.  Hal ini saya anggap  perlu  sekali  mengingat  studi  pendahuluan  yang  saya  lakukan ini menyangkut sejarah hidup seorang manusia terbesar yang pernah  dikenal  sejarah, Nabi dan Rasul terakhir -selawat dan salam baginya.
Pada pengantar cetakan kedua ini saya berusaha mengadakan pengamatan  terhadap  beberapa  tanggapan  tentang metoda penyelidikan yang saya kemukakan pada cetakan pertama. Pada bagian terakhir buku ini  saya  tambahkan  dua pasal mengenai beberapa persoalan yang secara sepintas-lalu sudah disinggung  juga  pada  bagian  penutup  cetakan pertama. Demikian juga beberapa revisi dan tambahan saya lakukan mana-mana  yang  saya anggap perlu direvisi  dan  ditambah  dalam  teks  buku  itu,  sesuai  dengan  koreksi-koreksi  dan  beberapa  pertimbangan saya sekalian guna melengkapi penyelidikan dan memenuhi  beberapa  tanggapan  yang  sudah  pernah  disampaikan.
Pembela-Pembela  Orientalis
Yang mula-mula saya terima sebagai sanggahan ialah adanya sebuah karangan  yang  disampaikan kepada saya oleh seorang penulis bangsa Mesir yang  menyebutkan, bahwa itu adalah sebuah terjemahan bahasa  Arab  dari  artikel  yang dikirimkannya ke sebuah majalah Orientalis berbahasa Jerman, sebagai  kritik  atas  buku  ini.  Artikel  ini tidak saya  siarkan dalam surat-surat kabar berbahasa Arab, karena isinya hanya berupa kecaman-kecaman yang tidak berdasar. Oleh karena itu terserah  kepada  penulisnya  jika  mau  menyiarkannya  sendiri.   Saya rasa  nama  orang  itupun  tidak  perlu  disebutkan  dalam  pengantar  ini dengan keyakinan bahwa dia sudah akan mengenal identitasnya sendiri sesudah membaca sanggahannya itu dimuat di sini. Artikel itu ringkasnya ialah bahwa  penyelidikan  yang  saya  lakukan  tentang  peri  hidup Muhammad ini bukan suatu penyelidikan ilmiah dalam arti modern, sebab saya hanya berpegang pada sumber berbahasa Arab saja, tidak pada penyelidikan-penyelidikan kaum Orientalis sebangsa Weil, Goldziher, Noldeke dan yang lain; bukan mengambil dari hasil penyelidikan mereka, dan  karena  saya  menganggap  Qur'an sebagai dokumentasi sejarah yang sudah tidak diragukan, padahal studi Orientalis-orientalis itu  menunjukkan  bahwa  Qur'an  sudah diubah dan diganti-ganti setelah Nabi wafat dan pada permulaan sejarah Islam, dan bahwa nama Nabipun pernah diganti. Semula bernama "Qutham" atau "Quthama." Sesudah itu kemudian diganti menjadi "Muhammad" untuk disesuaikan dengan bunyi ayat,  "Dan membawa berita gembira kedatangan seorang rasul sesudahku, namanya Ahmad," sebagai isyarat yang terdapat dalam Injil tentang nabi yang akan datang sesudah Isa. Dalam keterangannya penulis itu menambahkan bahwa penyelidikan kaum Orientalis itu juga menunjukkan, bahwa Nabi menderita penyakit ayan, dan apa yang disebut wahyu yang diturunkan kepadanya itu tidak lain adalah akibat gangguan ayan yang menyerangnya; dan bahwa gejala-gejala penyakit ayan itu terlihat pada Muhammad ketika sedang tidak sadarkan diri, keringatnya mengalir disertai kekejangan, dari mulutnya keluar busa. Bila sudah kembali ia sadar dikatakannya bahwa yang diterimanya itu adalah wahyu, lalu  dibacakan  kepada  mereka  yang  percaya  pada  apa  yang  diduga wahyu  dari  Tuhan  itu.
Sebenarnya  saya  tidak  perlu  menghiraukan  karangan  semacam ini atau pada  sanggahannya  kalau  tidak karena penulisnya itu seorang Mesir dan Muslim pula.  Andaikata penulisnya itu seorang Orientalis atau misi  penginjil, akan saya biarkan  saja  ia  bicara menurut kehendak nafsunya  sendiri.   Apa yang sudah saya sebutkan  pada  kata  pengantar dan dalam teks buku ini sudah cukup sebagai argumen yang akan menggugurkan  pendapat  mereka  itu.  Bagaimanapun  juga  penulis  surat ini  adalah  sebuah  contoh dari sebagian pemuda-pemuda dan orang-orang Islam yang begitu saja menyambut baik segala apa yang dikatakan pihak  Orientalis  dan  menganggapnya   sebagai   hasil   yang  benar-benar ilmiah, dan berdasarkan  kebenaran  sepenuhnya.  Kepada mereka itulah tulisan ini saya alamatkan  sekadar  mengingatkan  tentang adanya kesalahan yang telah dilakukan  oleh  kaum Orientalis. Ada pula kaum Orientalis yang memang jujur dalam penyelidikan mereka,  meskipun  tentunya   tidak  lepas  dari  kesalahan  juga.
Sebab-Sebab  Kesalahan  Orientalis
Kesalahan-kesalahan demikian itu terselip dalam penyelidikannya kadang disebabkan oleh  kurang  telitinya memahami liku-liku bahasa Arab, kadang juga karena  adanya  maksud yang tersembunyi dalam jiwa sebagian sarjana-sarjana itu, yang tujuannya hendak menghancurkan sendi-sendi salah satu agama, atau semua agama.  Ini  adalah  sikap berlebih-lebihan yang selayaknya dihindarkan saja oleh kalangan cendekiawan. Kita melihat ada juga orang-orang Kristen yang begitu  terdorong  oleh sikap berlebih-lebihan ini sampai mereka mengingkari bahwa  Isa pernah ada dalam sejarah.  Yang lain kita lihat bahkan sudah melampaui  batas-batas  yang  berlebih-lebihan itu dengan menulis tentang Isa yang  sudah  gila  misalnya.
Timbulnya  pertentangan antara gereja dengan negara di Eropa itu telah pula menyebabkan  kalangan  sarjana di satu pihak dan kaum agama di pihak lain hendak saling  mencari  kemenangan  dalam  merebut  kekuasaan.
Sebaliknya Islam, sama sekali bersih dari adanya pertentangan serupa itu. Hendaknya mereka yang mengadakan penyelidikan di kalangan Islam dapat menghindarkan diri dari kekuasaan nafsu demikian ini, yang sebenarnya telah menimpa  orang-orang Barat, dan sering menodai penyelidikan sarjana-sarjana itu. Juga  hendaknya  mereka berhati-hati bila mempelajari hasil yang datang dari Barat, yang berhubungan dengan masalah-masalah agama. Segala sesuatu yang telah  dilukiskan  oleh para sarjana sebagai suatu kebenaran, hendaklah diteliti lebih seksama.  Banyak di antaranya yang sudah terpengaruh begitu jauh, sehingga telah  menimbulkan permusuhan antara orang-orang agama dengan kalangan  ilmu  pengetahuan  secara  terus-menerus  selama  berabad-abad.
Buku Biografi Penulis-Penulis Islam Sebagai Pegangan
Apa  yang disebutkan dalam karangan si Muslim berbangsa Mesir yang saya ringkaskan itu sudah suatu bukti perlunya ada sikap berhati-hati. Pertama-tama ia menyalahkan  saya  karena  saya  masih berpegang pada sumber-sumber Arab sebagai dasar  penyelidikan  saya; dan ini memang tidak saya bantah. Sungguhpun begitu buku-buku kalangan Orientalis seperti yang saya sebutkan dalam  bibliografi,  juga saya  pakai.  Akan tetapi, sumber-sumber bahasa Arab selalu saya pergunakan sebagai  dasar  pertama  dalam  pembahasan  ini.  Dan sumber-sumber  bahasa Arab ini jugalah yang dipakai sebagai dasar pertama dalam  penyelidikan-penyelidikan  kaum  Orientalis  itu  semua.
Ini  wajar sekali.  Sumber-sumber tersebut - terutama sekali Qur'an - adalah yang  pertama  sekali  bicara  tentang  sejarah  hidup Nabi. Sudah tentu itu jugalah yang menjadi pegangan dan dasar bagi setiap orang yang ingin menulis biografi dengan gaya dan metoda sekarang. Baik Noldeke, Goldziher, Weil, Sprenger, Muir atau  Orientalis lain semua berpegang pada sumber-sumber itu juga dalam penyelidikan  mereka,  seperti  yang saya lakukan ini. Dalam membuat pengamatan dan  kritik,  mereka menempuh cara yang bebas, demikian juga saya. Dalam hal ini juga  saya  tidak mengabaikan beberapa sumber buku Kristen yang lama-lama yang menjadi pegangan mereka, sekalipun mereka masih terdorong oleh fanatisma agama Kristen,  dan  samasekali  bukan  oleh  kritik  ilmiah.
Kalau ada orang yang menyalahkan saya karena saya tidak terikat oleh kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh beberapa kaum Orientalis itu, atau karena saya sampai hati tidak sependapat dengan mereka dan malah melakukan kritik  terhadap  mereka,  maka  dalam bidang ilmiah yang demikian itu adalah suatu pendirian yang beku sekali, yang tidak kurang pula beku dan kolotnya dari pendirian  yang bagaimanapun dalam bidang intelektual ataupun rohani. Saya rasa tidak seorangpun dari kalangan Orientalis itu sendiri yang akan menyetujui sikap beku  demikian  itu dalam bidang ilmiah. Andaikata ada di antara mereka yang dapat membenarkan sikap demikian, tentu ia akan membenarkan juga sikap beku itu dalam bidang  agama.
Tidak saya inginkan dua hal ini terjadi, baik terhadap diri saya atau terhadap siapapun yang mau bekerja dalam penyelidikan sejarah atas dasar ilmiah yang sebenarnya. Apa yang saya lakukan dan saya ajak orang lain akan dapat melakukannya  ialah  mengamati  hasil-hasil  studi yang dilakukan orang lain itu. Apabila  ia  sudah  merasa  puas  oleh  pembuktian  yang  meyakinkan,  maka  tentu itulah yang kita harapkan. Kalau tidak, lakukan sendirilah supaya ia dapat mencapai  kebenaran  itu  dengan  keyakinan  bahwa  ia  sudah  berhasil.
Ke arah inilah saya ajak pemuda-pemuda kita dan orang-orang yang mengagumi  hasil-hasil  penyelidikan  kaum Orientalis itu, dan memang ini pula yang saya lakukan. Saya akan merasa sudah mendapat imbalan sebagai orang yang berhasil,  sekiranya  pekerjaan  ini memang sudah tepat; sebaliknya saya akan dapat dimaafkan  kiranya  sebagai  orang  yang mencari kebenaran dengan tujuan  yang  jujur  dalam  menempuh  jalan  itu,  jika  ternyata  saya  salah.
Orientalis  dan  Ketentuan-Ketentuan  Agama
Sebagai bukti atas agitasi  beberapa kaum Orientalis yang ingin menghancurkan  ketentuan-ketentuan  agama  dengan cara-cara mereka yang berlebih-lebihan itu, ialah pendirian si Muslim bangsa Mesir yang telah menulis karangan tersebut,  bahwa hasil-hasil studi kaum Orientalis itu menunjukkan, bahwa Qur'an bukan suatu dokumen sejarah yang tidak boleh diragukan, dan bahwa Qur'an sudah diubah-ubah setelah  Nabi  wafat  dan pada masa permulaan sejarah Islam, yang dalam pada itu lalu ditambah-tambah dengan ayat-ayat untuk maksud-maksud agama atau politik.  Saya  bukan  mau  berdiskusi  atau  mau berdebat  dengan  penulis karangan itu dari segi Islamnya dia sebagai Muslim - atas apa yang sudah ditentukan oleh Islam, bahwa Qur'an itu Kitabullah, yang takkan dikaburkan oleh kepalsuan,  baik  pada  mula  diturunkan  atau  kemudian  sesudah itu.  Dia  sependirian  dengan  golongan  Orientalis, bahwa Qur'an dikarang oleh Muhammad,  padahal dia percaya juga, bahwa Kitab itu adalah wahyu Allah kepada Muhammad seperti pendapat beberapa kaum Orientalis, dan karena ingin menguatkan isi karangannya atas apa yang disebutnya itu, dikatakannya  bahwa  Qur'an menurut pendapat yang sebagian lagi adalah memang wahyu Allah.  Jadi  baiklah saya berdialog dengan dia menurut bahasanya atas  dasar  dia  sebagai  orang  yang  berpikir  bebas,  yang  tidak  mau  terikat oleh apapun kecuali atas dasar yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan dengan  cara  yang  benar-benar  meyakinkan.
Qur'an  tidak  Diubah-Ubah
Ia percaya sekali kepada kaum Orientalis dan kepada pendapat mereka. Memang ada segolongan Orientalis yang beranggapan seperti yang dikutipnya itu. Tetapi anggapan mereka ini menunjukkan, bahwa mereka terdorong oleh maksud-maksud yang tak ada hubumgannya dengan ilmu pengetahuan. Hal ini sudah bukan rahasia lagi. Sebagai bukti, cukup apa yang mereka katakan, bahwa versi "Dan membawa berita gembira dengan kedatangan seorang rasul sesudahku, namanya Ahmad," yang tersebut dalam Surah "Ash-Shaf" (61) ayat 6, adalah ditambahkan sesudah Nabi wafat untuk dijadikan bukti atas kenabian Muhammad dan Risalahnya dari Kitab-kitab Suci sebelum Qur'an.
Andaikata yang berpendapat demikian ini dari kalangan Orientalis yang benar-benar jujur demi ilmu pengetahuan, tentu tidak perlu mereka bersandar kepada argumen  semacam  itu,  yang bagi mereka juga berlaku bahwa Bible itu memang kitab-kitab suci. Kalau mereka memang mau mencari ilmu untuk ilmu, tentu akan mereka samakan Qur'an dengan kitab-kitab suci sebelum itu, yakni menganggapnya sebagai kitab suci juga dengan menyebutkan, bahwa kitab-kitab suci yang sudah dikenal orang sebelumnya  adalah  wajar, tak perlu lagi dibantah, atau menganggap kitab-kitab suci itu  semua  sama juga dengan anggapannya terhadap Qur'an. Terhadap keduanya itu pendapat merekapun tentu akan serupa, dengan menentukan bahwa  itu  diadakan  untuk maksud-maksud agama atau politik tertentu juga. Andaikata  memang ini pendapat mereka, maka selesailah sudah logika demikian itu. Pendirian  mereka  tentang  adanya  perubahan  dalam Qur'an untuk maksud politik dan  agama  tadi,  dengan  sendirinya  jadi  gugur  pula.
Bagi kaum Muslimin tidak perlu lagi mencari bukti dari kitab-kitab suci itu sesudah  raja-raja  mereka  dan imperium Kristen seperti juga bangsa-bangsa lain di dunia menerimanya dan sesudah orang-orang Kristen sendiri beramai-ramai, bahkan bangsa-bangsa  secara keseluruhan, menganut agama Islam. Inilah logika yang berlaku  bagi  penyelidikan  yang  murni  ilmiah.
Adapun adanya anggapan Taurat dan Injil itu kitab-kitab suci dan menolak sifat demikian pada Qur'an, maka ini adalah hal yang tak diterima oleh ilmu pengetahuan. Sedang  pendapat yang mengatakan adanya perubahan dalam Qur'an karena bukti dari  Taurat dan Injil, itu adalah omong-kosong, tidak pula diterima oleh logika.
Dari kalangan Orientalis yang paling fanatik sekalipun, sedikit sekali yang beranggapan seburuk itu. Sebaliknya sebagian besar mereka sepakat, bahwa Qur'an  yang  kita  baca  sekarang  ini,  itu  jugalah  Qur'an  yang  dibacakan  oleh Muhammad  kepada  kaum  Muslimin  semasa  hidupnya,  tanpa  suatu   cacat  atau perubahan apapun.- Mereka ingin sekali menyebutkan hal ini, sekalipun - dalam bentuk kritik - mereka  kaitkan dengan cara pengumpulan Qur'an dan penyusunan  Surah-surah  yang  pembahasannya  tentu  di  luar  bidang  studi  ini.
Kalangan  Muslimin sendiri yang sudah mencurahkan perhatiannya dalam seluk-beluk  ilmu  Qur'an  telah  menerima  bermacam-macam  kritik  dan sudah mereka tangkis pula. Adapun yang mengenai masalah yang kita hadapi sekarang ini, cukuplah  kalau  kita  mengutip  apa  yang  dikatakan  kalangan  Orientalis sendiri dalam  hal  ini,  kalau-kalau  si  Muslim   Mesir  yang  kita  bicarakan artikelnya itu akan  merasa  puas,  demikian  juga  mereka  yang masih berpikir semacam dia akan  turut  merasa  puas  pula.
Pendapat Muir
Sebenarnya apa yang diterangkan kaum Orientalis dalam hal ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh Sir William Muir dalam The Life of Mohammad supaya mereka yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah  dan  dalam  memandang  diri  mereka yang biasanya menerima begitu saja apa yang dikatakan  orang  tentang  pemalsuan  dan  perubahan Qur'an itu, dapat melihat sendiri.  Muir  adalah  seorang  penganut  Kristen  yang teguh dan yang juga berdakwah untuk itu. Diapun ingin sekali tidak akan membiarkan setiap kesempatan melakukan  kritik  terhadap  Nabi  dan  Qur'an,  dan berusaha memperkuat kritiknya.
Ketika bicara tentang Qur'an dan akurasinya yang sampai kepada kita, Sir William Muir menyebutkan: "Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa  ayat  merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang bersifat umum atau  khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang  melakukannya. Inilah sunah pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan itu pula yang telah diberitakan oleh wahyu. Oleh karena itu yang hafal Qur'an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu banyak sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai  di  antara  mereka  pada  awal masa kekuasaan Islam itu ada yang dapat membaca sampai pada ciri-cirinya yang khas. Tradisi Arab telah membantu pula mempermudah pekerjaan ini. Kecintaan mereka luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang datang dari para penyairnya tidak mudah dicapai, maka seperti dalam mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah biasa pula mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran hati mereka sendiri. Oleh karena itu daya ingat (memori) mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu mereka menerima Qur'an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup. Begitu kuatnya daya  ingat  sahabat-sahabat  Nabi,  disertai  pula  dengan kemauan yang luar biasa hendak menghafal Qur'an, sehingga mereka, bersama-sama dengan Nabi dapat  mengulang  kembali  dengan  ketelitian  yang meyakinkan sekali segala yang diketahui dari pada Nabi sampai pada waktu mereka membacanya itu."
"Sungguhpun dengan tenaga yang sudah menjadi ciri khas daya ingatnya itu,  kita  juga  bebas  untuk tidak melepaskan kepercayaan kita bahwa kumpulan itu adalah satu-satunya sumber. Tetapi ada alasan kita yang akan membuat kita yakin, bahwa sahabat-sahabat Nabi menulis beberapa macam naskah selama masa  hidupnya dari berbagai macam bagian dalam Qur'an. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Qur'an itu ditulis. Pada umumnya tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya  seorang  saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya  seorang  saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan tulis-menulis kepada kaum Anshar di Medinah, sebagai imbalannya mereka dibebaskan. Meskipun penduduk Medinah dalam pendidikan tidak sepandai penduduk Mekah, namun banyak juga di antara mereka yang pandai tulis-menulis sejak sebelum Islam. Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa ayat-ayat yang dihafal menurut ingatan yang  sangat  teliti  itu,  itu  juga  yang  dituliskan  dengan  ketelitian  yang  sama  pula."
"Kemudian kitapun mengetahui, bahwa Muhammad telah mengutus seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang sudah menganut Islam, supaya mengajarkan  Qur'an dan mendalami agama. Sering pula kita membaca, bahwa ada utusan-utusan yang pergi membawa perintah tertulis mengenai masalah-masalah agama  itu. Sudah tentu mereka membawa apa yang diturunkan oleh wahyu, khususnya  yang berhubungan dengan upacara-upacara dan peraturan-peraturan Islam  serta  apa  yang  harus  dibaca  selama  melakukan  ibadat."
Penulisan Qur'an Pada Zaman Nabi
"Qur'an  sendiripun menentukan adanya itu dalam bentuk tulisan. Begitu juga buku-buku sejarah sudah menentukan demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar, tentang adanya sebuah naskah Surat ke-20 [Surah Taha] milik saudaranya  yang  perempuan dan keluarganya. Umar masuk Islam tiga atau empat tahun sebelum Hijrah. Kalau pada masa permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling dipertukarkan, tatkala jumlah kaum Muslimin masih sedikit dan mengalami pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan sekali, bahwa naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan sudah banyak pula beredar,  ketika  Nabi  sudah  mencapai  puncak  kekuasaannya  dan  kitab  itu sudah  menjadi  undang-undang  seluruh  bangsa  Arab."
Bila Berselisih Kembali Kepada Nabi
"Demikian  halnya  Qur'an  itu semasa hidup Nabi, dan demikian juga halnya kemudian  sesudah  Nabi  wafat;  tetap  tercantum dalam kalbu kaum mukmin. Berbagai  macam  bagiannya sudah  tercatat  belaka  dalam naskah-naskah yang makin hari makin bertambah jumlahnya itu.  Kedua sumber itu sudah seharusnya benar-benar cocok. Pada waktu itu pun Qur'an sudah sangat dilindungi sekali, meskipun  pada  masa  Nabi  masih  hidup, dengan keyakinan yang luarbiasa bahwa itu adalah kalam  Allah.  Oleh  karena itu setiap ada perselisihan mengenai isinya, untuk menghindarkan adanya perselisihan demikian itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri.  Dalam  hal  ini  ada  beberapa contoh pada kita: 'Amr bin Mas'ud dan Ubayy bin Ka'b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi wafat, bila ada perselisihan, selalu  kembali  kepada  teks  yang  sudah  tertulis dan kepada ingatan sahabat-sahabat  Nabi  yang  terdekat  serta  penulis-penulis wahyu."
Pengumpulan Qur'an Langkah Pertama
"Sesudah selesai menghadapi peristiwa Musailima - dalam perang Ridda - penyembelihan Yamama telah menyebabkan kaum Muslimin banyak yang mati, di antaranya  tidak sedikit mereka yang telah menghafal Qur'an dengan baik. Ketika itu Umar merasa kuatir akan nasib Qur'an dan teksnya itu; mungkin nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka yang telah menyimpannya dalam ingatan itu, mengalami suatu hal lalu meninggal semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah Abu Bakr dengan mengatakan: "Saya kuatir sekali pembunuhan terhadap mereka yang sudah hafal Qur'an itu akan terjadi lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak lagi dari mereka yang akan hilang. Menurut hemat saya, cepat-cepatlah kita bertindak dengan memerintahkan pengumpulan Qur'an."
"Abu Bakr segera menyetujui pendapat itu. Dengan maksud tersebut ia berkata kepada Zaid bin Thabit, salah seorang Sekretaris Nabi yang besar: "Engkau pemuda yang cerdas dan saya tidak meragukan kau. Engkau adalah penulis  wahyu pada Rasulullah s.a.w. dan kau mengikuti Qur'an itu; maka sekarang  kumpulkanlah."
"Oleh  karena pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali. Ia masih meragukan gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain melakukannya. Akan tetapi akhirnya ia mengalah juga pada kehendak  Abu  Bakr  dan Umar yang begitu mendesak. Dia mulai berusaha sungguh-sungguh mengumpulkan surah-surah dan bagian-bagiannya dari segenap penjuru, sampai  dapat  juga ia mengumpulkan  yang  tadinya di atas daun-daunan,  di  atas batu  putih,  dan  yang  dihafal  orang.  Setengahnya  ada  yang  menambahkan,  bahwa  dia juga mengumpulkannya dari yang ada pada lembaran-lembaran, tulang-tulang  bahu  dan  rusuk  unta  dan  kambing.  Usaha Zaid ini mendapat sukses."
"Ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun terus-menerus, mengumpulkan semua bahan-bahan serta menyusun kembali seperti yang ada sekarang ini,  atau seperti yang dilakukan  Zaid sendiri membaca Qur'an itu di depan Muhammad, demikian orang mengatakan. Sesudah naskah pertama lengkap adanya, oleh Umar itu dipercayakan  penyimpanannya  kepada  Hafsha,  puterinya  dan  isteri Nabi. Kitab yang sudah dihimpun oleh Zaid ini tetap berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks yang  otentik  dan  sah.
"Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara membaca, yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi atau karena perubahan yang dimasukkan  ke dalam naskah-naskah itu yang disalin dari naskah Zaid. Dunia Islam  cemas  sekali  melihat  hal ini.  Wahyu  yang didatangkan dari langit itu "satu," lalu dimanakah sekarang kesatuannya?  Hudhaifa  yang  pernah  berjuang di Armenia dan di  Azerbaijan,  juga melihat adanya perbedaan Qur'an orang Suria dengan orang Irak."
Mushaf Usman
"Karena  banyaknya dan jauhnya perbedaan itu, ia merasa gelisah sekali. Ketika  itu ia lalu meminta agar Usman turun tangan. "Supaya jangan ada lagi orang berselisih tentang kitab mereka sendiri seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani." Khalifahpun dapat menerima saran itu. Untuk menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin Thabit dimintai bantuannya dengan diperkuat oleh tiga orang dari Quraisy.  Naskah  pertama  yang  ada  di  tangan  Hafsha  lalu dibawa, dan cara membaca yang berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran Islam itupun dikemukakan, lalu semuanya diperiksa kembali dengan pengamatan yang luarbiasa, untuk kali terakhir. Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya dari Quraisy itu, ia lebih condong pada suara mereka mengingat turunnya wahyu itu menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan wahyu itu diturunkan dengan tujuh dialek Arab yang bermacam-macam."
"Selesai  dihimpun, naskah-naskah  menurut Qur'an ini lalu dikirimkan ke seluruh  kota  persekemakmuran.  Yang selebihnya naskah-naskah itu dikumpulkan lagi atas perintah Khalifah lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada  Hafsha."
Persatuan  Islam  Zaman  Usman
"Maka yang sampai kepada kita adalah Mushhaf Usman. Begitu cermat pemeliharaan  atas  Qur'an itu, sehingga hampir tidak kita dapati -bahkan memang tidak kita dapati- perbedaan apapun dari naskah-naskah yang tak terbilang banyaknya,  yang tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam yang luas itu. Sekalipun akibat terbunuhnya Usman sendiri - seperempat abad kemudian sesudah Muhammad wafat - telah menimbulkan adanya kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat menggoncangkan kesatuan dunia Islam - dan memang demikian adanya - namun Qur'an yang satu, itu juga yang selalu tetap menjadi Qur'an bagi semuanya.  Demikianlah, Islam yang hanya mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata  sekali, bahwa apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah teks yang  telah  dihimpun  atas  perintah  Usman  yang  malang  itu.
"Agaknya di seluruh dunia ini tak ada sebuah kitabpun selain Qur'an yang sampai  12  abad  lamanya  tetap lengkap dengan teks yang begitu murni dan cermatnya.  Adanya  cara  membaca yang berbeda-beda itu sedikit sekali untuk sampai menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya terbatas hanya  pada  cara  mengucapkan  huruf  hidup  saja atau pada tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya  timbul  hanya  belakangan  saja dalam sejarah, yang tak ada hubungannya  dengan  Mushhaf  Usman."
"Sekarang, sesudah ternyata bahwa Qur'an yang kita baca ialah teks Mushaf Usman yang tidak berubah-ubah, baiklah kita bahas lagi: Adakah teks ini yang memang persis bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara membaca yang hanya sedikit  sekali  jumlahnya  dan  tidak  pula  penting itu? Segala pembuktian yang ada pada kita meyakinkan sekali, bahwa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian terhadap Usman sedikitpun, bahwa dia bermaksud mengubah Qur'an guna memperkuat tujuannya. Memang benar, bahwa Syi'ah kemudian menuduh bahwa dia  mengabaikan  beberapa  ayat  yang  mengagungkan  Ali. Akan tetapi dugaan ini tak dapat diterima akal. Ketika Mushhaf ini diakui, antara pihak Umawi dengan pihak Alawi (golongan Mu'awiya dan golongan Ali) belum terjadi sesuatu perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam masa itu benar-benar kuat tanpa ada bahaya yang mengancamnya. Di samping itu juga Ali belum melukiskan tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tak adalah maksud-maksud tertentu yang akan membuat Usman sampai melakukan pelanggaran yang akan sangat  dibenci  oleh  kaum  Muslimin  itu.  Orang-orang  yang  memahami dan hafal benar Qur'an seperti yang mereka dengar sendiri waktu Nabi membacanya mereka masih hidup tatkala Usman mengumpulkan Mushhaf itu. Andaikata ayat-ayat yang mengagungkan  Ali itu sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua alasan ini saja sudah cukup untuk menghapus setiap usaha guna menghilangkan ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah berdiri sendiri sesudah Usman wafat, lalu mereka mengangkat Ali sebagai Pengganti."
"Dapatkah diterima akal - pada waktu kemudian mereka sudah memegang kekuasaan - bahwa mereka akan sudi menerima Qur 'an yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?!  Sungguhpun  begitu  mereka tetap membaca Qur'an yang juga dibaca oleh lawan-lawan mereka. Tak ada bayangan sedikitpun bahwa mereka akan menentangnya. Bahkan  Ali sendiripun telah memerintahkan supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya.  Malah ada diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulisnya  dengan  tangannya  sendiri."
"Memang benar bahwa para pemberontak itu telah membuat pangkal pemberontakan mereka karena Usman telah mengumpulkan Qur'an lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan selain Mushhaf Usman. Jadi tantangan  mereka  ditujukan kepada  langkah-langkah  Usman  dalam hal itu saja, yang menurut  anggapan  mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi di balik itu tidak seorangpun  yang  menunjukkan  adanya  usaha  mau  mengubah  atau menukar isi Qur'an. Tuduhan demikian pada waktu itu adalah suatu usaha perusakan terang-terangan. Hanya kemudian golongan Syi'ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan mereka sendiri."
"Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan meyakinkan, bahwa Mushhaf  Usman  itu  tetap dalam bentuknya yang persis seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan  lebih  disesuaikan  bahan-bahannya yang sudah ada lebih  dulu dengan dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan jauh-jauh bacaan-bacaan selebihnya yang  pada  waktu  itu  terpencar-pencar  d i seluruh daerah itu."
Mushaf  Usman  Cermat  dan  Lengkap
"Tetapi  sungguhpun  begitu masih ada suatu soal penting lain yang terpampang di depan kita, yakni: adakah yang dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan  bentuk  yang sebenarnya dan lengkap seperti yang diwahyukan kepada Muhammad? Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini cukup memberikan keyakinan,  bahwa itu adalah  susunan  sebenarnya  yang  telah  selengkapnya  dicapai  waktu  itu:"
"Pertama - Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang sahabat yang jujur dan setia kepada Muhammad. Juga dia  adalah  orang  yang  sepenuhnya beriman pada kesucian sumber Qur'an, orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi selama waktu duapuluh tahun  terakhir  dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafat dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala ambisi, sehingga baginya memang  tak adalah tempat buat mencari kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa yang diwahyukan kepada kawannya itu adalah wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya." Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafatnya. Pernyataan semacam  ini  juga  yang  berlaku terhadap semua kaum Muslimin waktu itu, tak ada perbedaan antara para penulis yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mu'min biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua kepada Zaid. Semangat mereka  semua  sama,  ingin  memperlihatkan  kalimat-kalimat dan kata-kata seperti  yang  dibacakan  oleh  Nabi, bahwa itu adalah risalah dari Tuhan. Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tak ada sesuatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya sebagai firman Allah. Dalam Qur'an terdapat peringatan-peringatan bagi barangsiapa yang mengadakan kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari wahyuNya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin  yang  mula-mula  dengan  semangat mereka terhadap agama yang begitu rupa  mereka  sucikan itu, akan terlintas  pikiran  yang  akan  membawa akibat begitu jauh m embelakangi iman."
"Kedua - Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu di luar kepala, dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada  serombongan  ahli-ahli  Qur'an  yang  ditunjuk  oleh  pemerintah  dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam guna melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu mata  rantai  penghubung  antara  wahyu  yang  dibaca  Muhammad  pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan Qur'an dalam satu Mushhaf itu, tapi juga mempunyai segala fasilitas yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya  segala  yang  sudah  terkumpul  dalam  kitab  itu, yang ada di tangan  mereka  sesudah  dengan  teliti  dan  sempurna  dikumpulkan."
"Ketiga - Juga kita mempunyai jaminan yang lebih dapat dipercaya tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bagian-bagian Qur'an yang tertulis, yang sudah ada sejak masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnyapun sudah banyak sebelum pengumpulan Qur'an itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di  tangan  orang dan langsung dibaca sesudah pengumpulannya. Maka logis sekali kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang terkandung dalam bagian-bagian itu, sudah tercakup belaka. Oleh karena itu keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu telah melalaikan sesuatu bagian, atau sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa yang terdapat di dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam Mushhaf yang sudah dikumpulkan itu. Kalau yang demikian  ini memang ada, maka tidak bisa tidak tentu terlihat juga, dan tentu dicatat pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat itu; tak ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang penting."
"Keempat Isi dan susunan Qur'an itu jelas sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang bermacam-macarn disusun satu sama lain secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat."
"Tak ada bekas tangan yang mencoba mau mengubah atau mau memperlihatkan keahliannya sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran sipenghimpun dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani lebih daripada mengambil  ayat-ayat  suci  itu  seperti apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di samping yang lain."
"Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah, bahwa Mushhaf Zaid dan Usman itu bukan hanya hasil ketelitian saja, bahkan - seperti beberapa kejadian menunjukkan - adalah juga lengkap, dan bahwa penghimpunnya  tidak  bermaksud  mengabaikan  apapun  dari  wahyu itu. Juga kita  dapat  meyakinkan,  berdasarkan  bukti-bukti  yang kuat, bahwa setiap ayat dari Qur'an itu, memang sangat teliti sekali dicocokkan seperti yang dibaca oleh Muhammad."
Panjang juga kita mengutip kalimat-kalimat Sir William Muir seperti yang disebutkan dalam kata pengantar The Life of Mohammad (p.xiv-xxix) itu. Dengan apa yang sudah kita kutip itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebutkan tulisan Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sama sependapat. Secara positif mereka memastikan tentang persisnya Qur'an yang kita baca sekarang, serta  menegaskan bahwa semua yang dibaca oleh Muhammad adalah wahyu yang benar dan sempurna diterima dari Tuhan. Kalaupun ada sebagian kecil kaum Orientalis berpendapat lain dan beranggapan bahwa Qur'an sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang dikemukakan Muir  dan sebagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi.
Betapapun pandainya tukang-tukang tuduh itu menyusun tuduhannya, namun mereka tidak dapat meniadakan hasil penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan caranya itu mereka takkan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri, memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.
Cara Yang Sebenarnya Dalam Mengadakan Penyelidikan
Sebenarnya kita dapat saja memberikan argumen-argumen seperti yang dikemukakan oleh Sir Muir dan Orientalis-orientalis lain, yang diambil dari sejarah Islam, kemudian mengembalikan semua itu kepada sumbernya yang semula. Tetapi kita sengaja mengutamakan kutipan itu dari salah seorang Orientalis, mengingat pemuda-pemuda kita masih sangat mendambakan segala yang datang dari Barat, tanpa pengamatan lebih dalam. Ketelitian dalam penyelidikan ilmiah dengan maksud baik hendak mencari kebenaran, seharusnya akan mengantarkan orang ke jalan yang ditempuhnya itu semata-mata untuk kebenaran, lepas dari segala pemalsuan. Seseorang yang mau mengadakan penelitian harus menyelidiki benar-benar sehingga ia sampai kepada kebenaran yang menjadi tujuannya itu, tanpa  terpengaruh oleh hawa nafsu dan tanpa teralang oleh tradisi. Kaum Orientalis kadang memang berhasil mencari kebenaran demikian, tapi kadang juga, karena tujuan-tujuan tertentu, merekapun lalu menyimpang. Dan sebagian besar memang begitu. Dalam hal-hal yang berhubungan dengan sejarah Nabi kita mendapat kesempatan dalam buku ini mengadakan penelitian lebih lanjut.
Baik juga kalau dalam kesempatan ini kita sebutkan bahwa tugas seorang penyelidik tidak akan apriori menerima atau menolak sesuatu masalah, sebelum penelitian atau penyelidikannya itu benar-benar meyakinkan bahwa ia sudah sepenuhnya puas dengan kenyataan yang dicapainya itu tanpa ada kekurangan. Seorang ahli sejarah dalam hal ini tidak berbeda dengan sarjana dalam ilmu pengetahuan  lainnya  atau  dalam  bidang-bidang  fisika.  Penulis sejarah dalam hal ini seharusnya mempelajari buku-buku Orientalis, juga buku-buku sarjana-sarjana Islam.
Apabila untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan itu kita diharuskan mengadakan kritik dan pengamatan terhadap hasil-hasil peninggalan penulis-penulis  Arab  dan  penulis-penulis  Islam seperti dalam ilmu kedokteran, astronomi, kimia dan sebagainya, lalu kita menolak mana yang tidak dapat diterima oleh kritik ilmiah, dan menerima mana yang dapat dibuktikan oleh cara-cara kritik demikian itu, maka untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan dalam bidang sejarah inipun kita berkewajiban pula meneliti benar-benar, sekalipun yang berhubungan dengan sejarah Nabi s.a.w. Seorang penulis sejarah bukan hanya sekadar menyalin saja, tapi juga harus membuat kritik terhadap yamg disalinnya itu. Ia harus mengadakan penelitian guna mengetahui kebenaran yang ada sesungguhnya.
Kritik adalah langkah kepada penelitian itu. IImu dan pengetahuan adalah dasar kritik dan penelitian. Sesudah kita mengadakan penelitian seperti yang kita kutipkan mengenai Qur'an dan akurasinya, kita tinggalkan dulu artikel si Muslim Mesir, yang begitu percaya atas segala yang ditulis oleh Orientalis mengenai ayat-ayat yang katanya ditambahkan ke dalam Qur'an, juga tentang nama Nabi yang katanya Qutham atau Quthama itu. Kata-kata demikian ini bukanlah karena terdorong oleh rasa kebenaran, melainkan karena nafsu belaka.
Fitnah Sekitar  Ayan
Baiklah kita kembali sekarang pada titik persoalan terakhir dalam sanggahan si Muslim Mesir itu. Dia menyebutkan, bahwa hasil penyelidikan kaum Orientalis itu menunjukkan, bahwa Nabi menderita penyakit ayan. Gejala-gejala demikian itu tampak padanya ketika ia tidak sadarkan diri, keringatnya mengucur dengan disertai kekejangan-kekejangan dan busa yang keluar dari mulutnya. Apabila ia sudah sadar kembali, ia lalu membacakan apa yang dikatakannya wahyu Tuhan kepadanya itu - kepada orang-orang yang mempercayainya. Padahal yang dikatakan wahyu itu tidak lain ialah akibat serangan-serangan ayan tersebut.
Kembali Kepada Ilmu Pengetahuan
Menggambarkan apa yang terjadi pada Muhammad pada waktu datangnya wahyu dengan cara yang demikian itu, dari segi ilmiah adalah samasekali salah. Serangan penyakit ayan tidak akan meninggalkan sesuatu bekas yang dapat diingat oleh si penderita selama masa terjadinya itu. Bahkan sesudah ia sadar kembali pun samasekali dia lupa apa yang telah terjadi selama itu. Dia tidak ingat apa-apa lagi, apa yang terjadi dan apa yang dilakukannya selama itu. Sebabnya ialah, segala pekerjaan saraf dan pikirannya sudah menjadi lumpuh total. Inilah gejala-gejala ayan yang dibuktikan oleh ilmu pengetahuan. Jadi bukan yang dialami Nabi Muhammad selama menerima wahyu. Bahkan selama itu inteleknya sedang dalam puncak kesadarannya. Dengan sangat teliti sekali ia ingat semua yang diterimanya dan sesudah itu dibacakannya kembali kepada sahabat-sahabatnya.  Dengan kesadaran rohani yang besar itu, samasekali ia tidak dibarengi oleh ketidaksadaran jasmani. Bahkan sebaliknya yang terjadi, pada waktu itu Nabi sedang dalam puncak kesadarannya yang biasa. Cukuplah kalau kita tunjukkan saja pada apa yang kita sebutkan dalam buku ini tentang turunnya Sarah al-Fath (48) yaitu ketika kaum Muslimin kembali dari Mekah ke Medinah sesudah Perjanjian Hudaibiya.
Jadi ilmu pengetahuan dalam hal ini membantah bahwa Muhammad dihinggapi penyakit ayan. Yang mengatakan demikian dari kalangan Orientalispun  hanya sebagian kecil saja. Mereka itulah yang mengatakan bahwa Qur'an sudah diubah. Mereka mengatakan begitu bukan karena ingin mencari kebenaran, melainkan menurut dugaan mereka dengan demikian mereka mau merendahkan martabat Nabi di mata segolongan kaum Muslimin. Ataukah dengan kata-kata itu mereka mengira, bahwa mereka telah menyebarkan keragu-raguan atas wahyu yang diturunkan kepada Muhammad, sebab turunnya itu -menurut dugaan mereka- waktu ia sedang mendapat serangan ayan?  Kalau  memang  begitu, ini adalah suatu kesalahan besar pada mereka,  seperti  sudah kita sebutkan. Pendapat mereka inilah yang secara  ilmiah  telah samasekali tertolak.
Kalau yang dipakai pedoman olelm kaum Orientalis demikian itu adalah tujuan yang murni, tentu mereka tidak akan membawa-bawa ilmu yang bertentangan  dengan  itu.  Mereka melakukan itu mau mengelabui orang-orang yang belum penguasai pengetahuan tentang gejala-gejala ayan, dan mereka yang cara berpikirnya masih sederhana yang sudah merasa puas dengan apa yang telah dikatakan oleh kaum Orientalis itu, tanpa mau bertanya-tanya kepada para ahli dari kalangan kedokteran atau mau membaca buku-buku tentang itu.  Kalau saja mereka mau melakukan itu, sebenarnya tidak sulit buat mereka  untuk menemukan kesalahan kaum Orientalis itu - disengaja atau tidak disengaja. Mereka akan melihat bahwa kegiatan rohani dan intelek manusia akan sama sekali tertutup selama terjadi krisis ayan. Sipenderita dibiarkan dalam keadaan mekanik semata, bergerak-gerak seperti sebelum mendapat serangan, atau meronta-ronta kalau serangannya itu sudah bertambah keras sehingga dapat mengganggu orang lain. Dalam pada itu, diapun kehilangan kesadarannya. Ia tidak sadar apa yang diperbuatnya dan apa yang terjadi terhadap dirinya. Ia seperti orang yang sedang tidur, tidak merasakan gerak-geriknya sendiri.  Bila itu sudah berlalu, iapun tidak ingat apa-apa lagi.
Kadang Ilmu Yang Tidak Cukup
Ini tentu berbeda dengan suatu kegiatan rohani yang begitu kuat membawanya jauh ke alam ilahiah, dengan penuh kesadaran dan suasana intelek yang meyakinkan.  Apa yang diwahyukan kepadanya itu, kemudian dapat diteruskan. Sebaliknya ayan, melumpuhkan seluruh kesadaran manusia. Ia membawa orang berada dalam tingkat mekanik, yang selama itu perasaan dan kesadarannya menjadi hilang. Tidak demikian halnya dengan wahyu, yang merupakan puncak ketinggian rohani, yang khusus diberikan Tuhan kepada para nabi. Kepada mereka kenyataan-kenyataan alam positif yang tertinggi itu diberikan, supaya kemudian disampaikan kepada umat manusia. Kadang ilmu pengetahuan sampai juga memahami beberapa kenyataan-kenyataan itu, mengetahui ketentuan-ketentuan dan rahasianya - sesudah lampau beberapa generasi dan beberapa abad. Kadang juga ilmu pengetahuan belum dapat menjangkaunya. Sungguhpun begitu itu adalah kenyataan positif, yang dapat dimasuki hanya oleh hati nurani orang-orang beriman, yang percaya kepada kebenarannya.  Dalam  pada itu ada juga hati yang tetap tertutup rapat dan tidak mengetahui atau karena memang tidak mau mengindahkannya.
Kita dapat mengerti bila Orientalis-orientalis itu berkata, bahwa wahyu ialah suatu gejala psikologi tersendiri dalam penilaian ilmu pengetahuan yang sampai ke tangan kita hingga saat sekarang. Jadi, adalah hal yang tidak mungkin dapat ditafsirkan dengan cara ilmu. Tetapi bagaimanapun juga pendapat ini menunjukkan, bahwa pengetahuan kita - dengan ruang lingkupnya yang luas - masih merasa terbatas akan menafsirkan bagian terbesar dari gejala-gejala spiritual dan psikologis itu.  Buat  ilmu pengetahuan ini bukan suatu cacat, juga bukan hal yang aneh. Ilmu pengetahuan kita masih terbatas dalam menafsirkan beberapa gejala alam yang dekat pada kita. Kodrat matahari, bulan, bintang-bintang, tata-surya dan lainnya dalam ilmu pengetahuan, masih merupakan hipotesa-hipotesa penemuan. Semua benda cakrawala  ini  sebagian  ada  yang  dapat  kita  lihat dengan mata telanjang, dan tidak sedikit pula yang masih tersembunyi, yang baru akan dapat kita lihat bila menggunakan alat peneropong. Sampai abad yang lalu banyak sekali penemuan-penemuan yang masih dianggap sebagai suatu ciptaan khayal belaka, tak ada jalan akan dapat dijelmakan depan mata kita. Tetapi ternyata sekarang sudah menjadi kenyataan.  Malah kita menganggap sebagai hal yang mudah saja. Adanya gejala-gejala spiritual dan psikologis sekarang menjadi sasaran pengamatan para sarjana. Tetapi ini belum lagi dapat dikuasai oleh ilmu, dan hukumnya yang positifpun juga belum ditemukan.
Sering kita membaca tentang beberapa masalah yang sudah diketahui oleh para sarjana dan sudah diterima. Tetapi kemudian ternyata bahwa dalam hukum alam yang berlaku menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan belum lagi memberikan arti yang meyakinkan. Psikologi misalnya, dalam menghadapi beberapa masalah, secara umum masih belum mempunyai hukum yang pasti. Kalau ini terjadi dalam kehidupan biasa, maka langkah cepat-cepat mau menafsirkan gejala-gejala seluruh hidup dengan cara ilmiah adalah suatu usaha yang memang sia-sia saja, suatu penghamburan yang patut dicela.
Menyerang Muhammad Karena Gagal Menyerang Ajarannya
Datangnya wahyu yang pernah disaksikan oleh beberapa kaum Muslimin selama masa hidup Muhammad - demikian juga Qur'an - setiap dibacakan kepada mereka, ternyata menambah keteguhan iman mereka. Di antara mereka itu terdapat juga orang Yahudi dan Nasrani. Sesudah lama terjadi debat dan diskusi dengan Nabi, kemudian merekapun mempercayai. Sekitar risalah dan masalah waktu itu tak ada yang mereka tolak. Memang ada segolongan orang-orang Quraisy yang berusaha menuduh hal itu sebagai perbuatan sihir dan gila. Tetapi kemudian merekapun mengakui, bahwa dia bukan tukang sihir dan bukan pula orang gila. Merekapun lalu jadi pengikutnya dan beriman atas ajakan itu.  Inilah  yang  sudah  pasti  dan  meyakinkan.  Jadi  sekarang yang tak dapat diterima oleh ilmu, dan bertentangan dengan kaidah-kaidah yang ilmiah ialah sikap mengingkari terjadinya wahyu itu dan merendahkan orang yang  menerimanya  disertai  kecaman  dengan  pelbagai rupa. Inilah yang justru bertentangan dengan ilmu.
Seorang sarjana yang sungguh-sungguh bertujuan mencari kebenaran, tidak dapat berkata lain daripada suatu penegasan bahwa apa yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan sampai sekarang, masih terbatas sekali, belum dapat menguraikan wahyu itu dengan cara ilmiah. Akan tetapi, begaimanapun juga, ilmu tak dapat menolak terjadinya gejala-gejala wahyu, seperti yang dilukiskan  oleh  sahabat-sahabat Nabi dan penulis-penulis lain pada permulaan sejarah Islam itu. Kalaupun ada yang mengingkarinya, ia berusaha mencari dalih dengan menggunakan ilmu sebagai senjata yang sia-sia dengan sikap keras kepala. Sikap keras kepala dengan ilmu sebenarnya takkan pernah bertemu.
Kalau  sikap  yang menyedihkan ini harus menjurus kepada sesuatu maka sesuatu itu ialah nafsu mereka yang keras hendak menanamkan syak ke dalam hati orang tentang Islam. Agama ini sendiri tidak dapat mereka serang. Mereka telah menyaksikan, betapa kuat dan luhurnya agama ini, dengan sifatnya yang sederhana dan serba mudah yang justru menjadi dasar kekuatannya.  Oleh karena itu, mereka lalu menggunakan cara orang yang lemah. Mereka tak mampu menyerang jejak yang sungguh besar itu, mereka lalu  menyerang  orang  yang meninggalkan jejak itu.  Ini adalah kelemahan yang tidak seharusnya menjadi pegangan seorang sarjana. Dalam pada itu ia juga bertentangan dengan hukum kodrat insani. Kodrat manusia ialah memperhatikan jejak itu sendiri saja, menikmati buahnya tanpa ia harus bersusah payah mencari-cari asal-usulnya atau mencari-cari apa yang menyebabkan  hal  itu  terjadi atau tumbuh. Dengan demikian mereka tidak perlu menyusahkan diri mencari-cari asalnya pohon yang telah menghasilkan buah-buahan yang disukainya itu, atau tentang pupuk yang menyebabkan pohon tersebut jadi subur, selama tidak terpikirkan olehnya akan menanam pohon lain yang lebih enak buahnya.
Ketika orang mengadakan pembahasan tentang filsafat Plato atau tentang drama Shakespeare atau karya-karya Raphael misalnya, orang tidak perlu  mencari  bahan kecamannya pada kehidupan orang-orang besar itu - yang menjadi lambang kemegahan dan kebanggaan umat manusia - kalau dalam karya-karyanya itu tak ada yang dapat dijadikan sasaran kecamannya. Kalau mereka mencari bahan kecaman yang tidak punya dasar kebenaran, mereka  takkan dapat mencapai tujuan. Kalau niat jahat atau rasa dengki itu juga yang mereka perlihatkan, argumentasi mereka akan jatuh dan orangpun takkan mau mendengarkan. Hal ini takkan berubah hanya dengan menuangkan rasa dengki itu ke dalam pola ilmu. Sifat dengki itu tidak pernah mengenal kebenaran. Menyedihkan sekali tentunya bila perasaan dengki itu juga yang menjadi sumber kebenaran. Inilah dasar kecaman Orientalis-orientalis itu terhadap Nabi, Rasul penutup itu. Tetapi dengan demikian kecaman mereka itupun jadi gugur samasekali.
Sekarang saya sudahi sanggahan saya ini terhadap pendapat Orientalis-orientalis yang oleh si Muslim orang Mesir itu dijadikan pegangan dalam penulisan artikelnya. Sudah saya kemukakan dalil-dalil kelemahan pendapat mereka itu.
Pertimbangan Mereka Yang Aktif Dalam Soal-Soal Islam
Baiklah sekarang saya pindah kebahagian lain dalam tinjauan ini. Sesudah cetakan pertama buku ini terbit, beberapa kalangan Islam yang aktif dalam bidang pengetahuan agama, memberikan pula pendapatnya.
Menurut hemat saya kecaman-kecaman rendah semacam ini, yang tak dapat diterima oleh ilmu pengetahuan, hendaknya tidakkan berulang lagi. Terhadap kaum Orientalis barangkali masih dapat dimaafkan, terutama atas tindakan mereka yang sebelum itu memang sangat berlebih-lebihan. Mereka merasa, bahwa  mereka menulis buat orang-orang Kristen Eropa. Dengan demikian pada waktu itu mereka telah menjalankan suatu tugas nasional atau tugas agama. Mereka didorong oleh keyakinan mereka, dengan memperkosa ilmu pengetahuan sebagai alat dalam melaksanakan tugasnya itu.
Tetapi sekarang, dengan adanya komunikasi via telegram dan radio, via pers dan mass media lainnya ke seluruh penjuru dunia, segala apa yang diterbitkan atau diucapkan orang di Eropa atau di Amerika sudah dapat ditangkap  hari  itu  atau  saat itu juga di negeri-negeri lain di Timur. Mereka yang ingin memperoleh pengetahuan dan kenyataan sebenarnya, seharusnya segala kabut nasional,  rasial dan agama disingkirkan dari depan mata dan dari dalam hati mereka. Mereka hendaknya dapat memperkirakan bahwa apa yang mereka katakan atau mereka tulis, akan secepatnya diketahui oleh semua orang.  Di  segenap penjuru bumi orang akan mengujinya dan menerima dengan sikap kritis. Biarlah, kebenaran yang sebenarnya tidak terikat oleh apapun itulah yang akan menjadi pedoman kita semua. Kita arahkan semua perhatian kita pada suatu ikatan masa lampau dan masa datang umat manusia, bahwa itu adalah suatu kesatuan keluarga besar yang mengarah kepada pelaksanaan tujuan yang lebih tinggi, yang dinanti-nantikan oleh segenap manusia sejak pertumbuhannya yang pertama; suatu ikatan persaudaraan yang merdeka di bawah naungan kebenaran dan keindahan. Inilah satu-satunya ikatan yang akan menjamin tercapainya tujuan umat manusia dalam peredaran sejarahnya yang begitu pesat ke arah kebahagiaan dan kesempurnaan itu.
Sementara ada orang-orang yang begitu percaya pada apa yang dilontarkan oleh kaum Orientalis secara berlebih-lebihan itu menyalahkan kami, karena kami katanya begitu terikat dan berpegang pada sumber-sumber berbahasa Arab, maka mereka yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam juga menyalahkan kami, karena kami katanya terlalu berpegang pada pendapat-pendapat kaum Orientalis; bahwa kami katanya tidak memperhatikan segala yang diceritakan oleh buku-buku hadis bertalian dengan sejarah hidup Nabi dan bahwa kami tidak memakai cara seperti yang ada dalam buku-buku sejarah lama itu.
Atas dasar ini sebagian mereka telah mengemukakan pendapat-pendapat, yang kebanyakannya disampaikan dengan cara yang lemah-lembut dan baik sekali dengan tujuan hendak mencari kebenaran. Sebagian lagi, karena keras kepala atau bodoh, tidak mau mengalah kepada yang lebih berpengetahuan. Adapun mereka yang memberikan kritik dengan lemah-lembut, kebanyakan dititik beratkan pada, bahwa apa yang diterangkan dalam buku-buku sejarah dan Hadis Nabi tentang mujizat-mujizat, tidak ada kami sebutkan. Bahkan kami sebutkan pada penutup cetakan pertama: "Sejarah hidup  Muhammad  adalah  sejarah hidup manusia yang telah sampai ke puncak tertinggi yang pernah dicapai seorang manusia. Pada waktu itu Muhammad s.a.w. suka hati karena kaum Muslimin menghargainya sebagai manusia biasa seperti mereka, hanya diberi wahyu. Ia tidak suka apabila ia akan dihubung-hubungkan kepada sesuatu mujizat selain Qur'an. Hal ini dinyatakannya kepada para sahabat." Pada bahagian cerita membelah dada ada kita katakan:  "Dengan  demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup Muhammad sifatnya adalah manusia semata-mata dan bersifat peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu memang tidak perlu harus bersandar kepada hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang suka kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu. Mereka berpendapat, bahwa apa yang telah dikemukakan  itu  tidak  sejalan  dengan  yang diminta oleh Qur'an, yakni supaya merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Jadi tidak sesuai dengan ekspresi Qur'an tentang kaum  musyrik  yang  tidak  mau  mendalami  dan  tidak  mau  mengerti  juga."
Mereka yang mengkeritik saya dengan cara lemah-lembut itu di antaranya ada juga yang menyalahkan, karena saya mengambil kecaman-kecaman kaum Orientalis terhadap Nabi itu sebagai pengantar untuk menyanggah  mereka,  sedang  bunyi  kecaman itu menurut hemat mereka tidak sesuai dengan penghargaan dan penghormatan yang harus mereka berikan kepada Nabi a.s. Adapun mereka yang cuma memaki-maki sudah memang ada sebelum cetakan pertama buku ini terbit, dan sebelum pembahasan ini dikumpulkan menjadi buku.
Selawat Kepada Nabi
Dalam menyalahkan saya yang paling keras mereka lakukan ialah karena pembahasan saya ini saya beri judul Sejarah Hidup Muhammad tanpa saya  berikutkan  ucapan sallallahu 'alaihi wasallama (s.a.w.), ucapan Salam dan Selawat kepada Rasulullah, sekalipun sambil tulisan ini berjalan sudah beberapa  kali saya sebutkan. Saya rasa mereka baru reda dari memaki-maki itu  sesudah  pada  judul  cetakan pertama saya hiasi dengan ayat Qur'an: "Allah dan para malaikat memberikan rahmat kepada Nabi. Orang-orang beriman, berikanlah selawat dan salam kepadanya" (Qur'an, 33: 56) dan sesudah  buku  ini  mengemukakan  sejarah  hidup  Nabi dengan metoda seperti  apa  adanya  sekarang.
Akan tetapi mereka masih bersikeras juga dengan pendirian mereka itu. Dengan begitu, dengan sikap keras kepala dan kebodohan mereka tentang esensi Islam itu menunjukkan, bahwa mereka sudah cukup merasa puas hanya dengan ikut saja apa yang mereka terima dari nenek-moyang dahulu kala.
Baik kita mulai sekarang dengan menyanggah pandangan yang salah ini dengan harapan tidak akan terulang lagi dilakukan orang, baik oleh pihak bersangkutan di atas atau oleh pihak lain dalam menanggapi buku apapun yang terbit. Kita mulai sanggahan ini dengan kembali kepada buku-buku kaum cendekiawan Islam terkemuka supaya orang mengetahui sampai di mana taraf ketinggian  Islam  itu, yang sebenarnya tidak terbatas hanya pada kata-kata saja, melainkan sudah dapat menempatkan nilai hadis: "Bahwasanya agama ini kukuh sekali. Tanamkanlah dalam-dalam dengan lemah-lembut. Sebenarnya orang yang terputus dalam perjalanan takkan mencapai tujuan, binatang bebanpun binasa." Dalam Kulliat-nya Abu'l-Baqa' menerangkan, bahwa "penulisan ash-shalat (s.a.w.) dalam buku-buku dahulu terjadi pada masa kekuasaan Abbasia. Oleh karena itu, yang ada dalam kitab-kitab Bukhari dan yang lain tidak mempergunakan kata-kata itu." Para Imam sebagian besar sepakat, bahwa Selawat kepada Nabi cukup sekali saja diucapkan orang selama hidupnya. Ibn Najm dalam Al-Bahru'r Ra'iq menyebutkan: "Perintah dalam firman Tuhan 'ucapkan selawat dan salam kepadanya' kewajibannya berlaku sekali saja selama hidup, baik dalam sembahyang atau di luar itu. Tentang ini tak ada perselisihan pendapat."
Adanya perbedaan pendapat antara Syafi'i dan yang lain tentang kewajiban mengucapkan selawat kepada Nabi, berlaku selama dalam sembahyang, bukan di luar itu. Selawat ialah doa, artinya mudah-mudahan Allah memberi rahmat dan salam kepada Nabi."
Demikian sumber para Imam dan ulama Islam menyebutkan mengenai masalah ini.  Adanya  dugaan  bahwa  mengucapkan  selawat kepada Nabi pada setiap menyebutkan dan menuliskan namanya merupakan suatu keharusan  menunjukkan, bahwa dalam hal ini mereka bersikap sangat berlebih-lebihan. Akibat dari kesalahan mereka itu, maka mereka yang mengikutinya  akan salah pula jika mereka mengetahui apa yang sudah kita sebutkan tadi.  Ahli-ahli  hadis  terkemuka  tidak menuliskan kata-kata selawat itu  dalam  kitab-kitab  mereka  yang mula-mula.
Menangkis Kecaman
Mereka yang berpendapat bahwa tidak selayaknya menyebutkan kecaman-kecaman  kaum  Orientalis dan misi penginjil terhadap Nabi yang mulia ini sebagai pendahuluan untuk menyanggah mereka, pendapat ini tidak punya dasar selain dan pada rasa sentimen keislaman yang mereka agung-agungkan. Sedang dari segi ilmu dan agama, dasarnya tidak ada. Apa yang dikatakan kaum musyrik tentang Nabi, Qur'an menyebutkannya, lalu menyanggahnya  dengan  argumen  yang  kuat. Jadi, moral Qur'an adalah moral yang lebih sesuai dan tinggi adanya. Qur'an menyebutkan tuduhan Quraisy terhadap Muhammad sebagai tukang sihir dan gila: "Kami mengetahui benar, bahwa mereka berkata: 'Hanyalah seorang manusia yang mengajarkannya.' Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan itu adalah bahasa asing, sedang ini adalah bahasa Arab yang jelas sekali" (Qur'an 16: 103).  Hal semacam ini sering sekali ter]adi.
Selanjutnya alasan tuduhan mereka itu tidak akan dapat ditangkis secara ilmiah, kalau tidak disebutkan dan dicatat secara jujur dan teliti. Dengan buku ini saya mencoba mengemukakan pembahasan ilmiah guna mencari kenyataan ilmiah semata. Juga saya maksudkan supaya dibaca baik oleh kaum Muslimin atau bukan. Hendaknya mereka semua dapat diyakinkan tentang kenyataan ilmiah ini. Hal ini baru akan tercapai bilamana pembahasannya benar-benar bersih dalam kecenderungannya mencari kebenaran itu, tidak terikat oleh apapun selain oleh kecenderungan tersebut, dan tidak pula ragu-ragu mengakui kebenaran itu dan manapun datangnya.
Buku-Buku Sejarah dan Buku-Buku Hadis
Sekarang kita kembali ke pokok pertama, kepada mereka yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam, yang mengkritik saya dengan cara lemah-lembut  dan  dengan cara yang baik itu. Mereka mengatakan, bahwa saya tidak menuruti apa yang ada dalam buku-buku sejarah hidup Nabi dan kitab-kitab hadis. Dalam mengungkapkan berbagai peristiwa saya tidak menempuh cara yang sudah ada.
Dalam hal ini cukuplah kiranya bila saya jawab, bahwa dalam pembahasan ini saya memakai metoda ilmiah, saya tulis dengan gaya zaman kini. Yang demikian ini saya lakukan, karena inilah cara yang baik menurut pandangan  ilmu  pengetahuan  yang berlaku sekarang dengan berbagai macam cabangnya, baik yang berkenaan dengan sejarah atau tidak. Bagi saya - dan ini pendirian saya - tidak perlu kita terikat pada buku-buku lama. Antara kedua cara dan cara-cara lama dengan yang berlaku sekarang terdapat perbedaan yang besar sekali. Secara mudahnya, dalam buku-buku lama tidak dibenarkan adanya kritik seperti yang berlaku sekarang.  Kebanyakan buku-buku lama ditulis untuk suatu maksud keagamaan dalam arti ubudiah, sementara penulis-penulis dewasa ini terikat oleh metoda dan kritik-kritik ilmiah. Ini saja sudah cukup buat saya menangkis setiap tantangan dan sekaligus membenarkan metoda yang saya pakai dalam penyelidikan ini. Tetapi saya pikir ada baiknya juga saya jelaskan barang sedikit sehubungan dengan sebab-sebab yang membawa ahli-ahli pikir dari pemuka-pemuka Islam masa lampau itu - dan masa kini - juga yang membawa setiap penyelidik yang teliti - untuk tidak secara serampangan mengambil begitu saja apa yang ada dalam buku-buku  sejarah  dan  buku-buku  hadis. Kita terikat pada kaidah-kaidah kritik ilmiah demikian ialah guna menghindarkan diri dari kesalahan sedapat mungkin.
Sebab pertama yang menimbulkan perbedaan yang terdapat dalam buku-buku itu ialah; banyaknya peristiwa-peristiwa dan hal-hal yang terjadi, yang  dihubung-hubungkan  kepada Nabi sejak ia lahir hingga wafatnya. Mereka yang mempelajari buku-buku ini melihat adanya beberapa berita yang ajaib-ajaib, mujizat-mujizat dan cerita-cerita lain semacam itu. Di sana-sini ditambah atau dikurangi tanpa alasan yang tepat, kecuali perbedaan-perbedaan waktu ketika buku-buku tersebut ditulis. Buku-buku lama tidak seberapa banyak menghidangkan cerita yang aneh-aneh itu dibandingkan dengan buku-buku yang datang kemudian. Peristiwa-peristiwa yang serba ajaib yang terdapat dalam buku-buku lama tidak begitu jauh dari jangkauan akal, dibandingkan dengan yang terdapat dalam buku penulis-penulis yang belakangan. Buku Sirat Ibn Hisyam misalnya - sebagai buku biografi tertua yang pernah dikenal sampai sekarang - tidak banyak menyebutkan apa yang disebutkan oleh Abu'l-Fida' dalam Tarikh-nya, atau seperti apa yang disebutkan oleh Qadzi Iyadz dalam Asy-Syifa', juga seperti yang disebutkan dalam buku penulis-penulis kemudian.
Kontradiksi
Begitu juga tentunya tentang buku-buku hadis dengan segala perbedaannya yang ada. Ada yang mengemukakan satu cerita, yang lain menghilangkannya, ada pula yang menambahkan. Dalam mengadakan pembahasan ilmiah dalam buku-buku demikian seorang penyelidik harus membuat  sebuah  kriterium  yang  dapat mengukur mana-mana yang cocok dan  mana  pula yang tidak.  Mana-mana yang dapat dipercaya oleh kriterium itu,  itu  pula  yang  diakui  oleh penyelidik tersebut. Mana-mana yang tidak dapat dipercaya, ia akan dimasukkan ke dalam daftar pengujian kalau memang perlu diuji.
Dalam beberapa hal orang-orang dahulu memang menggunakan metoda ini, dan dalam hal yang lain tidak. Tentang cerita gharaniq misalnya yang menyebutkan bahwa ketika Nabi merasa kesal terhadap kepada pemuka-pemuka Quraisy maka lalu dibacakan Surah "an-Najm." Ketika sampai pada ayat  "Adakah  kamu  perhatikan  Al-Lat dan Al-'Uzza,  dan  Manat  ketiga,  yang terakhir?" (Qur'an 53:19-20) dibacanya pula, "Dan itu gharaniq yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan." Kemudian pembacaan Surah itu diteruskan sampai selesai.  Nabi  lalu  sujud  diikuti  oleh  kaum Muslimin dan kaum musyrik  yang  juga  sama-sama  bersujud.
Cerita ini dibawa oleh Ibn Said dalam At-Tabaqat'l-Kubra dan tidak pula diberi suatu kritik. Dalam beberapa buku hadis shahih disebutkan juga adanya cerita gharaniq ini dengan beberapa perbedaan. Tetapi Ibn Is-haq membawa cerita ini dengan mengatakan: "itu berasal dari karangan orang-orang atheis." Juga dalam Al Bidaya wan-Nihaya fit-Tarikh Ibn Kathir menyebutkan: "Orang bicara tentang cerita gharaniq ini. Tetapi lebih baik kita menghindari pembicaraan ini, supaya jangan ada orang yang mendengarnya lalu menempatkannya  tidak pada tempatnya. Akan tetapi mulanya cerita ini memang terdapat dalam Shahih." Kemudian ia menyebutkan sebuah hadis tentang  ini  melalui  Bukhari  dengan  mengatakan: "Hanya Bukhari sendiri yang menyebutkan. Muslim tidak." Saya sendiri tidak ragu-ragu lagi akan menolak cerita ini dari dasarnya.  Saya setuju dengan Ibn Ishaq, bahwa cerita ini adalah bikinan orang-orang atheis. Dalam menyanggah ini saya dapat menarik beberapa argumentasi, bukan saja karena dalam cerita tersebut terdapat kontradiksi, mengingat bahwa para rasul itu mendapat perlindungan dalam menyampaikan risalah Tuhan, tetapi juga saya bersandar pada kaidah-kaidah kritik ilmiah yang berlaku sekarang.
Faktor Waktu, Ketika Cerita Itu Ditulis
Sebab-sebab lain yang masih perlu diuji sehubungan dengan buku-buku lama itu, dengan mengadakan suatu kritik yang teliti menurut metoda ilmiah, ialah  bahwa  buku tertua yang pernah ditulis orang baru seratus tahun atau lebih kemudian sesudah Nabi wafat, dan sesudah meluasnya issue-issue - baik politik atau bukan politik - dalam dunia Islam, dengan menciptakan cerita-cerita dan  hadis-hadis sebagai salah satu alat penyebaran. Apalagi kesan kita tentang yang ditulis orang kemudian, yang sudah mengalami zaman yang sangat kacau dan gelisah.
Pengaruh Pertentangan Politik dalam Dunia Islam
Pertentangan-pertentangan politik yang telah dialami oleh mereka yang mengumpulkan hadis - dengan membuang mana yang palsu dan mencatat mana yang dianggap sahih - menyebabkan mereka berusaha lebih berhati-hati lagi. Mereka berusaha melakukan ketelitian dalam menguji, supaya tidak sampai menimbulkan keragu-raguan. Orang akan cukup menyadari apa yang dialami Bukhari yang begitu susah-payah dengan perjalanan yang dilakukannya ke berbagai tempat dunia Islam, guna mengumpulkan hadis dan lalu mengujinya.  Apa  yang  diceritakannya  kemudian,  bahwa dari hadis-hadis yang beredar yang dijumpainya sampai melebihi 600.000 buah itu, yang dipandang benar (sahih) olehnya tidak lebih dari hanya 4.000 buah hadis saja. Ini berarti bahwa dari setiap 150 buah hadis yang dipandang benar olehnya hanya  sebuah  saja.  Sedang  pada  Abu Dawud, dari 500.000 buah hadis, yang dianggap sahih menurut dia hanya 4.800 saja. Demikian juga halnya dengan penghimpun-penghimpun hadis yang lain. Banyak sekali dari hadis-hadis itu, yang oleh sebagian dianggap sahih, oleh ulama lain masih dijadikan bahan penelitian dan mendapat kritik, yang akhirnya banyak pula yang ditolak. Ini sama halnya dengan soal gharaniq.
Penghimpunan Hadis
Jadi, kalau demikian inilah yang sudah terjadi dengan hadis, yang sudah demikian rupa diperjuangkan oleh para penghimpun hadis itu, apalagi dengan buku-buku sejarah hidup Nabi yang datang kemudian, bagaimana kita dapat mengandalkannya tanpa mengadakan penelitian dan pengujian ilmiah!
Sebenarnya, pertentangan politik yang terjadi sesudah permulaan sejarah Islam, telah menimbulkan lahirnya cerita-cerita dan hadis-hadis bikinan untuk mendukung maksud tersebut. Sampai pada saat-saat terakhir zaman Banu Umayya penulisan hadis belum lagi dilakukan orang. Umar bin Abdul Aziz pernah memerintahkan supaya hadis-hadis itu dihimpun. Kemudian baru dikumpulkan pada zaman Ma'mun, yaitu sesudah terjadi "Hadis yang sahih dalam  hadis yang palsu itu seperti rambut putih pada kerbau hitam," seperti kata Ad-Daraqutni. Dan mungkin tidak dikumpulkannya hadis pada masa permulaan Islam, karena seperti diberitakan bahwa Nabi berkata: "Jangan menuliskan sesuatu tentang aku, selain Qur'an. Barangsiapa menuliskan itu selain Qur'an, hendaklah dihapus."
Akan tetapi pada waktu itu hadis Nabi sudah beredar dari mulut ke mulut dan penceritaannyapun berbeda-beda. 'Umar ibn'l-Khattab ketika menjadi Khalifah pernah mengambil langkah dalam hal ini dengan maksud akan menuliskan hadis-hadis itu. Ia minta pendapat sahabat-sahabat Nabi yang lain. Merekapun memberikan pendapat yang sama. Selama sebulan lamanya ia melakukan istikharah, yang kemudian setelah mendapat ketetapan hati ia berkata: "Saya bermaksud akan menulis hadis dan sunah, tapi saya takkan mencampur-adukkan Qur'an dengan apapun." Penulisan hadis-hadis itu tidak jadi dilakukan. Ditulisnya surat ke kota-kota lain: "Barangsiapa memilikinya supaya dihapuskan." Sesudah itu hadis-hadis terus juga beredar dan berkembang biak, sehingga akhirnya terhimpun juga hadis-hadis yang dianggap sahih menurut para penghimpunnya, yakni pada masa Ma'mun.
Kriterium yang Sebenarnya Tentang Hadis
Dengan segala usaha penelitian yang sudah tentu dilakukan oleh para penghimpun hadis itu, tapi masih banyak juga hadis-hadis yang oleh mereka sudah dinyatakan sahih itu, oleh beberapa ulama lain masih dinyatakan tidak otentik. Dalam Syarah Muslim Nawawi menyebutkan: "Ada golongan yang membuat koreksi terhadap Bukhari dan Muslim mengenai hadis-hadis itu sehingga  syarat-syarat  mereka tidak begitu dihiraukan dan mengurangi pula arti yang menjadi pegangan mereka, yakni para penghimpun itu, yang sebagai kriterium mereka hanya berpegang pada sanad (askripsi) dan pada kepercayaan mereka kepada sumber cerita sebagai dasar: menerima atau menolak  hadis  itu.  Ini  memang  suatu,  kriterium yang berharga. Tetapi itu saja tentu tidak cukup."
Bagi kita kriterium yang baik dalam mengukur hadis - dan mengukur setiap berita yang berhubungan dengan Nabi - ialah seperti yang pernah diceritakan orang tentang Nabi 'alaihissalam ketika menyatakan: "Kamu akan berselisih sesudah kutinggalkan. Maka (oleh karena itu) apa yang dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Qur'an. Mana yang cocok itu dari aku, dan mana yang bertentangan, bukan dari aku."
Ini adalah suatu kriterium yang tepat, yang sudah menjadi pegangan pemuka-pemuka Islam sejak permulaan sejarah Islam. Dan sampai sekarang mereka  sebagai  ahli  pikir masih berpegang pada ini. Seperti dikatakan oleh Ibn Khaldun: "Saya tidak percaya akan kebenaran sanad sebuah hadis, juga tidak percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang bertentangan dengan Qur'an, sekalipun ada orang-orang yang memperkuatnya. Beberapa pembawa hadis dipercayai karena keadaan lahirnya yang dapat mengelabui, sedang batinnya tidak baik. Kalau sumber-sumber itu dikritik dari segi matn (teks), begitu juga dari segi sanadnya, tentu akan banyaklah sanad-sanad itu akan gugur oleh matn. Orang sudah mengatakan: bahwa tanda hadis maudzu, (buatan) itu, ialah yang bertentangan dengan kenyataan Qur'an atau dengan kaidah-kaidah yang sudah ditentukan oleh hukum agama (syariat) atau dibuktikan oleh akal atau pancaindra dan ketentuan-ketentuan axioma lainnya."
Kriterium inilah yang terdapat dalam hadis Nabi tersebut. Dan apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun tadi sesuai sekali dengan kaidah kritik ilmiah modern sekarang.
Penghimpunan Hadis Pada Masa Ma'mun
Sebenarnya, perselisihan kaum Muslimin sudah mencapai puncaknya setelah ditinggalkan Nabi, sehingga menimbulkan adanya ribuan hadis dan sumber-sumber yang saling bertentangan. Sesudah Abu Lu'lu'a, bujang Al-Mughira, membunuh Umar ibn'l Khattab, dan sesudah Usman bin 'Affan memangku jabatan Khalifah, permusuhan lama antara Banu Hasyim dan Banu Umayya yang terjadi sebelum Islam mulai timbul lagi. Setelah Usman terbunuh, perang saudara antara kaum Musliminpun pecah. Aisyah melawan Ali dan Alipun mendapat pendukungnya pula. Maka mulailah hadis-hadis buatan bertambah banyak, sampai-sampai Ali bin Abi Talib sendiri menolaknya. Konon dia berkata: "Tak ada kitab pada kami yang dapat kami bacakan kepada kamu, kecuali apa yang ada dalam Qur'an. Dan apa yang ada dalam kitab itu kuterima dari Rasulullah; terdapat kewajiban-kewajiban sadakah."
Akan tetapi ini tidak menghalangi para penyiar hadis itu melancarkan ceritanya, tidak menghalangi adanya golongan tertentu membuat-buat hadis karena sesuatu ambisi atau karena maksud-maksud baik dengan mengajak pula orang lain. Mereka memduga orang lain akan senang sekali menerimanya bila hadisnya itu dihubung-hubungkan kepada Rasulullah.
Sesudah keadaan Banu Umayya stabil, juru-juru hadis yang ada hubungannya  dengan Keluarga Umayya itu berusaha melemahkan semua hadis tentang Ali bin Abi Talib dan jasa-jasanya. Sementara oleh pembela-pembela Ali  dan  keluarga Nabi hadis-hadis itu ditambah-tambah serta berusaha  pula  menyebarkannya  dengan  segala cara.  Sebaliknya segala yang datang dari Aisyah Umm'l-Mu'-minin oleh mereka dihalang-halangi.
Cerita-Cerita Tidak Masuk Akal dan Tidak Ilmiah
Yang  aneh  lagi  dalam  hal ini ialah apa yang diceritakan oleh Ibn 'Asakir dari Abu Sa'd Isma'il bin Muthanna al-Astrabadhi. Tatkala ia sedang berkhutbah di Damsyik, salah seorang yang hadir bertanya tentang hadis Nabi yang berbunyi: "Saya gudang ilmu dan Ali pintunya" Ismail menekur sebentar, lalu diangkatnya kepalanya seraya katanya: "Ya, tak ada yang mengetahui hadis  ini  dari Nabi, kecuali yang hidup pada masa permulaan Islam. Akan tetapi Nabi berkata: "Saya gudang ilmu, Abu Bakr fondasinya, Umar dindingnya, Usman  atapnya  dan Ali pintunya." Dengan demikian para hadirin puas rasanya.  Tetapi  ketika  diminta  kepadanya  supaya menerangkan sanadnya, ia  merasa  gusar  sekali  karena  memang  tidak mampu.
Begitulah hadis-hadis itu dipalsukan orang karena memang ada maksud politik atau kemauan-kemauan insidentil lainnya. Demikian banyaknya hadis-hadis palsu itu sehingga kaum Muslimin kemudian terkejut sekali, karena ternyata banyak pula yang tidak cocok dengan yang ada dalam Kitabullah. Usaha hendak menghentikannyapun sudah banyak pula dikerahkan pada zaman Umayya, tapi tidak juga berhasil.
Bagaimanapun juga pada masa dinasti Abbasia, dan Ma'mun yang berkuasa dua abad kemudian sesudah Nabi wafat, puluhan atau ratusan ribu hadis-hadis maudzu' (buatan) itu sudah tersebar - diantaranya terdapat banyak yang  lemah  dan kontradiksi sekali, yang tidak diduga semula. Pada waktu itulah para penghimpun hadis dan penulis-penulis biografi Nabi juga menuliskan biografinya.  Al-Waqidi, 'Ibn Hisyam dan Al-Mada'ini hidup dan menuliskan buku-buku itu pada masa Ma'mun. Baik mereka ini atau yang lain pada waktu itu, karena takut akibatnya, tidak ada yang berani menentang pendapat Khalifah. Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang harus mendapat penelitian mana  kriterium yang menurut suatu sumber berasal dari Nabi a.s., yakni dengan  mencocokkannya  kepada  Qur'an sebagaimana mestinya, tidak mereka pakai lagi, yaitu: mana-mana yang cocok dengan Qur'an, adalah dari Rasul dan yang tidak, bukan dari Rasul.
Sekiranya kriterium itu dipakai dengan penelitian sebagaimana mestinya, segala yang sudah ditulis oleh tokoh-tokoh itu niscaya akan berubah. Kritik ilmiah menurut metoda modern sama sekali tidak berbeda dari kriterium ini. Akan tetapi situasi masa itu mengharuskan tokoh-tokoh tersebut menyesuaikan kriterium  mereka  itu  untuk sesuatu golongan, sedang untuk golongan lain tidak pula demikian. Cara-cara ini dalam penulisan sejarah hidup Nabi oleh penulis-penulis  kemudian  telah  diwarisi  juga  dari orang-orang dahulu, dengan pertimbangan-pertimbangan yang lain dari pertimbangan mereka itu. Kalau orang mau berlaku jujur terhadap sejarah, tentu mereka menyesuaikan hadis  itu  dengan  sejarah  hidup  Nabi,  baik  dalam garis besar, maupun dalam perinciannya, tanpa mengecualikan sumber lain, yang tidak cocok dengan  yang  ada  dalam Qur'an.  Mana yang tidak sejalan dengan hukum alam  dan  tidak  tersebut  pula  dalam  Kitabullah tidak perlu mereka catat. Yang tidak sejalan dengan hukum alam itu diteliti dulu dengan saksama, sesudah  itu  baru diperkuat dengan yang ada pada mereka, disertai pembuktian  yang positif, dan mana-mana yang tak dapat dibuktikan seharusnya  ditinggalkan.
Pendapat cara ini telah dijadikan pegangan oleh imam-imam terkemuka dari kalangan Muslimin dahulu, dan beberapa imam lainpun mengikuti mereka sampai sekarang. Syaikh Muhammad Mustafa al-Maraghi dalam kata perkenalan buku ini menyebutkan: "Kekuatan mujizat Muhammad s.a.w. hanyalah dalam Qur'an, dan mujizat ini sungguh rasional adanya. Sajak Bushiri berikut ini memang indah sekali:
"Tidak juga sampai kita dicoba Yang akan meletihkan akal karenanya Karena sayangnya kepada kita Kitapun tak ragu, kitapun tak sangsi."
Almarhum Sayid Muhammad Rasyid Ridza, Redaktur majalah Al-Manar dalam menjawab kritik orang yang menentang buku kita ini, menulis: "Kalangan Al-Azhar  dan  pengikut-pengikut  tarekat yang paling keberatan terhadap Haekal  sebagian  besar mengenai mujizat-mujizat dan hal-hal yang ajaib-ajaib di luar kebiasaan. Pada pasal dua bahagian dua dan pasal lima dalam buku Al-Wahy'l-Muhammadi, dari segala segi dan persoalannya mengenai hal ini, ada saya  tulis,  bahwa hanya Qur'anlah satu-satunya pembuktian Tuhan yang positif  khusus  tentang  kenabian  Muhammad  s.a.w.  dan  kenabian  para  nabi yang lain. Ciri-ciri mereka zaman kita sekarang ini tak dapat dibuktikan tanpa  kenyataan  tersebut.
"Masalah-masalah alam gaib (supernatural) adalah masalah-masalah yang diragukan, bukan suatu pembuktian yang meyakinkan menurut para ahli. Hal tersebut terdapat juga pada zaman kita ini, dan terdapat juga pada setiap zaman. Mereka yang masih terpesona oleh masalah semacam itu, adalah orang-orang  yang suka pada takhayul yang memang terdapat pada setiap aliran kepercayaan.  Saya terangkan juga sebab timbulnya daya tarik itu serta perbedaan-perbedaan  mana yang umumnya termasuk hukum alam, hukum rohani dan lain-lain."  [Majalah Al-Manar, 3 Mei 1935].
Syaikh Muhammad Abduh pada bahagian pertama buku Al-Islam wan-Nashrania ("Islam dan Kristen") menyebutkan: "Dengan adanya ajaran dan tuntutan terhadap keimanan kepada Allah dan keesaanNya, Islam tidak memerlukan  apa-apa  lagi selain pembuktian rasional dan pemikiran insani yang sejalan dengan ketentuan yang wajar. Orang tidak perlu bingung terhadap hal  yang  gaib,  tidak perlu menutup mata terhadap kejadian-kejadian yang tidak biasa, tidak perlu membisu karena ada ledakan dari langit; dan pikiran kitapun jangan terputus karena pekikan yang membawa suara suci. Kaum Muslimin sudah sepakat - kecuali sejumlah kecil dengan pendapat yang tidak berarti - bahwa kepercayaan kepada Allah adalah mendahului kepercayaan kepada  nabi-nabi.  Tidak mungkin orang percaya kepada rasul-rasul, sebelum ia beriman kepada Allah; sedang beriman kepada Allah melalui ucapan para rasul  atau  melalui  kitab-kitab suci, tidak dibenarkan. Sungguh tidak masuk akal orang akan percaya kepada adanya kitab yang diturunkan Allah, jika sebelum itu kita tidak percaya akan adanya Allah. Maka Dialah yang harus menurunkan  kitab  dan  mengutus  rasul."
Saya kira mereka yang pernah menulis sejarah hidup Nabi akan lebih condong  pada  pandangan  semacam  ini,  kalau tidak karena situasi pada masa mereka dahulu dan kalau tidak karena dugaan mereka yang datang kemudian bahwa dengan menyebutkan peristiwa-peristiwa gaib dan mujizat-mujizat yang tidak terdapat dalam Qur'an itu akan menanamkan rasa keimanan dalam hati orang lebih dalam lagi. Oleh karena itu mereka menduga pula, bahwa dengan menyebutkan mujizat-mujizat itu akan berguna sekali, dan tidak akan merugikan. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini dan menyaksikan  betapa musuh-musuh Islam itu mempergunakan apa yang mereka sebutkan itu sebagai argumen mereka menghantam Islam dan umat Islam, niscaya mereka akan berpegang pada apa yang ada dalam Qur'an, mereka  akan  berkata  seperti  Imam  Ghazali, Muhammad 'Abduh, Maraghi dan pemuka-pemuka lain yang cukup teliti. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini, dan menyaksikan betapa cerita-cerita demikian itu menyesatkan hati dan kepercayaan orang - bukan sebaliknya, menanamkan dan menguatkan iman - niscaya cukuplah mereka menyebutkan saja ayat-ayat Qur'an yang begitu jelas dengan dalil-dalil yang memang sudah tak dapat dibantah lagi.
Adapun dari segi yang merugikan cerita-cerita yang tidak diterima oleh akal  dan tidak pula ilmiah itu sudah jadi jelas sekali: bagi setiap orang yang mau menggarap masalah-masalah serupa ini hendaknya selalu berpegang pada segi ketelitian ilmiah dalam mengadakan pengujian, demi pengabdiannya kepada kebenaran, kepada Islam dan kepada sejarah Nabi. Kebenaran-kebenaran  yang  diungkapkan oleh hasil penyelidikan dalam sejarah yang besar ini, adalah sebagai penyuluh yang akan membawa umat manusia kepada peradaban yang sebenarnya.
bersambung ke-Qur'an dan Mujizat
0 comments:
Posting Komentar